Mbah Kung tinggal tidak jauh dari Pabrik Gula Ceper sehingga dusunnya dikelilingi perkebunan tebu yang sangat luas. Karena sawah petani di daerah tersebut harus digilir tanamannya. Dua tahun ditanami tebu dan dua tahun berikutnya ditanami padi atau lainnya. Begitu seterusnya. Mengapa tanaman harus digilir seperti itu? Dengan menggilir tanaman yang berlainan maka unsur hara tanah akan kembali subur. Misalnya tanah itu ditanami padi terus-menerus maka unsur hara untuk tanaman padi sudah berkurang atau menipis. Bila tanah itu ditanami padi lagi maka hasil panennya tidak akan sebagus tanaman padi pertama. Kecuali petani menggelontornya dengan pupuk. Tetapi pupuk, apalagi pupuk buatan, harganya mahal.
Tanaman tebu di dekat dusun Mbah Kung sudah besar dan berbunga. Bunga tebu diburu anak-anak. Batang bunga tebu yang panjang dan ramping sebesar pinsil bisa dibuat aneka mainan seperti tembak-tembakan, mobil-mobilan, kereta api, dan sebagainya. Bila sedang berada di desa Mbah Kung, Snot dan Vista suka makan tebu bersama teman-teman desanya. Dengan bersepeda mereka menuju tempat penimbangan tebu di pabrik Di tempat itu merea bisa makan tebu sepuasnya. Sampai perutnya kembung pun boleh. Tetapi bila sakit perut ya gosok sendiri dengan minyak angin!
Mengambil tebu di perkebunan dilarang. Bila dilanggar maka akan dikejar penjaga tebu yang biasa disebut pak sebe. Tak tahulah apakah arti kata 'sebe' itu. Mungkin berasal dari bahasa Belanda. Bila pencuri tebu tertangkap dihukum dengan mengepel wece kelurahan. Pencuri tebu biasanya anak-anak nakal.
Tebu sebagai bahan dasar membuat gula, gula pasir dan gula batu. Malah bukan hanya untuk membuat gula saja, tebu juga dijadikan spiritus, alkohol, dan sebagai bahan untuk membuat bumbu masak sejenis mecin. Tanaman tebu berasal dari Amerika Selatan, dan menyebar ke seluruh dunia, terutama di daerah tropis. Negara penghasil gula terbesar di dunia adalah Kuba.
Nah, ketika Snot dan Vista berlibur di desa lagi kebetulan tanaman tebu di dekat dusun Mbah Kung akan dipanen. "Mulai besok pagi tebu ditebang. Buruh tebangnya sudah datang. Mereka menginap di balai desa. Mereka rata-rata orang jauh!" kata Mbah Kung memberitahu mereka.
"Asyik!" kata Snot dan Vista serempak. Panen tebu disebut 'rembang'. Tidak tahu juga kenapa disebut begitu. Mungkin dulu yang jadi tukang tebang tebu orang dari Rembang, Jepara. Bisa jadi begitu. Benar saja keesokan harinya terdengar suara hiruk pikuk dari arah perkebunan tebu. Suara berisik dari tumbangnya tebu yang ditimpali teriakan para buruh tebang, ramai sekali. Bukan sekali ini Snot dan Vista menyaksikan panen tebu, tapi mereka tidak pernah bosan melihatnya. Apalagi, saat panen tebu, orang bisa bebas mengambil dan memakan tebu tanpa takut dimarahi penjaga. Bagi anak-anak, panen tebu adalah pesta besar.
Bagian tengah perkebunan tebu yang mula-mula dipetik, karena tukang bales, yaitu pemasang rel, harus memasang rel sementara untuk dilewati lori yang masuk ke area perkebunan. Setelah selesai panen, rel itu dicopot dan dibawa pulang ke pabrik lagi. Traktor hilir mudik dengan roda-roda belakangnya yang besar. Ketika melewati gundukan-gundukan tanah bekas tebangan tebu traktor berjalan tergoncang-goncang sambil mengantar lori kosong. Bila buruh tebang sudah memenuhi lori dengan tebu maka beberapa traktor akan menariknya menuju rel utama. Di sana kereta api uap sudah menunggu untuk menarik lori ke pabrik gula.
Anak-anak suka menjagokan traktor-traktor itu berdasar kekuatannya dalam menarik lori. Ada yang menjagokan traktor yang berwarna kuning, hijau, atau merah. Bila traktor jagoannya menarik lebih banyak dibanding yang lain maka dia akan berteriak-teriak senang. Snot menjagokan traktor kuning. Karena dianggapnya masih baru. Tetapi traktor kuning kalah dengan traktor hijau. "Yah ternyata hanya catnya saja yang baru!" gerutu Snot, kecewa.
"Itu memang traktor baru. Hanya saja sopirnya kalah pengalaman!" kata Kot, temannya. Benar juga ya!
Snot dan vista senang sekali dengan panen tebu itu. Sudah kenyang makan tebu bersama teman-temannya. Mereka juga mengumpulkan bunga tebu. "Nanti batang bunga tebu akan saya bawa pulang ke Jakarta, akan saya bagikan ke teman-teman. Banyak teman kita belum pernah melihat bunga tebu!" kata Vista.
Cik, anak perempuan teman Vista, menemukan sarang pipit berisi lima butir telur. Senang sekali dia. "Telur-telur kecil ini akan saya titipkan ayam kate yang sedang mengeram, biar menetas!" kata Cik.
"Mana mungkin! Nanti pecah semua ketindih induk ayam. Bukankah telur pipit ini cangkangnya tidak sekuat telur ayam? Sudahlah! Titip rebus saja kalau ada yang merebus ubi!" saran Vista sambil tertawa.
Sarang burung pipit berbentuk bulat sebesar helm untuk anak-anak dan terbuat dari malai bunga tebu yang mirip kapas. Pasti hangat buat telur dan anak-anak pipit yang sudah menetas. Sayang tebu keburu di petik sehingga sarang pipit tidak selamat. Beberapa anak malah mendapat sarang yang berisi anak pipit yang belum bisa terbang. Bila demikian, mereka akan sibuk memelihara anak burung itu. Menyuapinya dengan beras agar tumbuh besar. Biasanya anak pipit yang dipelihara akan jadi burung yang jinak. Karena menyangka anak-anak itu sebagai induknya karena anak pipit tidak pernah bercermin!
Panen tebu bisa berhari-hari. Bahkan bisa berminggu-minggu. Tergantung luas areanya. Hari ketiga panen tebu, sekitar jam dua siang, tiba-tiba terdengar suara geretas dari area perkebunan. Merah api terlihat menjilat dan membakar dedaunan tebu yang belum ditebang. Asap hitam membumbung tinggi dan cepat menyebar. Kepanikan segera terjadi. Para penebang tebu yang dekat dengan api segera berlarian menjauh, tidak tahan panas. Orang-orang segera berdatangan dan berkerumun menonton tebu terbakar. Anak-anak ada yang bersorak-sorak senang, dipikirnya itu tontonan gratis.
Tidak lama kemudian ada yang berteriak memberi aba-aba agar penebang tebu memblokir api. "Blokir apinya! Jangan sampai meluas!" teriak mandor tebu yang bertanggung jawab atas penebangan tebu. Mereka segara menebang tebu yang belum terbakar. Beradu cepat dengan api. Menebang tebu dan menyingkirkan daunnya supaya bersih sehingga api tidak menjalar lebih luas. Api padam dan hanya beberapa petak yang terbakar.
Tidak ada korban luka atau lainnya. Tebu yang kena api jadi hitam legam dan menimbulkan aroma gula yang terbakar, hangus-hangus harum. Snot, Vista, dan teman-temannya segera membayangkan bisa makan tebu bakar. Tebu bakar kalau masih hangat sangat enak. Sayang, mandor tebu melarang mereka mengambilnya. "Kita selidiki dulu siapa yang membakarnya!" seru mandor tebu geram.
Snot dan Vista terusik dengan kata-kata mandor itu. Bisa banyak cara untuk terbakarnya tebu itu karena banyak orang yang ada di sana. Bukan hanya para penebang saja tetapi juga pemilik sawah, anak-anak, pencari kayu tebu, juga orang yang hanya menonton. Siapa tahu ada yang iseng melempar puntung rokok. Atau ada yang sengaja membakarnya.
Snot mendekati mandor yang sedang gundah hantinya. "Apakah saya diizinkan untuk membantu menyelidiki siapa yang membakar tebu, Pak?" Mandor tebu itu mula-mula heran melihat keberanian Snot. Tapi Snot meyakinkan lagi. "Saya akan mencoba mencari si pembakar tebu!"
"Boleh! Kamu boleh membantu! Sebetulnya kebakaran tebu bukan urusan besar. Karena besok pagi tebu yang terbakar langsung ditebang lalu didahulukan untuk digiling agar kandungan gulanya tetap tinggi. Jika tidak segera digiling maka tebu yang terbakar kehilangan zat gulanya sehingga tidak manis lagi!" kata mandor tebu.
"Jadi kebakaran tebu ini tidak akan dilaporkan kepada polisi?" tanya Vista.
Mandor tebu menjawab, "Kecil kemungkinannya. Kecuali ada yang sengaja membakarnya. Karena membakar tebu juga membahayakan jiwa orang. Untung tidak ada yang terjebak api!"
Setelah api benar-benar padam dan tidak panas lagi maka Snot dan Vista mulai melakukan penyelidikan. Dengan mengajak teman-temannya mereka mencari sesuatu di sisa-sisa kebakaran tebu. Tetapi mereka diam-diam juga mematahkan tebu yang gosong dan mengunyahnya. Sedap! "Apa kamu sempat melihat ada kelebat orang di tempat ini sebelum terjadinya kebakaran?" tanya Snot pada Vista.
"Mana saya tahu! Saat kejadian itu saya lagi asyik mengunyah tebu sambil merem! Habis manis, sih!" jawab Vista asal-asalan. Yang penting Snot jengkel dengan jawabannya. Dia memang baru suntuk dengan Snot. Tak tahu apa sebabnya. Mungkin gara-gara Snot sok manja dengan Mbah Uti. Baangkan, makan saja minta disuapi!
"Jawaban yang tidak berguna!" keluh Snot. Vista meringis, dan mengupas tebu lagi. Pasti nanti dia tidak makan nasi, karena kekenyangan air tebu. Berkali-kali Snot menyeringai ketika menyentuh tebu yang masih panas. Jangan tanya sudah seperti apa rupa Snot. Sudah seperti anak siamang, monyet berwarna hitam legam. Rambutnya jelas makin hitam kerena arang tebu. Dikoreknya abu di guludan-guluan tebu. Siapa tahu akan menemukan barang petunjuk. Misalnya puntung rokok atau lainnya yang tentu saja ikut terbakar. Tetapi meskipun terbakar hangus abunya kadang masih terbentuk. Atau menemukan bekas minyak tanah karena minyak memberi bekas khusus. Tapi tanpa bantuan minyak tanah pun daun tebu kering sangat mudah dibakar. Semudah membakar kertas kering.
"Bagaimana, nak, kamu sudah menemukan apa?" tanya mandor tebu. Snot menggeleng. Mandor itu masih sangat terpukul. "Saya juga belum menemukan apa-apa!" sambung sang mandor.
"Menurut Bapak apakah kebakaran itu disengaja?" tanya Snot.
"Bisa disengaja dan bisa tidak!" jawab mandor tebu. "Mengapa bertanya seperti itu?"
"Habis daun tebu tajam dan gatal bila kena kulit. Siapa tahu ada penebang yang sengaja membakarnya agar daun tebu habis sehingga mereka tidak terganggu daun tebu!" bisik Snot, sambil melihat sekeliling. Takut ada penebang tebu yang mendengarnya.
Mandor itu diam sejenak. "Bisa saja! Tapi kemungkinan itu kecil. Karena menyangkut bobot tebu! Jika tebu terbakar maka bobotnya berkurang. Dan itu merugikan mereka. Karena mereka dibayar berdasarkan bobot tebu yang mereka tebang!" Snot mendengar penjelasan sambil mengorek lubang hidungnya yang tiba-tiba gatal. "Awas, nanti lubang hidungmu ikut gosong! Bukankah tanganmu kotor oleh abu?" kata mandor tebu mengingatkan Snot sambil tertawa.
Snot terkejut dan malu sendiri. "Maaf, Pak!"
Berkali-kali mereka memeriksa lokasi kebakaran tetapi tidak menemukan petunjuk. Sampai suatu saat Kot berteriak memanggil, "Snot, sini!"
Snot bersama mandor tebu menghambiri Kot. "Lihat!" kata Kot, tangannya menunjuk sebuah benda.
"Bola lampu?" bisik Snot. Diambilnya bola lampu yang berada di tumpukan abu daun tebu. Bagian pangkal bola lampu pada bagian logamnya sudah berlubang. Ada sedikit air di dalamnya. Memang beberapa hari yang lalu sempat turun hujan lumayan deras. Jadi air hujan itu tertampung bola lampu. Sebagian kaca bola lampu tampak hangus.
"Itu bukan petunjuk apa-apa!" gerutu mandor tebu. "Paling ada orang iseng melempar bekas bola lampu ke areal perkebunan! Dari pada susah-susah menguburnya di kebun!"
Snot melihat arah jalan dusun. Menaksir-naksir apakah mungkin seseorang bisa melempar bola lampu sampai ke tempat ditemukannya bola lampu itu. Karena hanya jalan itulah yang dekat dengan perkebunan tebu. "Makasud Bapak ada yang melemparkan bola lampu dari jalan?"
"Boleh jadi begitu!" jawab mandor tebu. "Tapi siapa tahu ada anak-anak yang membawa bola lampu saat mencuri tebu. Lalu bola lampunya jatuh di sini dan tidak diambil lagi!" Prit-prit....., ada beberapa burung pipit hinggap di tebu terbakar. Tampaknya mencari telur atau anaknya yang ikut terbakar. Kasihan sekali.
Karena tidak mendapat petunjuk yang lain maka Snot melangkah gontai keluar areal perkebunan tebu. Kembali bergabung dengan teman-temannya. Hanya saja Snot paling hitam bila dibanding yang lain. Dia tampak seperti habis mandi tinta. Teman-temannya berlari ketika Snot mendekat. "Tolong ada hantu terbakar!" padahal mereka hanya takut ketularan jadi hitam. Snot tertawa dan mengejarnya. Snot mandi berlama-lama untuk membersihkan jelaga. Tetapi tetap saja masih tampak hitam.
"Biar saja begitu! Kamu malah gagah!" kata Mbah Uti sambil tertawa.
"He satria hitam! Nanti kamu tidur di lantai ya! Jangan ikut saya! Spreinya nanti hangus!" seru Vista. Snot diam saja tidak menanggapi olok-olok Vista. "Bagaimana, ada petunjuk siapa yang membakar tebu itu?" tanya Vista kemudian.
"Tidak ada! Saya hanya mendapatkan bola lampu bekas!"
"Apakah kamu tidak menemukan anak panah?" tanya Vista.
Snot tertegun dengan pertanyaan Vista. "Anak panah?"
"Uh, bukankah kamu suka nonton film cowboy! Orang Indian punya senjata panah api!" seru Vista. Snot memandangi Vista sampai lama dan tidak berkedip. "Eh, jangan jadi mata kodok!" seru Vista, takut Snot jadi sakit step!
"Tidak saya temukan panah beracun di sana!"
"Maksud saya panah berapi. Bukan panah beracun!"
"Ya! Tidak ada anak panah beracun api di sana!" kata Snot. Vista melengos. "Kalau panah api pasti ujungnya ada kain yang dibundel dan dicelup minyak! Bila tidak begitu api sudah mati ketika dipanahkan! Iya, kan?" kata Snot.
"Tapi apakah ada yang melihat panah api itu?" tanya Vista.
"Lho bukankah yang mengatakan ada panah api itu kamu. Bukan saya!" sergah Snot, jengkel dengan pernyataan Vista yang tiba-tiba berubah. "Jelas tidak mungkin ada yang berani melakukan itu. Apalagi di siang bolong!"
"Bolongnya sudah ditambal, kok!" sahut Vista. Snot melempar Vista dengan jambu air yang diambilnya dari meja. Jambu air pecah dan keluar ulat kecilnya, Vista menjerit ketakutan. Snot tertawa terpingkal-pingkal.
Mbah Kung datang menolong Vista. "Jambu jangan dibuang-buang! Dosa!"
"Itu jamu busuk, kok, Kung!" kata Snot. Kakeknya tertawa, sudah hapal sifat cucu-cucunya itu.
Snot menelepon Mayor Dud. "Om, ada kebakaran tebu. Saya selidiki bersama mandor. Tapi kami tidak menemukan petunjuk apa pun. Hanya menemukan bekas bola lampu!"
"O, begitu! Hanya ada bola lampu bekas?" tanya Mayor Dud.
"Ya!" jawab Snot. Lama tidak ada kata-kata Mayor Dud, Snot jadi tidak sabar. "Kok tidak ada suaranya? Ditinggal ke kamar kecil, ya?"
Mayor Dud tertawa, "Ha-ha! Saya baru membuka buku-buku fisika! Siapa tahu saya mendapatkan ilmu untuk memecahkan kasusmu itu!"
"Bilang saja belajar lagi. Tapi ujian sekolahnya di tunda kok!" goda Snot. "Baiklah telepon saya tutup dulu. Kalau sudah ketemu jawabannya telepon balik ya!" Tetapi ditunggu sampai beberapa jam tidak ada kabar dari Mayor dud. Snot penasaran lalu menghubungi Mayor Dud lagi. "Bagaimana pak profesor?" tanya Snot.
"Apa yang kamu peroleh di tempat itu?" tanya Mayor Dud.
"Bola lampu bekas yang sedikit berisi air!" jawab Snot malas. "Bukankah sudah saya jelaskan tadi!"
"Berisi air?"
"Ya! Tapi bukan air sirup!" gerutu Snot.
Mayor Dud tertawa. "Oke, kunci kasusmu adalah apakah kamu bersedia saya beri tugas?"
"Tugas apa?"
"Kamu buat percobaan. Saya ingat saat sekolah dulu!" kata Mayor Dud. Snot menyimak serius. Lalu Mayor Dud berkata lagi, "Ambil pinsil buat mencatat!"
"Siap!" kata Snot lalu mencari alat tulis untuk mencatat.
"Ambil putih telur, bawang merah, garam.....!"
Snot berteriak, "Ini mau membuat telur dadar atau martabak?"
"Sabarlah, Agen Topi Merah! Saya rasa kuncinya hanya bola lampu bekas itu. Tidak ada yang lain. Setelah itu carilah pemecahannya sendiri. Saya pusing, karena seharian memancing umpan saya hanya dimakan anak katak!" kata Mayor Dud.
"Aduh, bila tahu begini jawabannya tidak usah saya telepon! Buang-buang pulsa!"
"Jangan buru-buru marah! Begini, kamu ambil bola lampu bekas. Potong bagian pangkalnya dan isi air sampai penuh. Bawa keluar rumah, cari panas matahari, lalu bola lampu berisi air itu dekatkan dengan benda kering yang mudah terbakar. Kapas misalnya. Di situ ada kapas?"
"Ada!" teriak Snot. "Awas, lho, ya kalau mengacau!"
"Kamu dengarkan saya! Saat bola lampu berisi air kena sinar matahari muncul seberkas sinar, lalu dekatkan dengan kapas. Di titik paling terang dari pantulan sinar matahari ke kapas, panasnya akan membakar kapas! Dah, sampai di situ saja! Telepon saya cabut dan hp saya matikan. Cari petunjuk sendiri ya, detektif. Daa..!"
Snot bersungut-sungut di depan pesawat telepon. Kakeknya mendekat. "Ada apa dengan Mayor Dud?"
"Saya dibohongi! Disuruh membuat percobaan dengan bola lampu bekas yang diisi air yang katanya bisa membakar!" sungut Snot.
Mbah Kung tertawa. "Ha-ha, kamu nanti juga diajari gurumu!"
Snot ternganga, "Jadi kata-kata Mayor Dud betul, Kung?"
Mbah Kung mengajak Snot melakukan percobaan itu. "Mari kita buktikan bersama. Kebetulan ada bekas bola lampu bening dan matahari masih bersinar cerah!" Snot mengikuti Mbah Kung yang mengambil bola lampu bekas dan memotong pangkalnya dengan gergaji besi dengan hati-hati. Setelah berlubang bola lampu itu diisi air bersih sampai enuh, lalu ditutup plastik dan diikat karet gelang. "Kamu ambil sabut kelapa kering itu!" Snot mengambil sabut kekapa kering. "Ayo kita ke halaman rumah!" ajak Mbah Kung.
Mbah Kung meletakkan sabut di tanah, lalu bola lampu berisi air itu dihadap ke sinar matahari. "Lihatlah cermat, itu sinar matahari yang ditangkap bola lampu dan dipantulkan. Dekatkan pantulan itu dengan sabut. Nah, kita buat pantulan sinar itu menuju satu titik kecil di sabut!"
Snot memperhatikan serius, malah sampai nungging dan tahan napas. Beberapa saat kemudian sabut, tepatnya di titik pusat pantulan sinar matahari, keluar asap lembut yang lama-kelamaan menjadi bara api. Bara itu makin besar lalu menyala. "Hebat sekali! Kok Mbah Kung tahu?"
"Kakek dulu juga sekolah!" jawab Mbah Kung sambil tersenyum. "Mayor Dud tidak bohong, sengaja menyuruhmu melakukan ini!" Kakeknya lalu bercerita bahwa bola lampu ditemukan oleh Thomas Alfa Edison dan mulai diperbanyaknya pada tahun 1880. Tidak hanya bola lampu saja yang ditemukan si genius itu masih banyak lagi yang ditemukannya. Malah dia tercatat sebagai orang yang mematenkan 1093 hak paten. Bahkan sejak tahun 1876 dia mendirikan laboratorium penelitian industri yang dinamakan Pabrik Penemuan. Luar biasa kan?
Snot senang sekali dan memeluk Mbah Kung. "Terima kasih, Kung! Saya telah mendapat ilmu baru!"
"Tumben kamu memeluk Mbah Kung?" celetuk Vista yang tiba-tiba muncul. Tapi ketika melihat sabut terbakar dan ada bola lampu berisi air, Vista heran. "Pasti kamu habis dimarahi Mbah Kung! Habis kamu suka iseng. Main bakar-bakaran, ya, Kung?"
"Bukan itu!" jawab Mbah Kung.
Snot tidak meladeni Vista. dengan gembira dia pergi sambil membawa bola lampu itu menuju tempat penebangan tebu. Dicarinya sang mandor. "Sudah ketemu biang kerok kebakaran tebu, pak!" teriaknya.
"Siapa?" tanya mandor itu sangat berharap.
"Ini!" kata Snot sambil menunjukkan bola lampu di tangannya. Mandor itu memandangi Snot dengan tajam, tidak percaya. "Bila tidak percaya, mari kita buktikan bersama!" Snot mengambil daun tebu kering, lalu bola lampu itu dihadapkan sinar matahari. Tidak berselang lama daun tebu itu menyala.
Mandor tebu itu terkejut, lalu menepuk-nepuk pundak Snot. "Hebat, kamu hebat sekali, nak!"
Snot tertawa. "Tepukan pundak ini salah alamat, pak! Karena yang hebat itu kakek saya, Mbah Kung yang memberi tahu rahasia ini!"
Mandor tebu tertawa. "Terima kasih! Kamu sudah membantu saya, sehingga saya tidak berpikir buruk pada orang lain. Karena saya lama-lama juga curiga pada para penebang. Biar tidak gatal kena daun tebu mereka membakarnya, seperti perkiraanmu semula!"
Snot diberi hadiah satu ikat besar tebu bakar oleh mandor, karena tidak kuat mengangkatnya dia memanggil teman-temanya. Tebu hadiah itu mereka angkat ramai-ramai ke jalan, dan mereka pesta tebu bakar. Saat itulah Snot menceritakan rahasia kekuatan sinar matahari yang dipantulkan bola lampu bersi air kepada teman-temannya, dan memperlihatkan cara kerjanya.
"Nanti kalau kemah kita tidak usah membawa korek!" kata Yot, "Cukup membawa bola lampu diisi air untuk membuat api!"
"Kalau langit berawan?" tanya Snot.
"Awannya didorong dulu dengan bambu, agar menyingkir!" kata Yit di sambung tawa anak-anak lain. Panen tebu berjalan lancar, dan tidak ada kebakaran lagi. Hanya saja, sangat sulit untuk menemukan siapa yang telah melempar bola lampu ke perkebunan tebu. Toh, kebakaran tebu itu tidak diusut polisi. Dianggap selesai karena tidak ada yang dirugikan. (*)