Jalan keluar akan terasa seperti padang gurun belantara jika bukan karena penemuan teman terdekatku di kafe dekat lobby hotel. Rambut yang terlihat seperti kayu terbakar- tarian cokelat dan merah sepanjang bun samping dengan aksesori kupu - kupu emas menjuntai kebawah.
'Setidaknya, aku masih bisa berbicara dengan Vienna.'
Berencana mengejutkannya, aku berjalan dengan perlahan ke arahnya, memanfaatkan fakta kalau ia sedang menghadapkan wajahnya ke counter.
Aku sudah tiga meter di belakangnya, saat aku melihat manusia salju dengan awan ikal di atas kepalanya, mengenakan kardigan ungu tua dan kaus putih di dalamnya, lengan bajunya pas panjangnya untuk tidak terkena kedua cangkir yang ia pegang di tangannya.
Dalam sekejap, aku bersembunyi di belakang pilar secara instinktif. Selagi Rai duduk menaruh kedua cangkir putih di depan Vienna, pikiranku meracau. Mereka berdua saling kenal? Aku tidak pernah memperkenalkannya.
Mengapa mereka tidak pernah menyebutkannya kepadaku?
Aku selalu menceritakan keduanya satu sama lain.
Sebelum titik - titik di benakku dapat menghubungkan satu sama yang lain, gerakan Vienna mengambil cangkir itu dihalang oleh Rai; yang menggelengkan kepalanya sambil menunjuk dengan matanya ke arah kanan dimana seseorang pria dengan topi hitam berada.
Seperti Rai tadi, pria ini juga membawa minuman. Sikap pemalu yang bertentangan dengan badan gagahnya tertera dengan cara tangan kirinya memegang lehernya secara canggung selagi ia tertawa dan segera menjulurkan minuman itu ke perempuan itu, hati - hati seperti memegang kaca.
Di saat itu, topinya yang tadinya menudungi mukanya terlepas dan aku langsung mengenalinya. Luka sayat merah sepanjang wajahnya hampir mengimbangi rambutnya yang menyerupai jeruk darah.
Bayangan penggangguku sejak masa kecil, tangan kanan Ken.
Mateo katz.
'Gawat.'
Aku memutuskan untuk cepat keluar dari situ. Kakiku terbirit- birit menuju lobby hotel dimana supir menunggu. Mateo dan Ken tidak terpisahkan. Terakhir kali pun, berada diantara pengawal Ken. Kalau dia disini, orang gila itu pasti juga akan datang.
Seperti kedatangan guntur yang mengikuti petir, tangan memeras Ken menekan punggungku. Bau alkohol memanggil kerutan di mukaku untuk muncul. Dia telah datang. Anjing gila ini.
"Jangan kamu kira bisa kabur dariku. Eliana."
Mengapa pemburu di hutan mengira bahwa makhluk disana miliknya? Aku menghiraukan tusukan dari jari telunjuk Ken yang terselubung oleh pelindung kuku zirconium, dan ketajamannya yang bisa merobek kain di pundakku jika ditekan lebih dalam.
Kucoba untuk tidak menoleh ke bahuku, melawan iritasi yang mencoba mengendalikan pandanganku. Dari sisi mataku, pantulan cahaya di permukaan hitamnya bergerak, seperti bermain di segmen logam yang menyerupai sisik naga.
"Kabur adalah kata untuk orang yang melarikan diri dari tempat dimana dia berada. Kamu tidak pernah menjadi itu. Ini namanya menghindari kekacauan."
Kepalaku masih melihat ke depan, robekan di bajuku tempat jarinya bergerak akan terasa seperti tidak ada jika bukan karena sengatan dari goresan perlahan itu. Satu garis vertikal, dua miring dari tengah ke arah berlawanan.
Bedebah ini mengukir namanya di kulitku. Tekanan yang awalnya kukira adalah gemetar batu yang tidak dapat bergerak. Ternyata, adalah cambuk peringatan dari pembunuh yang bermain menjadi penjinak.
"Hentikan." Kutarik lengannya dari pundakku, memelintirnya tanpa belas kasihan. Gerakan yang kupelajari untuk beberapa tahun akhir ini akhirnya berguna.
Suara gertakan gigi yang teredam memasuki telingaku. Tetap saja pelintiranku tidak bertambah lemah. Satu serangan balik menguatkan tulang lebih dari seribu kata afirmasi diri.
Beberapa kalipun dia menginjakku, aku tidak akan patuh.
"Sebenarnya kenapa kamu melakukan ini?"
Perlawanan ini hanya ditemukan oleh ketawa dilebih- lebihkan, hampa dan dingin, seperti hantu yang mengetawakan kesengsaraan pembunuhnya. Kegilaan yang meresap kedalam akalnya tidak tersembunyikan.
"Kekuasaan. Keselamatan. Mukamu."
Kekuasaan dari mengambil alih perusahaan ayahku. Keselamatan dari kendali ibuku yang memakai fakta dia merawat Ken setelah kematian orang tuanya untuk menjadikannya perpanjangan tangannya. Aku masih dapat mengerti. Tetapi, kenapa wajahku?
"Akankah kamu mati jika tidak melibatkanku?"
Kali ini ia diam sebentar. Pandangannya menuju mataku tetapi jauh. Seperti orang mabuk yang mencoba menggenggam refleksi bulan di air.
"Entah, perasaan memiliki Eliana Caddel tidak buruk."
Eliana Caddel. Atau lebih tepatnya penerus keluarga Caddel. Nama belakang asliku. Pada akhirnya bahkan hiu pun mencari jalan pintas ke kehormatan. Tidak menyadari dia hanyalah ikan di permainan besar orang lain.
"Tetapi, kamu tidak menyukaiku."
'Dan aku tidak tahan dengan kamu.'
Aku meletakkan fakta terpenting yang dia lupakan. Seperti pertanyaan konfirmasi yang tersembunyikan. Apa gunanya mengejar kekayaan saat bayarannya adalah kebebasanmu?
"Tentu tidak, identitasmu lah yang kuingini."
Seperti kain belacu yang tidak berusaha menjadi sutra. Ia menampilkan semua kekasaran dan kejelekannya di halaman depan. Kejujurannya- satu - satunya hal yang paling memukaukan tentangnya.
"Dan tidak dapat kamu miliki." Berniat menunjukan kebenaran perkataan itu, aku lepaskan genggamanku dan melambaikan tangan kananku dimana cincinku terletak. "Aku sudah menikah sekarang."
Ku mencari jejak - jejak kekalahan, kemarahan, ketakutan di raut wajahnya. Hanya untuk menemukan bahwa perubahan tidak terjadi. Api yang diberi makan kematian di dalam matanya tidak berubah.
Dia masih saja kekacauan yang tak terkendalikan.
Sebuah butir pasir yang hanya hidup di badai.
Tidak menunggu balasan, kakiku mengantar diriku ke mobil. Untuk pertama kalinya di waktu yang cukup lama rasanya, aku bahagia telah menikah. Satu kuncup bunga diantara sekawannya yang telah diinjak.
"Jangan berpikir kamu bisa lari dariku seperti ini Eliana."
Sekali lagi ia mengejarku, langkah cepatnya mengirim rambut abu platinumnya bertebaran, warna hitam pakaiannya membuatnya seperti mimpi buruk dalam wujud manusia.
Aku terus berjalan agar tidak tertangkap.
Meskipun mengetahui aku dapat melawannya sendirian.
Mungkin, sudah muak aku dengan perilakunya itu.
Mungkin, ku tidak mau membuang energi ku kepadanya.
Tetapi, kalimat itu kuabaikan.
"Ingat, Eliana. Kau milikku. Jika aku mendengar kamu melewati batas dengan siapapun, akan kutebas."
Niatku hanyalah untuk keluar dari omong kosongnya yang mengotori kedamaianku seperti lumpur. Tetapi, Ken adalah ahli membuat orang marah. Dan aku sudah mencapai batas amarahku.
Menancapkan kakiku ke lantai, aku berputar dan berdiri, punggung sedikit lebih tegak. Suara dikeluarkan tegas seperti sebuah prajurit.
"Kamu?" Aku memindai tubuhnya dari atas kebawah, alisku terangkat. "Dengan kekuatan apa? Sungguh pembual yang tidak mengetahui pedang di tangannya itu terbuat dari kertas."
Dengan begitu, aku pergi lagi. Tidak menghiraukan ancamannya yang kosong.
"Jangan lupa Eliana, Cassius berkuasa di terang, tetapi kegelapan mempunyai banyak cara menghancurkan."
'Kegelapan apa? Penjaganya dan teman berandalan?'
Kuolok - olok Ken dalam rasa dengki.
Tidak menyadari bahwa dari lubuk otakku keluar sebuah ingatan yang samar.
Mayat bertebaran. Bau darah. Kuping berdengung.
Tangan kecil memegang tanganku.
Pelukan belakang dengan air berlinang.
Dan jauh di depan, Ken ternoda dengan percikan merah.
Pistol di genggaman tangannya.