Aku masih termenung memikirkan apa yang telah terjadi. Dan, mendapati rembulan telah mencapai posisi puncaknya. Sinar bulan semburat melewati sela-sela pohon bambu dan menerangi jalan setapak desa. Suara hewan mulai bersautan, seperti ayam jantan berkokok kemudian disambung suara burung dara.
Warung kopi makai ramai dipadati pengunjung. Mereka masih dalam kondisi bugar tanpa merasakan kantuk. Suara gelas kopi yang sedang diseduh menjadi semangat mereka, ibu warung terus membuatkan kopi bagi siapapun yang sedang membutuhkan energi untuk menikmati malam.
Orang-orang memancing di empang juga tidak kalah serunya. Mereka meneriaki setiap pancingan yang tersambar ikan, beberapa terlihat sedang menyalakan api unggun untuk sekadar menambah kehangatan dan membakar ikan. Mereka memperoleh beragam ikan. Muali ukuran paling kecil kurang lebih berdiameter dua ruas jari dewasa sampai seukuran paha anak usia tujuh tahun.
Malam menjadi sangat meriah. Terutama aroma ikan bakar semakin semerbak mengalir dihembus angin malam. Aromanya sangat manis sehingga mengundang kedatangan hewan hutan mendekat, seperti burung hantu, anjing hutan, kupu-kupu dan hewan lainnya.
Aku merasa malam ini sangat hangat, semua warga desa X tenggelam dalam kebersamaannya. Mereka yang membakar ikan di tepi empang melambaikan tangan kepadaku. Isyarat untuk mendekat bergabung menikmati ikan bakar. Hasil bakarnya sangat cantik, membuatku tergiur ingin segera menyambar, tetapi kalah cepat dengan anak remaja desa. Mereka sangat sigap dan cepat dalam berebut, tidak hampir setengah jam ikan bakar sudah labis dimakan.
Aku tersenyum melihat keharmonisan warga desa X, semua itu mengalihkan semua pikiran negatif dan perasaan kacau. Mungkin, aku sangat terburu-buru ingin segera mengetahui lanjut cerita dari rumah angker itu. Aku sangat penasaran apa yang terjadi pada orang yang hilang itu.
Sebentar aku memalingkan pandangan ke dalam gelapnya hutan. Hutan hanya memperlihatkan ranting dan bagian tubuh pohon yang disinari cahaya rembulan. Hutan terasa sangat akrab bagi warga desa. Mereka sudah menjadi teman, hutan adalah lahan kehidupan bagi warga desa. Hal itu terihal dari penataan setiap jarak tanaman dan kerapian hutan. Sehingga hutan desa menjadi tempat nyaman bagi faunanya.
Terlihat beberapa burung keluar masuk dari hutan di malam hari. Sebagian pergi mencari makan, sebagian lain pulang dengan membawa buah dan ikan. Aku tidak mengetahui burung apa itu. Pastinya bukan gagak. Mereka bertubuh besar seukuruan ayam jantan usia tiga tahun. Bulunya sedikit kehitam kecoklatan dan dibagian kepala memiliki jambul merah. Hewan itu tidak terganggu dengan kehadiran manusia, justru mereka saling membaur satu sama lain.
Aku kembali meminum wedang uwuh yang sudah mendingin, menyisakan racikan ampas di dasar gelas being kaca. Ingin hati memesan kembali minumanku kepada ibu warung tetapi dihentikan oleh Pak Dika. Belian menawarkan diri untuk memesan, karena memang beliau ingin menambah cemilan.
"Nona ingin pesan minuman? Tunggu disini saja, biar saya yang memesan sekaligus membayar pesanan." Pak Dika menuju meja kasir untuk memesan kembali. Sebenarnya tubuhku sudah makin lemas dan daun mata terasa berat untuk dibuka. Tapi untuk menghormati kebaikan mereka, aku ingin sedikit menemani lebih lama perbincangan itu.
Sesepuh desa mengetahui keadaanku yang lesu tanpa semangat, beliau menyadarkanku dari rasa kantuk. Tanganya merogoh saku baju mencari sesuatu. Kemudian dikeluarkannya tembakau beserta cerobong—aku menyebutnya cerutu—hisap untuk pembakar tembakau.
Beliau sangat lihai meracik tembakau beraroma manis itu ke dalam cerutu. Dan, untuk memperkuat rasa, ditambahkannya sedikit cengkeh serta garam untuk menyempurnakan rasanya. Aroma tembakau yang terbakar sangat menenangkan pikiran. Membuatku kembali tidak merasakan kantuk.
Beliau menawariku untuk mencoba tembakau ini. Tembakau di dalam kendi tanpa nama brand itu mengeluarkan aroma harum saat dibuka. Aku tidak bisa menolak tawaran untuk mencobanya. Segera tanganku memilin tembakau ke dalam kertas sex (sebutan untuk kertas linting rokok) bergambar kuda. Kita bisa mendengar bakaran tembakau yang merdu, kreteknya seperti memberi semangat kembali.
Sesepuh tertawa meihatku menghisap rokok ini, "Nona sepertinya sudah terbiasa," wajahnya tampak sumringah, terlihat dari kerutan dipipinya, "Lumurkan ampas kopi pada kertasnya, pasti Nona bisa lebih merasakan kenikmat tiada tara." Lanjutnya. Aku tidak ingin mencoba hal aneh-aneh dalam menikmati rokok. Rokok, ya rokok yang dibakar sewajarnya. Dan, akan memberikan kita nuansa terbaiknya untuk sekadar teman berbincang di malam hari.
"Ini rasanya sedikit familiar tetapi saya tidak bisa menyebutkannya." Kataku
"Pasti Nona sering menikmati rokok dengan tembakau terbaik, betul sekali, ini adalah salinan keduanya. Memang tidak jauh baik dari kelas perama tetapi tetap nikmat."
Kondisiku sudah prima, bersiap kembali mendengarkan perbincangan mereka. Tetapi, kalini berbeda, aku ingin topik yang sesuai. "Sesepuh. Sebenarnya apa yang terjadi kepada mereka?" aku mengajaknya kembali membahas orang hilang di rumah kosong.
"Kenapa Nona sangat penasaran dengan mereka. Seperti yang sudah dicerikan oleh Pak Dika. Mereka tidak ditemukan dimanapun." Sesepuh kembali menghisap cerutu panjang, gayanya seperti para aristokrat abad enam belas.
"Saya hanya penasaran. Eh, maksudnya. Saya benar-benar penasaran. Selama ini saya tidak pernah mendengarkan cerita orang hilang yang lebih satu minggu tidak ditemukan. Kecuali dimutilasi dan badangnya disebar di selurus sisi sempit kota." Diam sejenak, "Paling lama, orang hilang dan ditemukan sudah dalam keadaan membusuk empat hari, itu dia tenggelam di kolam acar pabrik ditempatnya bekerja."
Sesepuh menghela napas panjang. Pandangannya menjadi awas. "Aku akan menceritakan kebenarannya Nona. Tetapi setelah saya kembali dari kamar kecil." Jawabnya santai. Ketika itu aku sudah sangat siap mendengarkannya dan berakhir kesal. Sepertinya sesepuh ingin menghiburku supaya tidak tegang.
Aku kembali menyedot rokok kretek perlahan. Menghembuskan setiap napas seirama jantung. Pak Dika juga sudah kembali dari meja kasir. Beliau menanyaiku perihal Amel.
"Nona. Saya sebenarnya meminta maaf atas ketidak layakan rumah kami. Nona Amel pasti sangat kesulitan untuk tidur nyaman di gubuk kami."
"Bapak Dika, tidak usah risau akan kenyamanan itu. Saya sendiri sudah percaya kepaca Alem bahawa dia tidak akan merepotkan keluarga Bapak. Seharusnya kami yang meminta maaf dan berterimakasih telah membuat Bapak sekeluarga kerepotan, terutama membantu merawat Amel." Aku mencoba meyakinkan Pak Dika untuk tidak selalu minta maaf.
Seseorang bisa menjadi kecanduan meminta maaf meskipun meminta maaf adalah perilaku baik. Tetapi akan menjadi buruk kalau suadah kecanduan. Meminta maaf atas perpuatan yang tidak kita lakukan. Ini seperti menjerumuskan diri ke dalam lubang buaya untuk membersihkan giginya.
Di kota aku sering sekali menemui orang-orang egois, mereka tidak pernah mengeluarkan kata maaf. Bahkan kata maaf seperti aib yang perlu dipendam. Keadaan di kota sudah sangat kacau apabila kita menunjukkan sisi kelemahan dengan meminta maaf. Kita akan dimakan oleh tatanan sosial dan tidak ada belas kasih kepada orang-orang lemah di kota.
"Terimakasih, Nona." Balas Pak Dika
"Saya sangat terbantu dengan bantuan Bapak sekeluarga, yang berkenan menerima kami di rumah. sebenarnya kami juga tidak tahu akan tidur dimana selain rumah kosong itu, karena sopir yang mengantar kami tidak bisa dihubungi."
"Jangan. Maksud saya, Noana jangan bermalam di rumah angker itu, disana terdapat iblis yang mengintai korban, seperti mereka yang hilang."
"Menurut Bapak, mereka telah berbuat apa sehingga menghilang dan saya ingat kalau Bapak mendengar suara jeritan. Tetapi tidak menemukan siapa pun." Aku mulai memasuki topik inti dari sara penasaranku.