"Surya, bangun!" Teriak Siti sambil menggoyangkan tubuh Surya.
Siti mendelik kesal menatap Surya. "Kamu ini bagaimana sih? Ranjang di kamar kurang luas atau gimana? Bisa-bisanya malah lebih memilih tidur di atas tanah."
Surya merentangkan kedua tangannya lalu mengucek kedua matanya untuk menghilangkan rasa kantuk yang terus menyerang dirinya. Pagi ini, dia merasa badannya pegal-pegal. Baju yang dikenakannya juga kotor terkena tanah. Padahal baju yang dikenakan Surya berwarna putih.
"Kamu pikir dengan tingkah kamu yang seperti ini, nggak sulit untuk mencuci baju yang kamu kenakan?"
"Hmm?" Sahut Surya ketika nyawanya belum kumpul.
Mendapatkan cacian tiap pagi adalah sarapan Surya. Siti memang sering marah-marah ketika di pagi hari. Mau kesalahan disengaja maupun tidak disengaja tidak akan ada bedanya.
"Surya!" Bentak Siti ketika sudah mencapai puncak kesabaran.
"Apa sih, Bu? Pagi-pagi sudah berisik sekali, nggak malu sama tetangga?"
"Malu-malu, kamu itu kenapa tiap pagi tidur nggak tempat?"
"Hah?" Surya juga terkejut ketika menyadari bahwa dirinya bangun di tempat yang seharusnya bukan tempat untuk tidur.
Dia menatap balik ke arah punggungnya yang sudah dipenuhi oleh kotoran. Telapak tangannya juga mengibaskan beberapa kali untuk menghilangkan kotoran tersebut. Dia pun menatap ibunya dengan tatapan bingung.
"Apa?" Tanya Siti melotot ketika melihat anaknya.
"Kenapa aku bisa di sini?"
"Ya mana Ibu tahu? Harusnya Ibu yang tanya sama kamu."
"Huft, aku nggak tahu. Akhir-akhir ini diriku terasa aneh dan bahkan aku merasa bahwa apa yang terjadi pada diriku seperti di luar kesadaran."
"Ah, masih pagi nggak usah ngadi-ngadi deh. Ibu mau pergi kerja dulu, takut kesiangan nanti malah nggak dapat sisa gabah."
"Loh, ini kan masih pagi banget, Bu."
"Macam nggak tahu kalau lagi masa panen saja," sahut Siti lalu menggendong bakul yang belum ada isinya menggunakan selendang.
Siti melangkahkan kaki keluar tanpa menggunakan sandal. Kedua kakinya hanya dibungkus menggunakan kaos kaki bekas untuk menghindarinya menginjak keong yang ada di dalam sawah. Setidaknya bisa meminimalisir rasa sakit dan sayatan akibat jika terkena goresan cangkang keong.
Seperti biasa, Siti pasti akan meninggalkan rumah tanpa memasak terlebih dahulu, meskipun itu hanya menanak basi. Bahkan dirinya saja tidak sarapan terlebih dahulu. Hal itu sudah biasa Siti lakukan tiap pagi.
Melihat tubuh Siti yang semakin mengering, maka semakin kuat pula rasa kesal Surya kepada ayahnya. Tubuh tua itu sudah terlihat sedikit tenaga dengan tulangnya yang sedikit mengkelung ke bawah karena posisi tulang yang sudah bungkuk, mungkin karena terlalu banyak membawa bahan berat. Sudah bukan menjadi hal asing lagi kalau Siti biasa memikul gabah dan padi. Padahal hal itu lebih cocok untuk pekerja laki-laki.
Punggung Siti semakin menghilang dari hadapannya. Langit masih terlihat petang dan Siti sudah semangat mencari nafkah, sedangkan Sholeh sedang enak-enakan tidur. Dia yakin bahwa Sholeh pasti akan bangun ketika sudah lapar.
"Kak Surya!" Panggil Arga.
Surya mendongakkan kepala menatap adiknya. "Apa?"
"Ibu kemana? Kok nggak ada di kamar. Dari tadi aku panggil juga nggak ada jawaban."
"Ibu sudah berangkat. Ayah pasti masih tidur ya?" Tebak Surya sedikit tidak suka.
"Iya."
"Memang tuh sifat orang tua satu jauh banget dari arti namanya. Nggak tahu lagi deh harus berpikir bagaimana. Namanya Sholeh, tapi kelakuan macam setan," omel Surya sedikit melirihkan ucapannya agar ayahnya tidak mendengar. Dia memang benci ayahnya, tapi dia masih punya perasaan agar tidak menyakiti orang lain.
"Tadi malam kenapa Kakak tidurnya menjerit-jerit?" Tanya Arga.
"Nggak tahu, aku aja terkejut ketika bangun tidur sudah ada di sini. Apakah aku kalau tidur suka keluyuran nggak jelas?"
"Aku tanya, malah balik tanya." Arga berdecak kesal kepada kakaknya yang bertingkah semakin aneh.
"Aku juga nggak tahu kenapa akhir-akhir ini, aku sering melihat hal-hal yang tak kasat mata," ucap Surya sedih.
Bukan soal hebat karena bisa melihat makhluk yang tak terlihat, tapi masalah mental. Kalau tidak kuat, maka lama-kelamaan akan gila. Sebab, banyak bentuk yang aneh-aneh tidak semacam manusia umumnya. Bahkan terkadang banyak yang berlumuran darah. Belum lagi kalau ada yang tubuhnya dimakan belatung, terkadang Surya ingin muntah. Dia sendiri tidak tahu semenjak kapan dirinya bisa saperti itu.
"Loh, berarti Kakak bisa melihat alam lain dong. Enak dong pastinya bisa tahu segala macam," kata Arga benar-benar antusias.
Surya mengerutkan keningnya heran karena tingkah adiknya yang aneh. "Enak kata orang yang belum pernah ngerasain, nanti kalau merasakan sendiri pasti tidak akan kuat kalau tidak benar-benar siap."
Surya menghela napas. Dia mengingat kembali apa yang telah terjadi kepada dirinya. "Apakah kamu tahu, setiap kali aku bermimpi buruk, hal itu terasa nyata dalam hidupku. Buktinya saja aku terbangun di tempat yang sesuai dengan mimpiku. Bahkan tubuhku terasa pegal-pegal ketika bangun pagi. Aku capek kalau seperti ini terus, Ga. Aku ingin hidup normal sebagaimana manusia pada umumnya. Urusan dengan makhluk ghaib itu gampang-gampang susah."
Mendengar cerita dari kakaknya memang sedikit menyakitkan dan Arga dapat melihat jelas dari sorot mata milik Surya bahwa dia seperti orang tekanan batin. Namun, Arga sendiri tidak tahu apa yang harus dirinya lakukan untuk bisa membantu kakaknya, sedangkan dirinya saja baru tahu apa yang dirasakan adiknya sekarang. Selain itu, Arga juga baru kali pertama mendengar kasus yang seperti Surya alami saat sekarang.
Sebuah hal terlintas di dalam pikiran Arga. "Aku teringat suatu hal mengenai keluarga kita."
"Hal apa, Ga?" Tanya Surya sangat penasaran.
"Jadi, orang tua kita itu kan anaknya banyak, yaitu sebelas. Hm, tapi ada yang meninggal dan yang hidup hanya tujuh anak saja, salah satunya kita," jawab Arga.
"Terus?" Tanya Surya merasa kurang puas mendapatkan jawaban.
"Nah, ada dua anak yang meninggal dan menghimpit kelahiran kamu."
"Maksudnya?"
Arga menarik napas, lalu kembali berkata, "Urutan kelahiran, Kak. Seingatku kakak kamu meninggal, lalu selang beberapa bulan atau tahunlah aku lupa, Ibu kembali mengandung dan lahirlah Kak Surya. Selang itu, Ibu juga kembali mengandung lagi, nggak tahu selang berapa bulan atau tahun, tapi adik kamu juga meninggal. Jadi, sebelum aku lahir kan ada anak Ibu yang meninggal."
"Jadi?"
"Jadi, banyak orang yang bilang kalau Kak Surya terlahir gandeng mayit. Dulu Ibu pernah cerita bahwa ketika Kakak bayi banyak orang yang mengatakan seperti itu. Bahkan Ibu tuh sampai nangis dan aku nggak tahu kenapa Ibu sangat takut ketika sadar bahwa anaknya ada yang berstatus gandeng mayit," jelas Arga.
Surya diam mencerna setiap perkataan Arga untuk dipahami semakin dalam. "Jadi, selama ini, hidupku selalu diapit kematian dan mayat saudara kandungku ya, Ga?"
"Iya."
"Masalahnya terkadang aku mimpi bertemu dengan anak kecil yang mengajak bermain. Anak kecil tersebut memakai baju putih. Terkadang dia baik, tapi kadang kala juga menyebalkan. Wajahnya mirip banget sama Anes apakah itu saudara kandung aku?"
"Jangan karena Kak Surya tahu tentang gandeng mayit, maka kamu kaitkan saudara kita yang sudah meninggal loh. Biarkan saja mereka tenang dan bahagia di alam sana."
"Tapi yang aku alami itu terasa nyata, Ga. Aku nggak mau ngadi-ngadi. Lagian siapa juga yang mau dilahirkan secara gandeng mayit. Aku hanya ingin dianggap normal oleh teman-teman. Terkadang aku pribadi nggak bisa membedakan mana yang manusia dan mana pula yang hantu!"