"Kamu yang sabar ya, aku yakin suatu saat pasti kamu akan bertemu dengan keluargamu. Mungkin nunggu takdir atau waktu yang pas saja," kata Kuntilanak.
Toni tersenyum kecut. Dia menatap dengan tatapan kosong. Jari-jari tangannya mengusap air matanya yang masih saja mengalir membasahi pipi.
Kuntilanak juga tidak bisa terlalu banyak berbicara karena dia takut salah. Pengalamannya selama menjadi hantu juga sedikit, tidak sebanyak yang sudah Toni jalani. Dia juga agak terkejut ketika tahu bahwa arwah Toni berasal dari korban peperangan. Dia tidak bisa membayangkan bagaimanapun kondisi bumi pada saat itu.
Kini Toni menundukkan kepala sambil diam mengingat kenangan bersama keluarganya. Dia tidak pernah sedikitpun melupakan segala kenangan yang sudah dia lewati bersama keluarga. Waktu bersama keluarganya benar-benar singkat, sehingga dia tidak bisa terlalu jauh menghabiskan waktu dengan keluarga. Namun, dia masih sangat bersyukur karena dulu masih bisa melewati hari-harinya dengan keluarganya, meskipun itu singkat. Padahal dulu Toni juga memiliki cita-cita mulia. Semua keinginannya telah berakhir ketika dirinyalah menghembuskan nafas terakhir di masa anak-anak.
Kuntilanak merasa keberadaannya dicuekin oleh Toni. Dia mengibaskan tangan kanannya di depan wajah Toni, tapi sedikitpun Toni tidak mengedipkan mata. Hal itu membuat Kuntilanak agak kesal. Akhirnya dia pun memukul kepala Toni.
Bugh!
"Aduh!" Pekik Toni. Dia pun mendelik kesal kepada Kuntilanak. Kini tangan kanannya mengelus bagian kepalanya yang dipukul Kuntilanak.
Sementara Kuntilanak hanya nyengir saja sambil memainkan rambut panjangnya. Dia seperti tidak memiliki salah. Namun, dia juga bangga karena bisa menyadarkan Toni dari lamunannya.
"Nggak sopan banget jadi hantu!" Ketus Toni.
"Lagian nggak boleh melamun, nanti kesambet baru tahu rasa," sahut Kuntilanak santai.
Pada saat itu juga Toni kembali membulatkan mata. Dia terkejut dan sangat kesal atas jalan pikiran Kuntilanak. Bahkan dia sendiri merasa gatal ingin membalas perbuatan Kuntilanak. Dia tidak suka jika dirinyalah diperlakukan dengan kekerasan karena dulu hidupnya berlimpah kasih sayang dan keluarganya sekalipun tidak pernah menggunakan kekerasan jika sedang marah. Namanya juga hubungan dalam keluarga, pasti suatu permasalahan pasti ada. Entah itu masalah sepele maupun masalah serius. Oleh karena itu, Toni berasal dari keluarga yang bijak dalam mendidik anak.
Toni masih ingat betul mengenai ajaran keluarganya agar tidak menjadi pendendam. Oleh karena itu, Toni tidak membalas perbuatan Kuntilanak. Namun, beda lagi jika dia sangat merasakan sakit berlebihan. Mungkin dia akan tetap berbuat sesuatu.
"Mana ada hantu melamun bisa kesambet, aku saja seorang hantu. Kesambet itu berlaku bagi manusia yang masih hidup, tapi kebanyakan melamun," kata Toni tanpa menatap Kuntilanak. Kini dia masih belum bisa menerima perbuatan Kuntilanak. Jadi, tidak melihat wajah Toni sama halnya untuk menghindari perbuatan yang tidak diinginkan. Bagaimanapun keadaannya, dia selalu berusaha untuk melakukan perbuatan yang bijak agar tidak menyinggung perasaan hantu lain. Jadi, bukan hanya manusia hidup saja yang memiliki perasaan, hantu pun juga sama-sama memiliki perasaan seperti halnya manusia.
"Masa iya?" Tanya Kuntilanak.
"Iyalah."
"Huft ya sudah deh kalau gitu. Aku iyakan saja karena saya juga tidak begitu tahu mengenai hal itu."
"Ya sudah terserah kamu." Toni mengusap bekas air matanya. Dia berusaha tenang untuk tidak terlalu masuk ke dalam masa lalu yang begitu memilukan, terutama ketika detik-detik penembakan yang dilakukan oleh seorang laki-laki bertubuh kekar.
Ketika mengingat peristiwa tersebut, Toni juga merasakan rasa sakit seperti kembali ditembak terkena peluru. Dia juga tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi, padahal sudah berlalu. Terasa aneh, tapi memang itulah pada kenyataannya.
"Tapi kalau menurutku kebanyakan bengong itu nggak baik loh, baik laki-laki maupun perempuan. Baik dunia nyata maupun di dunia gaib," kata Kuntilanak.
"Ya gimana ya, setiap orang juga butuh mikir kali," sanggah Toni.
"Mikir nggak perlu bengong kan bisa. Jadi hantu nggak usah ribet deh. Hidup kita dulu di dunia saja sudah ribet. Jadi, lebih baik kamu nggak usah mempersulit diri. Ini kehidupan kita kedua, yaitu kehidupan setelah mati."
"Iya aku sudah tahu itu. Jangan kamu pikir dengan melihat tubuh dan wajahku seperti anak kecil, maka kamu anggap aku sebagai anak kecil. Ingat ya, kamu sama aku itu lebih senior diriku menjadi hantu. Aku mati terlebih dahulu, sedangkan kamu masih bau kencur. Apalagi soal kelahiran, aku yang lebih dahulu juga daripada kamu. Hanya saja karena aku mati sejak kecil, maka tubuhku mengikuti seumuran matiku. Namun, aku masih bisa berubah sesuka hati sesuai dengan apa yang ingin aku kehendaki. Aku lebih tahu dalam dunia hantu," ujar Toni sedikit menyombong diri. Dia tidak ingin jika ada hantu masih muda, tapi menggurui dirinya karena Toni tidak ingin dianggap bodoh oleh hantu lain, terutama yang lebih muda.
Nampak dari raut wajah Toni terlihat merah menahan marah. Untung saja dia masih bisa mengendalikan emosi, sehingga kemarahannya tidak terlihat oleh Kuntilanak. Sementara kuntilanak hanya diam sambil menghela napas. Dia terlihat pasrah saja dan malas berdebat dengan Toni karena dia sadar bahwa hal tersebut sama halnya buang-buang waktu saja.
Mereka berdua diam sambil menatap Surya dan teman-temannya bermain. Tawa mereka mengingatkan Toni dan Kuntilanak di semasa hidupnya. Mereka pun juga ikut tersenyum menyambut kebahagiaan mereka. Sebab, kehidupan setelah mati kebanyakan hidup dengan kesepian.
"Kok aku jadi ingin ikut main," kata Kuntilanak.
Toni menatap Kuntilanak sambil mengernyitkan kedua alisnya. "Hah? Aku nggak salah dengar?"
"Enggak," sahut Kuntilanak dengan serius.
"Ya sudah deh kalau gitu."
"Cuma itu respon dari kamu?" Tanya Kuntilanak cukup terkejut.
Selama dia bertemu dengan hantu lain, mereka mengatakan ingin hidup kembali untuk menikmati dan memperbaiki kesalahan di dunia. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Toni, dia malah biasa saja seperti orang yang tidak memiliki keinginan untuk hidup kembali. Hal itu membuat Kuntilanak merasakan heran.
"Ya mau gimana lagi? Memang itulah kenyataannya. Aku nggak tahu lagi deh harus bagaimana. Kalau sudah mati dan berharap untuk bisa bermain seperti itu terasa mustahil, kecuali kalau kita masuk ke raga manusia, tapi aku tidak ingin mengusik mereka selagi mereka tidak mengusik diriku," sahut Toni sambil menatap Surya bermain.
"Oh gitu ya. Hmm, sepertinya aku tahu bagaimana caranya agar kita tidak mudah bosan, tapi terasa bermain bersama mereka."
"Apa?"
Kuntilanak tersenyum menyeramkan. Dia terlihat misterius lalu berkata, "Kita jahili mereka."
Pada saat itu juga Kuntilanak turun dari pohon untuk menghampiri Surya dan teman-temannya. Hal itu membuat Toni panik takut jika Kuntilanak akan berbuat hal yang membahayakan bagi Surya dan teman-temannya. Sebab, dampaknya nanti akan mengarah kepada dirinya yang tidak bisa ikut bermain lagi dengan Surya.
"Kuntilanak, jangan!" Teriak Toni.