Apapun yang terjadi
Ku kan slalu ada untukmu
Janganlah kau bersedih
Cause everything gonna be
"Oke." Teriak semua orang di warung.
Suara petikan gitar dari jemari sangat merdu, setiap bitnya membuat semua orang di warung kopi ikut hanyut pada keahilian cover lagu ala Pak Dika. Ibu warung tidak mau kalah. Dia unjuk bakat tarik suaranya di depan kami dengan menyanyikan lagu lain. Suaranya sangat merdu sekali, membuat kami para pelanggannya terpana dan ikut bernyanyi bersama.
Aku hafal lirik lagu ini. Lagu yang sering diputar oleh supir taksi ketika sedang mengalami bad mood karena jalanan macet dan pengendara ugal-ugalan. Aku tidak tahu siapa pencipta lagunya, bahkan setiap orang dengan leluasa mengcover. Pikirku dulu kita memang bisa mencover lagu sekuka hati, namun sekarang sudah ada peraturan. Peraturan untuk lebih peduli kepada sang pencipta lagu, dan pastinya untuk komisi mereka. Sekarang musik ini hanya menjadi deretan lagu yang pernah aku dengar dan tidak menjadi favorit lagi.
Bulan sudah sedikit bergeser ke sebelah barat dan jam menunjukkan pukul satu malam. Orang-orang di warung masih belum memperlihatkan rasa lelahnya. Dimana artinya kami sudah dua hari berada di warung Ibu biduan ini. Sudah banyak kenangan yang kami ukir selama dua hari, berbagi cerita pengalaman bahkan misteri mistis hilangnya para pendaki di rumah kosong.
Kenangan itu tidak akan mudah terlupakan bagi siapapun yang menerimanya dengan sukarela. Menurutku setiap kenangan memiliki artinya masing-masing. Seperti pengalaman berada di suatu dimenti yang tidak mengenal waktu. Dimensi yang sangat berbeda itu masih menjadi misteri, bagiku itu adalah pengalaman pertama sampai sekarang tidak tahu artinya dari kejadian itu.
Kejadian itu aku alami sewaktu masih usia delapan tahun. Aku pernah berada di dimensi yang bukan tempatku hidup. Dimensi ruang, disana tidak ada waktu. Semua bermula pada sore hari mendekati malam, orang Jawa menyebutnya waktu surup, aku masih berada di luar rumah membereskan tempat makan burung yang selalu dirusak oleh tupai.
Tempat makan itu berada didekatnya pohon palem yang menjulang melebihi rumah Kakek. Hampir setiap kali ke rumah Kakek tempat itu selalu berantakan yang membuatku kesal adalah hanya tempat pakan di pohon palem saja, tempat lain aman. Aku membereskannya dengan baik dan memasang beberapa perangkap untuk tupai nakal. Supaya besuk pagi sudah tidak ada lagi biji-bijian yang berserakan di pekarangan Kakek.
Usai membereskan pakan burung, aku mendengar suara seorang gadis dari balik pohon palem. Suaranya lirih terus memanggil-manggil namaku, "Angel," begitu terus sampai tiga kali. Karena waktu itu rasa ingin tahuku sangat tinggi dan tidak memiliki pengalaman akan hal mistis bahkan rasa curiga apapun, kudatangi sumber suara.
Langkahku memutari pohon palem perlahan. Menginjak ranting kering yang membunyikan suara berisik. Aku sudah memutar seratus delapan puluh derajat pohon itu, tidak ada satu pun petunjuk keberadaannya. Aku mengitari sekali lagi untuk memastikan, "Aku sudah mengitari pohon, kamu dimana?" tanyaku polos waktu itu.
Tidak ada jawaban. Aku merengutkan dahi untuk mengekspresikan kekesalan, aku berspekulasi hal seperti ini adalah kejahilannya Tunner, tetapi aku melihatnya sedang berada di samping rumah Kakek, hanya aku yang berada diluar. Semakin kesalan dibuatnya karena tidak menemukan asal suara itu, kulempar bungkus makan burung ke tepi pekarangan, ketika aku membalikkan badan ternyata bukan rumah Kakek.
"Rumah Kakek hilang! Rumahnya hilang!" yang kudapati hanya pemandangan hutan. Aku mencoba mengkedipkan mataku berulang kali, menggosok-gosoknya, tetapi tetap saja itu hutan yang rapat sudah didepan mata. Hutan sangat rapat, batangnya menjulang tinggi seperti menembus awan, dahan beserta daun lebarnya menutupi sinar matahari untuk menembus kedalam hutan.
Aku masih terdiam tidak mempercayai apa yang sedang terjadi. Keberadaanku di hutan entah berantah ini telah membekukan seluruh tubuhku sejenak, mataku terus mengamati setiap sudut hutan, mencari keberadaan siapapun itu untuk menyelamatkanku tetapi yang kutemukan hanya kegelapan hutan.
Suara burung gagak terbang diatas kepala melenturkan sendi kaku. Tubuhku tergulai lemas jatuh ke tahan. Aku memerlukan beberapa dekit kemudian naluriku segera aktif dan menggerakkan tubuh untuk berbalik kembali ke pohon palem. Aku membalikkan tubuh secepat angin yang menghempaskan pita rambut kesayanganku sampai terjatuh. Sekali lagi aku dibuat tidak berdaya, pohon palem yang seharusnya berada tepat dibelakang juga sudah menghilang digantikan batu besar. Padahal sebelumnya ada disana.
Air mataku mulai terbendung hampir tumpah. Bibirku bergetar menandakan ingin menangis sekeras-kerasnya. Tetapi semua itu tidak jadi. Suara gadis itu kembali memanggilku, "Angel," aku segera melempar mata kepenjuruh hutan untuk menemukannya. "Angel. Kesini di dekat batu," aku terdiam, sumber suaranya sangat dekat, aku membalikkan tubuh dan mengamati perlahan batu besar dari bawah sampai atas.
Gadis itu tepat berdiri di atas batu. Dia memakai baju berwarna biru muda, warna kesukaanku, wajahnya terlihat sedikit pucat tetapi masih seperti manusia hidup. Perawakannya hampir sama dengan diriku, yang membedakan hanya gaya rambut. Rambutnya sungguh berantakan seperti tidak pernah keramas dan disisir.
"Siapa kamu?" tanyaku penuh keheranan.
"....Ssseeesss.." suara napasnya.
"Kamu tahu tidak jalan pulang. Aku takut berada disini. Tempatnya tidak ramah bagiku." Gadis itu menganggukkan kepala, tandanya dia mengetahui jalan pulang. Tangannya menunjuk ke dalam hutan. Kemudian dia melompat tetapi seperti melayang karena jatuhnya sangat halus, bahkan tidak menimbulkan bunyi apapun.
Dia menggandeng tanganku. Aku tidak banyak bicara, pikiranku sudah teramat senang ketika dia mau mengantarkanku pulang, sehingga rasa penasaran akan dirinya sirna. Kami berjalan semakin kedalam hutan, suasananya semakin gelap sempurna, hanya bagian setengah badanku saja yang terlihat.
Ditambah cuaca sedang hujan rintik-rintik. Setiap tetesan air yang tertampung pada daun membasahiku sehingga dingin menjalar keseluruh tubuh. Aku tetap diam dan terus mengikuti tarikan tangannya. Semakin lama kegelapan malahap sampai ke leher, sekarang aku tidak bisa melihat bagian tubuhku dari leher ke bawah, tetapi masih bisa merasakannya.
Tiba-tiba aku mendengar suara Kakek. Dia seperti berteriak memanggilku tapi suaranya sangat lirih kalah dengan suara hujan. Aku segera menghentikan langkah yang dimana kegelapan sudah sampai batas bibir. Aku melepas gandengan tangannya tetapi terasa sangat susah, dia mencengkram begitu kuat.
Usahaku dalam melepaskan cengkramannya membuahkan hasil. Tanganku telah terbebas kembali. Segera kubalikkan tubuhku untuk menuju sumber suara Kakek. Aku terus menintanya untuk berteriak memangil namaku supaya bisa mengetahui keberadaannya. Sedikit demi sedikit tubuhku mulai terlihat kembali, kegelapan itu seperti surut meninggalkanku.
"Angek K." Suara Kakek terus bergema yang berasal dari ujung hutan. Aku sangat berusaha mengerakkan tubuhku untuk berjalan, rasanya sangat berat, seperti ada sesuatu melilit kakiku yang tidak membolehkanku pergi.
Energiku sangat terkuras rasa lemas sudah menguasai tubuh. Kakiku tidak bisa digerakkan lagi, hanya tangan yang kulambaikan untuk mencengkrang suara Kakek. Perlahan pandanganku menjadi gelap, tubuhku sangat dingin membuatku mengigil. Gadis itu tampak terbang tepat di atasku, dia tertawa melihat kondisiku yang aku biarkan saja.
Aku sudah tidak sadarkan diri.
"Angel."
"Angel."
"Angel."
Mataku terbuka sedikit, dengan pandangan buram aku melihat beberapa orang sedang mengelilingiku. Mereka tampak kahawatir yang terus menerus memangil nyawaku. Tubuhku masih lemas bahkan hanya bisa mengerakkan jari kelingking dan jari manis saja.
Mataku terbuka kembali yang mendapati diriku sedang dibawa mengunakan kausr dorong. Melewati koridor berwarna putih. Lampu-lampu koridor menyilaukan mataku ditambah teriakan sepermpuan mengenakan baju serba biru muda dan laki-laki dewasa berjas putis. Mereka tampak sibuk mendiskusikan sesuatu.
Aku membuka mata. Semua terlihat sangat terang dan menyilaukanku. Beberapa kali setelah berkedip barulah bisa melihat dengan jelas. Tubuhku terbaring di kasih rumah sakit. Dua infus telah ditanamkan ke dua lenganku, satu bercairan merah muda, satunya lagi berwarna putih. Aku mencoba mengamati setiap suduk ruangan.
Terdapat sosok gadis seperti yang kutemui sebelumnya berdiri di pintu[]