Snot sedang bermalas-malasan di Pos Topi Merah. Dia hanya seorang diri saja karena Vista belum menyusulnya. Dari tadi hanya membaca komik Detektif Conan. Karena bukunya hanya satu maka sudah beberapa kali dibaca ulang. Tetapi bukan dari awal melainkan pada bagian-bagian yang dianggapnya rumit saja. Coba saja kalau tadi berpesan kepada Vista agar membawakan komik Tintin maka dia tidak akan kehabisan bacaan. Kriiinggggg. Telepon Pos Topi Merah berdering. Snot segera menyambarnya. "Ya, saya sendiri! Oh, Om Dud! O ya, saya segera ke sana!"
Snot segera bergegas pergi. Tetapi ketika melangkah keluar Vista datang. Tentu saja dia heran melihat Snot yang terburu-buru. "Ada apa?" tanya Vista, curiga.
"Saya harus ke Pasar Rawabening!" jawab Snot.
Vista tertegun lalu ingat sesuatu, lalu mengeluarkan uang dan menyerahkannya kepada Snot. "Kebetulan kalau begitu. Tolong sekalian kamu beli buku-buku iptek bekas!" ucap Vista.
"Tapi saya tidak janji lho ya. Soalnya saya ditelepon Om Dud agar menyusulnya ke sana!" sungut Snot. Tampaknya enggan dititipi Vista. "Kapan kamu akan memulai belanja buku-buku baru?" tanya Snot.
Vista tertawa. "Bukankah yang penting isinya? Asal buku itu masih bersih dan tidak rusak kan tidak masalah. Kita bisa lebih menghemat uang!" Snot tidak menghiraukan kata-kata Vista. Dia segera berlari menuju jalan raya dan mencegat Metromini 46. "Uh kenapa tadi saya tidak ikut saja?" keluh Vista.
Snot turun di pertigaan Pasar Mester Jatinegara. Lalu disambung dengan naik mikrolet ke arah stasiun. Sebelum sampai stasiun dia turun dan menyeberang jalan. Pasar Rawabening berada di bawah sebuah supermarket yaitu Ramayana Depstore. Begitu melewati kios pedagang ikan hias Snot menghentikan langkah karena ada beberapa orang sedang bertengkar seru. Snot pasang telinga untuk menangkap isi pertengkaran mereka.
Salah satu dari yang bertengkar adalah pedagang barang antik yang merasa ditipu. Pasalnya, batu akik di dalam pohon yang dibelinya beberapa waktu yang lalu ternyata sekarang ada kembarannya. Malah bukan hanya satu. Dulu dia berani membeli batu akik antik itu seharga seratus limapuluh juta rupiah. Jelas itu bukan harga yang murah. Pedagang barang antik itu sampai kini belum berhasil menjualnya lagi. Eh tahu-tahu sudah muncul barang yang sama. Tentu saja kemunculan barang yang sama itu membuat harga batu akik antiknya jatuh.
"Kamu memang menipu saya?" bentak Sam, pedagang barang antik itu kepada calo barang-barang antik yang bernama Ro.
"Menipu bagaimana maksudmu?" seru Ro, tidak kalah gusar.
Sam mengeluarkan potongan kayu yang tampak tertanam batu akik berwarna merah hati dari kantong kain yang dibawanya. "Ini dulu kamu katakan sebagai benda satu-satunya di dunia! Tapi kini beberapa pedagang juga mempunyai barang yang sama!"
Ro terdiam beberapa saat. "Lho, saya tidak menjual kepada mereka! Sumpah demi Tuhan! Sudah puluhan tahun kita bekerja sama dan saya tidak pernah sekalipun menipumu?" kata Ro. Sam terdiam, untunglah pertengkaran itu tidak berlanjut karena dilerai teman-temannya, dan mereka disarankan mencari jalan penyelesain yang terbaik
Snot segera masuk ke Pasar Rawabening tempat penjualan batu mulia. Pasar batu mulia yang satu ini sangat terkenal. Bukan hanya di kalangan orang-orang Jakarta saja tetapi juga dikenal oleh kalangan kolektor batu mulia dari mancanegara. Di Pasar Rawabening dijual aneka macam batu-batu mulia. Dari yang berharga rendah sampai jutaan rupiah. Snot melihat beberapa polisi sedang berada di salah satu kios. Mayor Dud ada di antara mereka. Polisi-polisi itu sedang serius mendengarkan keterangan dari seorang pedagang. Ternyata yang diperbincangkan tentang akik-akik di dalam pohon. Snot mendekati mereka.
Mayor Dud melihatnya, dan melambaikan tangan padanya. "Sini, jangan jauh-jauh!" Snot pun berkerumun bersama mereka.
"Pasti ini ulah sindikat!" kata salah satu polisi.
"Jelas ini sebuah rekayasa. Mungkin ada yang memalsu!" kata Mayor Dud.
"Jadi akik di dalam pohon ini bisa dibuat?" seru si pedagang. Pedagang itu salah satu korban penipuan. Mayor Dud tidak segera menjawab, diamat-amatinya batu akik yang ada di keping batang pohon lalu menyerahkannya kepada Snot untuk dilihat. Snot menerima dua keping kayu, pecahan dari batang pohon. Di salah satu keping kayu menempel ada batu akik yang tertanam di tengah-tengah. Sedangkan di keping kayu satunya, ada sebuah lubang setengah bola, bekas batu akik itu.
"Bagaimana, ada titik terang?" tanya Mayor Dud pada Snot.
Snot diam sejenak, lalu menggeleng. Sampai mereka meninggalkan tempat itu Snot belum bisa menjawab teka-teki batu akik di dalam pohon itu. Tetapi polisi harus segera bertindak, sehingga mereka yang dicurigai terlibat dalam lalu-lintas batu akik antik itu diperiksa. Snot menceritakan pertengkaran antara Sam dan Ro yang meributkan batu akik di dalam pohon. "Tampaknya kasus yang sama!" kata Snot. Lalu mereka mencari Sam dan Ro. Tetapi hanya Ro yang diperiksa secara intensif. Sementara San adalah sebagai korban.
Ketika diinterograsi Ro berkilah, "Saya hanya diminta untuk menjualnya! Kalau ini penipuan saya juga jadi korban penipuan. Karena saya juga membelinya untuk dijual lagi!"
"Apakah kamu bisa menunjukkan orang yang menjualnya?" tanya Mayor Dud.
"Ya, bisa. Orang ini sering nongkrong di peron stasiun!" jawab Ro. Hanya saja kata Ro, orang itu tidak setiap hari ada di stasiun. "Hanya hari Rabu saja dia ada di stasiun. Karena dia juga seorang pedagang kapas. Setiap rabu dia mengambil dagangan di Pasar Pramuka!"
"Apakah kamu punya alamatnya?" tanya Mayor Dud. Ro menggeleng. Mau tak mau mereka harus menunggu datangnya hari Rabu. "Dua hari lagi karena sekarang hari Senin!" kata Mayor Dud.
Ketika pulang Vista menanyakan barang titipannya kepada Snot. "Mana buku-buku bekas yang saya pesan?" tanya Vista.
Snot menunjuk, "Itu di meja!" Padahal tidak ada buku-buku itu. Snot malah membeli gorengan sehingga yang ada pisang goreng, ubu goreng, tempe goreng, tempe goreng, tahu goreng, pisang molen, dan cabe rawit sebagai bonus dari pedagangnya. Tentu saja Vista menjadi mencak-mencak tidak karuan. Untuk meredakannya Mayor Dud pun berjanji akan membelikan buku-buku itu. Bagaimana dengan nasib gorengannya? Tentu saja dimakan bersama.
Ketika tiba hari Rabu maka dengan mengajak Ro, Mayor Dud dan beberapa polisi menunggu orang yang dicurigai di Stasiun Jatinegara. Beberapa jam mereka menunggu dan menyisir stasiun. Sampai akhirnya orang itu ditemukan. Dia membawa bungkusan besar yang berisi kapas. Orang itu tidak berlari. Juga tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali. Orang itu dibawa ke kantor polisi dan diperiksa. Karena Ro juga sebagai korban penipuan maka Ro tidak "Saya mendapatkannya dari paranormal di Bekasi. Namanya Ki Don!" kata orang itu.
"Bukan Don King, kan?" tanya Mayor Dud. Ingat promotor tinju berambut jabrik landak.
"Sama sekali bukan!" jawab orang itu. Dia tidak tahu kalau Mayor Dud hanya bercanda.
Mayor Dud menghubungi Snot agar sepulang sekolah datang ke kantor polisi. Orang itu disuruh menunjukkan rumah Ki Don dan Snot diminta ikut serta. Kali ini Mayor Dud didampingi dua polisi berpakaian preman, yaitu Irjen Pol Kyie dan Irjen Pol Tok.
"Ditilik dari bentuknya saya yakin kasus ini melibatkan orang yang ahli pertanian!" kata Irjen Kyie, di tengah perjalanan.
"Jadi batu akik yang ada di dalam pohon itu rekayasa?" tanya Irjen Pol Tok.
Mayor Dud manggut-manggut mendengar kata-kata mereka. "Itu masuk akal. Mana mungkin akik antik itu hanya sebuah kebetulan belaka!" kata Mayor Dud. "Bayangkan saja, jumlah batu akik di dalam pohon cukup banyak!"
Setelah beberapa lama mereka sampai di sebuah desa yang ditunjuk si calo barang antik. Lalu dengan berjalan kaki mereka menyusuri jalan setapak dan sampai di sebuah rumah yang lumayan megah bila dibanding rumah-rumah sekitarnya. Tampak beberapa motor parkir di depan rumah itu. Mereka mengucapkan salam, dan dipersilakan masuk oleh tuan rumah yang memakai baju serba hitam dengan surban hitam mengikat kepalanya. Tampaknya dia dukunnya. Bau kemenyan menyengat, juga hiasan-hiasan dinding dan perabotan rumahnya membuat bulu kuduk merinding.
Kepala Snot agak pusing mencium bau kemenyan itu, sempat mencuri-curi pandang di kebun, siapa tahu ada kulit durian buat masker melawan bau dupa itu. Setelah berbasa-basi dan memperkenalkan diri, Irjen Pol Tok segera ke pokok permasalahan. "Maaf, di mana bapak mendapatkan benda-benda ini?" Sambil mengeluarkan benda-benda yang dipinjam dari para pedagang Pasar Rawabening.
Orang itu sama sekali tidak terkejut. "Saya mendapatkanya setelah bersemadi! Saat itulah saya diberi petunjuk gaib untuk mengambil benda-benda pusaka ini!" Dukun itu lalu mengambil batu akik yang menancap di kayu pohon mangga. "Yang ini saya temukan di pohon mangga di kebun. Sebetulnya saya tidak ingin melepas koleksi-koleksi sayai. Tapi, berhubung banyak yang menawarnya maka saya jual!"
"Apakah ditemukan di kebun ini?" tanya Snot.
Orang itu segera menjawab, "Betul!"
Snot keluar rumah, menuju kebun. Dicarinya pohon mangga. Ada satu pohon mangga harumanis di sudut kebun, dan itu satu-satunya pohon mangga yang ada. Snot mendekati pohon mangga itu, terlihat masih ada bekas gergaji di pohon itu. Dahan yang paling rendah telah dipotong. Snot menangkap keanehan, kenapa orang itu tahu bahwa di dahan itulah batu akik berada? Dukun itu juga keluar rumah diiring Mayor Dud dan Irjen Pol Kyei. Mereka juga menuju kebun.
"Yang bapak maksud pohon mangga itu?" tanya Irjen Pol Kyie.
"Ya!"
Snot dengan cepat mengajukan pertanyaan kepada si dukun, "Mengapa bapak tahu kalau batu akik berada di dahan itu, bukan di dahan yang lain?"
"Ih yang jadi polisi itu siapa sih? Anak ini atau yang tua-tua?" bisik si dukun dalam hati. Dukun itu gelagapan tapi dengan tangkas menjawab. "Karena saya melihat sinar di dahan itu!"
"Bagaimana dengan batu-batu akik yang lainnya?" tanya Mayor Dud.
Dukun itu merogoh kantong gedombrangnya mengeluarkan beberapa kayu yang mengandung akik. "Bapak bisa lihat, yang ini di dahan pohon asem! Dan yang ini di pohon mahoni. Pohon asem dan mahoni tidak ada di kebun saya, karena semua itu saya dapatkan dengan perburuan, layaknya mencari pusaka lainnya! Dan selama ini saya tidak pernah berteriak-teriak kalau benda itu satu-satunya!" jawab dukun itu. "Pasti para makelar yang mengatakan kalau benda itu hanya satu-satunya!" Karena belum ada bukti-bukti kuat maka dukun itu tidak bisa ditahan. Tapi mereka mengontak kepolisian setempat untuk mengawasi agar dukun itu tidak melarikan diri.
Diam-diam sebelum meninggalkan rumah dukun itu Snot bertanya kepada tetangga dan mendapat keterangan kalau selama ini banyak orang yang mencari Ki Don untuk mencari pusaka. "Saya pernah membaca majalah misteri. Pak Don pernah pasang iklan sebagai paranormal!" kata salah satu tetangganya. Keterangan itu sudah cukup bagi Snot.
Di perjalanan pulang dari rumah si dukun, mereka memperbincangkan kasus itu. Snot mencurigai kalau akik di dalam pohon itu dibuat sendiri oleh sang dukun. "Apakah Om Dud pernah mencangkok pohon?" tanya Snot.
"Pernah beberapa kali. Tetapi gagal!" jawab Mayor Dud.
"Apa yang terjadi dengan luka sayatan pisau di pohon itu?" tanya Snot
Mayor Dud tidak segera menjawab, lalu bertanya, "Maksudmu?"
Snot lalu berkata, "Bukankah luka di pohon itu pulih kembali? Saya pernah melihat pohon yang menelan benda-benda lain. Saya pernah melihat Kakek melilit pohon sawo dengan kawat, beberapa tahun kemudian kawat itu tak terlihat lagi karena tertutup kulit pohon. Demikian juga tutup botol minuman ringan yang ditancapkan orang di pohon, tutup botol itu lama-kelamaan masuk di dalam pohon!"
"Jadi dukun itu juga memakai cara yang sama? Akik sengaja dimasukkan ke pohon?" tanya Irjen Pol Tok.
"Ya, tapi tidak sama persis! Kita harus menyelidikinya lebih lanjut!" jawab Mayor Dud, yang sudah menangkap maksud kata-kata Snot.
"Jadi kamu perkirakan, modus operandi penipuannya seperti itu?" tanya Irjen Pol Kyei.
"Kemungkinan besar seperti itu! Penipuan ini sudah dirancang matang bertahun-tahun lalu. Karena prosesnya memakan waktu lama!" jawab Mayor Dud.
"Tapi bagaimana batu akik sebesar kelereng masuk ke tengah-tengah pohon hidup?" tanya Irjen Pol Tok lagi.
Snot segera menjawab. "Bagaimana kalau kita kembali ke rumah dukun itu lagi. Kita lihat pohon mangga itu sekali lagi. Siapa tahu kita mendapat petunjuk!"
Mayor Dud menggerutu, "Kenapa idemu tidak keluar dari tadi!" Irjen Pol Kye yang memegang kemudi segera memutar arah dengan cepat. Mobil kembali ke rumah dukun itu lagi. Ternyata rumah itu sudah kosong. Kata tetangganya si dukun sedang pergi ke rumah yang lain yang berada di desa sebelah. Mereka langsung menuju kebun dan memperhatikan potongan dahan yang ujungnya sudah mengering.
"Lihat, ada sedikit bekas luka lama di dahan ini!" kata Snot sambil meraba dahan itu. "Coba diraba! Bekas lukanya masih terasa!" Mayor Dud dan Irjen Pol Kyie ikut meraba dahan itu. Memang terasa sedikit ada perbedaan dengan permukaan dahan yang lain. Secara kasat mata atau sekilas, bekas luka pohon itu tidak tampak. Tapi ada kesan dahan itu pernah pecah dan menyambung lagi.
"Ketika dahan ini dibelah lalu dimasukkanlah batu akik. Setelah itu dahan diikat erat-erat! Bertahun-tahun kemudian luka pohon ini sembuh dengan batu akik berada di dalamnya!" kata Snot.
Mayor Dud menepuk-nepuk pundak Snot. "Bagus! Tampaknya kita juga harus melacak pohon-pohon yang lain!"
"Yang tahu tempat pohon lain hanya dukun itu sendiri!" kata Irjen Pol Kyei. "Tapi kini kita minta dukun itu ditangkap!"
Ki Don ditangkap dengan tuduhan penipuan. Semula dukun itu menolak tuduhan tapi setelah didesak akhirnya mengakui perbuatannya. Dukun itu bercerita kalau dirinya senang dengan dunia tanaman, termasuk cara-cara melakukan rekayasa pada tanaman. "Ketika berhasil menyambung dahan pohon yang pecah, maka saya berpikir bisa memasukkan sesuatu di pecahan dahan itu. Saya pilih akik, karena akik sering berbau mistik!"
Dukun itu disuruh menunjukkan pohon-pohon lain yang dipakai membuat batu akik antiknya. Dari pengakuannya pula ternyata selama ini dukun itu pura-pura melakukan upacara khusus untuk mengambil akik rekayasanya. Untuk meyakinkan batu-batu akik di dalam pohon itu diperolehnya secara gaib. Dan itu dibenarkan oleh orang-orang yang tinggal di sekitar pohon. Pintarnya lagi, pemilik pohon yang dipakai si dukun tidak tahu apa yang dikerjakan dukun itu pada tanamannya. "Saya hanya tahu Pak Don minta izin mencangkok pohon asam saya!" kata pemilik pohon asam.
Di kantor polisi Ki Don diinterograsi. "Mengapa pohon itu harus terpisah-pisah dengan jarak yang lumayan jauh?" tanya Irjen Pol Kyei, "Mengapa tidak dikerjakan di kebunmu sendiri?"
"Agar orang tidak curigai itu rekayasa! Bila benda-benda itu saya temukan di tempat yang sama maka orang akan curiga!" jawab Ki Don. "Bila begitu maka nilai kegaibannya berkurang sehingga harganya jatuh!"
"Apalagi benak kamu memang sudah jahat!" tambah Irjen Pol Tok. Dukun itu menyeringai mendengar kata-kata itu.
"Coba kamu bersabar lima tahun lagi, mungkin kami tidak bisa mendapatkan jejak luka di pohon-pohon itu!" kata Mayor Dud.
"Namanya perbuatan yang tidak diridhoi, pasti ada jalan untuk terbongkar!" ujar Irjen Pol Kyei. Dukun itu pun resmi ditahan, dan cukup bukti untuk jadi tersangka. Bersama dukun itu pula ditahan calo-calonya.
"O, ya! Mengapa dukun itu membuatnya di pohon-pohon yang berada di kebun orang, bukan di pohon pinggir jalan atau dekat kuburan?" tanya Snot kepada Mayor Dud ketika dalam perjalanan kembali ke Pos Topi Merah.
Mayor Dud mengangkat bahu. "Coba apa alasannya?"
"Tapi janji mau traktir untuk beli sesuatu!" seru Snot. "Bukankah Om Dud sudah berjanji untuk membelikan Vista majalah? Sebagai ganti gorengan yang dulu!"
"Kamu masih ingat saja. Padahal saya kira Vista sudah melupakannya!" kata Mayor Dud.
Lalu Snot menjawab pertanyaan Mayor Dud. "Pertimbangan Ki Don untuk membuatnya di kebun orang hanya pertimbangan keamanan saja. Bila dukun itu membuatnya di pohon pinggir jalan atau kuburan maka tidak ada jaminan pohon itu tidak akan ditebang orang. Bila itu terjadi maka dia telah membuang-buang waktu dan batu akik!"
"Dasar temannya si kancil!" seru Mayor Dud. Mayor Dud melirik Snot, "Kamu jangan ketularan jadi dukun lho!" Snot mengajak Mayor Dud mampir ke kios buku dan majalah loak di dekat stasiun. Lalu Snot mengambil beberapa buku ensiklopedia bekas, tentang binatang.
Ketika dukun itu diadili Mayor Dud mengajak Snot dan Vista menonton jalannya sidang. "Siapa tahu kalian nanti jadi hakim!" kata Mayor Dud. Dalam sidang di pengadilan terungkap bila dukun itu sering bersandiwara. Pohon yang sudah dipasangi akik itu dibuatnya seolah-olah tidak bisa ditebang. Caranya dia menyuruh orang bayaran untuk seolah-olah hilang tenaganya saat melakukan penebangan pohon itu. Ki Don selanjutnya berpura-pura mencari alasan kenapa orang itu kesurupan. Setelah itu bersemadi dan menunjuk bahwa di pohon itu tertanam batu mulia. Dengan trik seperi itu maka harga batu akik yang telah lama bersembunyi di dalam pohon jadi jutaan rupiah.
Ki Don telah memanfaatkan masyarakat yang sangat mempercayai mistik, termasuk batu-batu akik yang dianggap mengandung kegaiban. Kolektor batu-batu antik akan berani membayar mahal bila batu itu didapat dengan cara-cara tidak lazim. Di dalam pohon, misalnya. Bahkan cerita-cerita yang berkaitan dengan akik sudah sangat meresap di benak masyarakat. Padahal, batu akik hanyalah batu yang dihasilkan oleh panas bumi dan tekanan bebatuan bumi lainnya. Tidak beda dengan batu marmer.
Anehnya, orang-orang yang pohonnya 'dipinjam' oleh dukun itu tidak tahu apa yang dikerjakan dukun itu pada pohon mereka, tahunya, Ki Don minta izin untuk mencangkok. Hal itu diutarakan oleh satu saksi yang ditanyai hakim. "Benarkan dia mencangkok pohon Anda?" tanya hakim kepada saksi.
"Benar! Saya melihat sendiri dia melakukan pencangkokan. Anehnya setelah cangkokan itu keluar akarnya tidak diambil-ambil. Hanya dibiarkan saja!" jawab saksi.
Hakim bertanya lagi, "Apakah selain mencangkok dia melakukan yang lain? Maksud saya apakah dia membelah dahan yang dicangkok itu?"
Saksi diam sebentar. "Ya, saya ingat. Saat itu ada dahan bercabang yang terbelah!"
"Mengapa dia membelah dahan itu?"
Saksi menjawab, "Saya katakan ada dahan yang terbelah. Mengapa saa katakan demikian? Karena saya tidak melihantnya membelah dahan itu. Ketika saya tanyakan tentang daan yang terbelah itu dia menjawab bahwa itu tidak sengaja. Oleh karea itu dia membebatnya dengan karet ban!"
"Apakah Anda yang diminta menyediakan karet ban itu?" tanya Hakim.
"Tidak. tampaknya dia sudah membawa ban itu!" jawab saksi.
Hakim manggut-manggut. "Baiklah saudara saksi. Bila begitu Ki Don memang sengaja membelahnya. Terbukti dari ban yang sudah dibawanya!" kata hakim. "Satu lagi pertanyaan. Apakah saksi melihat saat dia mengikat cabang itu?"
"Tidak!" jawab saksi. Sidang pun diteruskan. Ternyata pohon yang banyak dipakai si dukun adalah pohon mangga dan jambu air. Dukun itu juga mengaku mencoba membuatnya dengan bambu, tapi belum berhasil. Akhirnya Dukun penipu itu divonis beberapa tahun. Tentu saja dengan mengembalikan uang hasil kejahatannya.
"Mengapa dia memilih pohon mangga dan jambu air?" tanya Snot.
"Pohon mangga dan jambu air pertumbuhannya cepat sehingga bisa segera memulihkan luka dan menelan batu akik!" jawab Mayor Dud. "Saya masih berpikir dengan pohon bambu yang dijadikan percobaannya. Pasti lebih sulit karena luka bambu yang dibelah susah menyatu kembali!"
"Mungkin dibuat pada saat pohon bambu itu masih muda!" kata Vista, "Ketika masih berupa rebung!"
"Mungkin dipikirnya sekalian membuat sayur rebung untuk lumpia!" kata Mayor Dud. Snot dan Vista tertawa. Saat Mayor Dud membuka tutup air minumnya, mereka berdua protes. "Hus, ini bukan jus jengkol. Tapi sari tomat, karena bibir saya sariawan!" gerutu Mayo Dud. Tapi Snot dan Vista tetap tutup hidung. "Satu yang saya salut sama dukun itu, dia sangat sabar demi menghasilkan benda untuk menipu!"
"Toh, hasilnya sepadan dengan kesabarannya. Meskipun mengantar ke penjara!" kata Snot. (*)