Surya, Arga, dan Anes saling menatap lalu menghela napas. Mereka hanya butuh tambahan kesabaran agar tidak semakin sakit hati melihat sikap kedua orang tuanya. Di sisi lain, Anes lah yang paling kesal melihat tingkah ibunya.
Bukan maksud tidak ikhlas dalam membantu orang tua, tapi bagi mereka kebahagiaanlah yang paling utama. Secara hidup mereka saja diselimuti kemiskinan dengan segala pas-pasan, sedangkan Sholeh tidak malah berperan sebagai tulang punggung sepenuhnya. Peran Anes pun bisa dibilang sangat lelah di dalam keluarga, pasalnya mengurus adik-adiknya yang umurnya masih kecil dan hal-hal yang berkaitan dengan rumah. Sebab, kakaknya yang pertama lebih sering membantu Siti dalam mencari nafkah. Dia hanya akan pulang di waktu tertentu saja.
"Bu!" Panggil Anes menatap Siti sayu.
"Iya?" Sahut Siti.
Anes tersenyum getir lalu berkata, "Ternyata cinta membuat seseorang buta ya."
Pernyataan Anes membuat suasana menjadi canggung. Siti pun ikut termenung sejenak, akan tetapi dia tidak mempermasalahkan kalimat Anes. Semakin dipermasalahkan, maka semakin kacau pula hubungan keluarga mereka. Akhirnya dia hanya menganggap ucapan Anes sebagai angin lewat saja.
"Nggak kok, buktinya Ibu masih bisa melihat kalian."
"Iya, Ibu bisa melihat kita dan bahkan keburukan kita juga terlihat di mata Ibu, tapi apakah Ibu pernah melihat keburukan Ayah yang kelewatan banget?" Anes sedikit meninggikan nada bicaranya. Anak seusianya memang sangat kecil, tapi keadaanlah yang mempertontonkan kepribadian keburukan seseorang, sehingga dia bisa mengatakan hal tersebut.
Sebagai seorang anak, tentunya juga mengerti dan tahu tentang rasa disakiti, terutama secara fisik. Mungkin kalau anak kecil belum terlalu merasakan sayatan luka dari sebuah kata. Hal yang terpampang jelas yang bisa dinilai seorang anak kecil. Mungkin ada beberapa anak yang bisa mendalami sebuah makna, sehingga anak tersebut bisa merasakan betapa sakitnya sebuah kata yang terkadang tanpa sengaja menyakiti hati seseorang.
"Sudahlah, Nes, lebih baik kita makan malam saja. Semakin kamu marah, maka semakin hilang nafsu makan kamu. Lagian nggak akan ada yang berubah, malah bisa jadi kamu akan sakit hati perut saja," kata Arga berusaha memberhentikan rasa kekesalan Anes. Dia kalau berucap memang agak pedas agar maknanya lebih mudah didalami.
Selain itu, Arga tidak ingin kalau Anes menjadi beban pikiran Siti. Mau sejelek apapun sikap orang tuanya, mereka tetap orang tua yang harus dihormati. Terutama Ibu yang sudah melahirkan anak. Soal Ayah, Arga tidak bisa mengatakan banyak hal karena dia sendiri bingung mengenai sikap ayahnya. Sebab, seburuk apapun seseorang tentu pasti masih memiliki sisi baiknya. Oleh karena itu, jika hanya memandang dari satu sisi saja, maka yang ditemukan hanyalah sisi keburukan saja tanpa melihat sisi baiknya, pun bisa jadi sebaliknya.
Anes menghela napas, lalu mengangguk setuju. Ketika melihat nasi dan lauk di piringnya, Anes sedikit merasa kesal dan ingin melemparkan piring tersebut. Sebab, porsinya itu benar-benar kecil. Padahal dia yang mencari ikan dan yang memasaknya pula, sehingga dia sedikit merasa bahwa usahanya tidak pernah ternilai di mata Siti.
"Kenapa, Nes?" Tanya Surya melihat adiknya cemberut dan sedikit menekan nasi sampai beberapa kepalan nasi teksturnya terlihat benyek.
"Nggak apa-apa, cuma merasa tidak ada keadilan saja," jawab Anes lalu melahap makanan yang sudah disajikan.
Mau tidak mau maka Anes harus melahap makanan tersebut daripada menahan lapar. Dia tahu diri bahwa Siti tidak akan melakukan apa yang dirinya inginkan. Justru dia yakin bahwa Siti akan mengatakan serakah maupun tamak. Kalau cukup itu saja tidak masalah, Anes juga takut kalau pada akhirnya Siti akan menghajarnya habis-habisan. Tidak kebayang saja disaat perut keroncongan malah dihajar.
"Sudah terima saja daripada lapar," sahut Arga yang mengerti apa maksud Anes.
Sejenak Anes menatap kesal Arga, dia merasa kalau Arga tidak seperti Surya mentang-mentang anak laki-laki kedua meskipun sebenarnya anak pertama adalah perempuan. Pada intinya semakin tua maka akan semakin enak. Mereka akan dianggap sebagai seseorang yang berjuang demi keluarga sekaligus membantu Siti mencari nafkah. Padahal Anes sendiri yang mengurus segala pekerjaan rumah. Bahkan soal mencuci baju pun dia lah yang mencucinya dari milik orang tua dan milik adik-adiknya.
Anes memilih memalingkan muka dari hadapan Arga dan Siti. Semakin menatap mereka berdua, hatinya semakin kacau. Bahkan emosinya ingin meluap.
Setelah makan malam selesai, mereka kembali ke kamarnya masing-masing. Seperti biasa, udara dingin akan berhembus di sela-sela lobang kecil rumah membuat mereka sedikit kedinginan. Suara jangkrik pun semakin menggema menambah irama ciri khas pada malam hari.
Surya duduk di atas ranjang sambil bersandar di pagar. Dia tidak sepenuhnya bersandar karena takut rumahnya roboh mengingat rumahnya hanya terbuat dari bilahan bambu yang dianyam. Tubuhnya dibungkus menggunakan kain sarung. Pikiran Surya semakin kacau dan hatinya juga terasa gelisah.
"Kenapa ya akhir-akhir ini, tiap malam aku merasa ada yang aneh dalam diriku?" Tanya Surya kepada dirinya sendiri.
Tiba-tiba dia melihat sebuah bayangan hitam dari celah pagar berlubang dengan ukuran kurang lebih satu kepal tangan Surya. Kedua matanya semakin menyipit guna mempertajam penglihatannya. Semakin fokus ke arah bayangan tersebut, maka semakin ada titik merah yang membesar di lubang tersebut.
"Siapa tuh?" Tanya Surya.
Tidak ada jawaban, hanya ada suara jangkrik saja yang menyahuti. Surya semakin penasaran terhadap bayangan hitam yang berubah menjadi titik merah. Akhirnya dia memutuskan untuk melihatnya dari jarak dekat.
Tiap jangka kaki yang dirinya tampakkan di tanah terasa cukup berat. Dia merasa kalau ada sesuatu yang bergelayut di kakinya. Jaraknya semakin dekat dengan titik merah tersebut. Dia memutuskan jongkok untuk melihatnya dari jarak dekat.
Tepat ketika Surya jongkok, titik merah tersebut tepat di depan wajahnya. Tiba-tiba titik merah tersebut berubah menjadi lebar seperti mata seseorang, hanya saja semakin berwarna merah menyala. "Kya!"
"Ada apa, Kak?!" Tanya Arga terkejut ketika mendengar teriakan Surya.
"Itu aku melihat sesuatu di sana," jawab Surya yang masih terduduk di atas tanah dengan jari telunjuk kanannya yang menunjuk ke arah lubang kecil tersebut. Napasnya terengah-engah seperti baru saja lari jarak jauh.
"Mana?" Tanya Arga agak sayu. Awalnya dia juga terkejut dengan respon seperti halnya orang penasaran, tapi seketika dia berubah menjadi biasa saja. Bahkan mau menatap saja seperti orang yang mau tidur. Mungkin karena efek ngantuk.
"Itu, Ga."
"Alah nggak ada apa-apa kok. Sudahlah aku mau lanjut tidur," kata Arga lalu kembali merebahkan tubuhnya. Tanpa menunggu waktu lama, Arga kembali mendengkur.
Surya pun bangkit untuk menuju ranjang. Tiba-tiba dia merasakan ada sesuatu yang aneh, tapi dia tetap cuek saja. Tepat ketika dirinya membalikkan badan, disitulah dia kembali syok.
"Kya!"