Chereads / Percikan Juni Ternyata Mimpi Belaka / Chapter 24 - Chapter 24- Jurang atau utopia

Chapter 24 - Chapter 24- Jurang atau utopia

Aku mengganti nama contact Rai sebagai mesin baper daripada king of bakpao.

____________

Dalam gerakan awan menutupi bulan di langit, aku melihat kenyataanku. Hanya satu tiupan yang membantu akan membebaskanku. Tetapi, meskipun aku menatapinya dan berdoa, harapanku masih tidak terwujudkan.

Aku sudah turun waspada, kesiagaan menghilang dari semua tempat kecuali telapak kakiku yang mengendap kedalam ruangan dengan langkah kucing yang ringan hanya untuk menemukan lampu ruangan masih menyala. Cassius yang seharusnya tidur, membuka dokumen di tengah meja.

"Eli?" Kepalanya yang tadinya membaca kertas di depannya mendongak keatas, pertanyaan dan kelegaan tertera di matanya. "Aku tak menduga kamu kembali secepat itu."

"Kamu belum tidur?"

Aku memasuki lomba menatap dengannya, tetapi kalah sebelum lama karena kelelahan. Tanpa bisa menyembunyikan keinginanku untuk menguap saat mulutku melakukannya.

Meskipun aku sama sekali tidak terlihat mengintimidasi, Cassius tetap menjawab, melepaskan tangannya dari dokumen yang tebal itu, untuk menopang dagunya. Di ambang kemalasan asap dan keseriusan tentara.

"Bukankah lebih aneh jika aku bisa tidur saat istriku kabur di malam perkawinanku?"

Cassius berdiri dari tempat duduknya, bergerak ke lemari darimana dia mengeluarkan baju tidur sutra dan memberikannya kepadaku. Saat aku menggantungnya di tanganku, terlihat gaun putih dengan motif bunga matahari. Warna oranye sangat menarik mata.

"Apa ini…?"

Di saat itu, senyuman diarahkan kepadaku. Seakan - akan aku menanyakan hal yang konyol.

"Baju tidur… apalagi?" Seperti kecewa dan tertawa di saat yang sama, Cassius menggelengkan kepalanya: "Aku tidak tahu istriku punya hobi tidur telanjang."

"Kamu-"

Rasa malu yang meliputiku, memilukan otot berpikirku, membuatnya tak bisa bekerja. Terbayang warna pipiku pada saat ini. Cela yang tak terlupakan.

"Aku?"

Cassius mengarahkan jarinya menuju mukanya dengan ekspresi bingung. Jika bukan karena kemampuan menahan diriku yang tinggi aku akan menghajarnya. Bebadah ini!

"-ternyata amat sangat baik." Aku menyembunyikan niat membunuh di bawah topeng nan manis dan menggertakan kesepuluh jariku. Menikmati kebingungan di mukanya akan gerakan tanganku sebelum melanjutkan dengan senyuman melebar.

"Apakah itu yang kamu harapkan? Sekarang aku terasa seperti menemukan sekolam limbah saat mencoba menemukan air dan aku tergelincir kedalamnya…. Menjijikkan."

Ku memakai nada terdinginku, dan mengutarakan "Kesini kau."

Seperti mengetahui kengerian yang akan menimpanya, Cassius mencoba untuk kabur, tetapi terlalu telat, aku telah menjepitnya dengan tangan kananku dan menggelitikinya menggunakan tangan kiriku. Suara tertawa tersiksa memenuhi ruangan.

"Kamu bilang apa mengenai aku???"

Dibawah seranganku, wajah Cassius yang biasanya pucat seperti patung merona merah seperti matahari terbenam. Aku hampir berhenti sejenak mengaguminya seperti pecinta siang khawatir menghilangnya terang. Kini dia terlihat jauh seperti manusia.

"Uhuk- kamu…. tentu saja bermartabat dan-" Cassius menghela nafas beberapa kali, batuk di tengah - tengah, "bukan adalah orang yang akan melakukan itu."

Senyuman puas menghias wajahku dan aku akhirnya berhenti menyiksanya. Menepuk punggungnya tiga kali aku mengatakan, "selama kamu tahu."

Dalam kesenangan aku mengganti bajuku. Kembali dengan sepintas kesombongan mentintai seringaiku.

Tetapi, kemenanganku bertahan hanya semenit lamanya. Kakiku melemah dan aku hampir tidak dapat berdiri. Tetap saja aku menahannya. Ternyata menjalani pernikahan menguras tenaga.

"Eli, kesini."

Menyadari kelelahan yang tersembunyi, Cassius mendemik tengah ranjang. Aku sudah bisa merasa mimpi mengetuk benakku. Tanpa berpikir panjang aku masuk kedalam selimut dan menutup mata.

"Selamat malam. Jangan takut bermimpi. Aku akan menjagamu."

"Pembohong."

Aku berkata begitu. Tetapi entah itu kesibukan hari atau tangan di sekelilingku yang mengurung kegelisahanku; bayangan yang membanjiri tidur ku tidak datang.

_____________________

Pagi datang seperti bilasan air dingin. Kehampaan di tempat tangan Cassius awalnya berada. Suara orang memakai baju masuk ke telingaku. Dan aku segera bangun meskipun rasa ngantuk yang berat.

"Oh Eli, kamu bangun?"

Aku memejamkan mata beberapa kali. Mengusir keburaman yang awalnya membuyarkan pengelihatanku. Di situ terdapt Cassius dengan rambut rapih dan jaz kerja hitam. Tampilan bukan seperti orang di pagi pernikahannya. Seperti ia hendak pergi ke kerja.

"Dan kalau aku tidak, apakah kamu akan jalan tanpa berkata - kata?"

Penuduhanku menangkap rasa bersalah Cassius. Laksana kucing yang menangkap tikus yang bersembunyi. Di bawah kekangan bukti, ia tidak mempunyai tempat untuk mengelak.

"Maaf Eli, ada masalah penting yang harus kuselesaikan. Aku tidak ingin membangunkanmu saat kamu begitu kelelahan."

Aku menyembunyikan perasaanku. Terkubur dibawah penerimaan. Melihat besarnya perusahaan, wajar kalau Cassius begitu sibuk. Tetapi, satu air mata hati yang jatuh ke sela - sela bebatuan yang menindihnya, merobohkan semuanya.

"Apakah menurutmu, aku adalah sebuah orang yang dapat kamu singkirkan sebegitu gampang? Berada di sisimu saat kamu menginginkannya, secara taat menyingkir saat kamu dipenuhi kesibukan?"

Tanganku bergerak cepat dan mengambil bantal dari belakangku, melemparnya mengenai muka Cassius. Sayangnya, pukulan itu tidak menyampaikan sakit hatiku.

"Cassius, kita sudah menikah. Mulai sekarang, keberadaanmu adalah urusanku. Jadi jangan menghilang begitu saja. Mulut ada untuk berbicara. Dan, kakimu- seharusnya tahu kapan berhenti dan kapan berjalan."

Ketegasan suaraku mengagetkan Cassius, yang tangannya masih memegang bantal yang jatuh dari mukanya. Tangannya meremas sarung putih itu.

"Eli…."

"Kamu mengkhawatirkan fisikku, tetapi apakah perasaanku pernah memasuki benakmu? Seorang perempuan mencari seseorang yang melakukan dua - duanya, tetapi saat berlawanan kamu seharusnya mementingkan hatinya."

Rasa sakit seperti berada di ambang mau pecah memenuhi kepalaku. Dejavu seperti aku pernah mengatakan hal mirip sebelumnya menyergapku. Tetapi, seakan ada yang menahan serangan itu, tekanan itu hilang meninggalkan gema yang terlupakan begitu terdengar.

"Tetap saja, aku akan memilih agar kamu sehat dan bahagia. Meskipun hatimu remuk, setidaknya kamu akan hidup."

Aku mencoba menangkapnya, tetapi suara yang berlari itu dihalangi oleh jawaban Cassius.

"Eli, kamu lupa bahwa perasaan membutakan. Hari ini pilihanku menambahkan waktu tidurmu. Tetapi, suatu saat, tindakan kita dapat mengubah hidup."

Apakah kami akan berkelahi tepat setelah berjanji untuk bersama?

"Filosofi tidak berguna tanpa aplikasi. Mengapa memikirkan hari esok saat kami bisa menyelamatkan hari ini?"

Bantal di tangan Cassius dikesampingkan, selagi ia kembali mengancingkan bajunya. Ia berjalan kepadaku dan mengelus pipiku. Ekspresi itu di mukanya. Lagi.

"Baiklah, mari kita berjalan ke jurang bersama. Kau. Dan aku bersama."

Dengan begitu, Cassius meninggalkan kamar itu. Hanya pas waktu untuk aku mengutarakan perbantahan terakhirku. Melawan pesimisme dia. Jika tidak ada yang tahu, mereka akan berpikir dia tokoh dalam tragedi romansa.

"Hei Cassius, camkan kata ini. Kita akan menuju tempat yang indah bersama. Dimana pun akhir itu, matahari kita tidak akan terbenam. Percayalah kedalam itu."

Rangkaian kata indah meninggalkanku. Tetapi pertanyaan yang tak terjawab menyerangku. Percayakah aku akan hal itu?

________________