Tak menunggu waktu yang lama bagi seorang pengusaha untuk mengirimkan uang puluhan juta kepada Aleena. Ya, hanya beberapa detik dari Evano meminta nomor rekening Aleena, kini notifikasi uang masuk sebesar 10 juta muncul di layar atas ponsel Aleena.
Gaji Aleena di restoran sangat kecil, jadi wajar saja jika dia langsung membulatkan matanya saat melihat notifikasi uang masuk setara dengan uang 3 bulan gaji restoran. 'Apa orang kaya memang seperti ini? Uang baginya bukan segalanya, bahkan mungkin uang tidak ada arti apa-apa bagi mereka. Beda dengan kami rakyat yang mengagungkan uang,' batin Aleena.
Dret! Dret!
Sebuah pesan telah masuk kembali ke ponsel Aleena, dengan segera Aleena membuka pesan tersebut.
"Kau sudah melihat uang masuk?" tanya Evano yang mengirimkan pesan kepada Aleena.
"Ya, notifikasi baru saja masuk ke ponsel itu."
"Uang yang saya kirimkan memang tidak seberapa besar, tapi cukup untuk mengapresiasi ide kamu yang sangat bagus itu. Saya akan selalu memberikan kamu uang jika kamu bekerja dengan bagus. Lanjutkan! Saya pun akan mencoba membantu kamu agar bisa mendapatkan posisi di perusahaan Aslan."
Aleena langsung memencet tombol balas, dan dengan segera menuliskan pesan yang akan diberikan kepada Evano.
"Ini terlalu besar, Tuan Evano. Apa tidak terlalu berlebihan?" Pesan terkirim.
"Tidak, ini tidak besar, justru bagi saya ini sangat kurang, mengingat ide kamu sangat luar biasa bagusnya. Terimalah. Kau berhak untuk uang itu."
"Baiklah. Terima kasih, banyak."
Pesan pun tak lagi terbalaskan, itu artinya percakapan mereka hanya sampai disitu. Aleena langsung menghela nafasnya, lalu beranjak meninggalkan perusahaan Aslan dan pergi ke restoran tempat dirinya bekerja sekarang.
Dengan gerak cepat, Aleena sudah sampai di restoran menggunakan sepeda motor online yang dia pesan. Dengan cara mengendap-endap, Aleena berhasil masuk ke dalam ruang istirahat karyawan. Disana, Aleena mengganti pakaiannya seperti pakaian untuk bekerja di restoran.
Aleena berjalan seperti biasa disaat dia sudah mengganti pakaiannya serta sudah bekerja layaknya pelayan di sebuah restoran.
"Aleena, kau baik-baik saja?" tanya Ardan yang tiba-tiba mendekati Aleena.
"Hah? Iya, saya baik-baik saja, Pak Ardan," jawab Aleena yang sangat terlihat gugupnya.
"Baguslah, saya kira kamu kenapa-kenapa awalnya. Kau dari mana saja?"
"Apa Hanum dan Faraya tidak mengatakan saya datang telat?"
"Mereka bilang hanya saja saya tidak tenang jika tidak mengecek langsung keadaan kamu."
"Oh, saya baik-baik saja, kok, Pak. Jangan khawatir."
"Baguslah jika kamu baik-baik saja. Jangan sungkan untuk mengatakan apapun tentang keadaan kamu. Jika saya bisa, saya akan membantumu."
"Tidak perlu repot-repot Pak Ardan. Saya wanita yang kuat, jadi mana mungkin saya lemah."
"Saya memang tahu kamu kuat, baiklah kalau begitu selamat bekerja, jika kamu lelah silahkan langsung istirahat dan jangan tidak enak hati dengan saya."
'Saya ini karyawannya atau kekasihnya? Kenapa dia senang sekali membuat saya seolah-olah adalah kekasihnya?' batin Aleena.
Lelaki yang beberapa menit yang lalu mengobrol dengan Aleena, kini sudah melangkah menjauhi Aleena, lengkap dengan ciri hentakkan sepatunya begitu nyaring di telinga Aleena.
***
Jam berlalu begitu saja, kini langit sudah berubah menjadi gelap, sementara Aleena sudah berada di rumah dari beberapa jam yang lalu. Begitupun dengan kedua sahabatnya yang juga sudah berada di rumah.
Entah kenapa cuaca malam ini sedikit panas, hingga membuat Aleena berjalan menuju ke luar rumah untuk mencari udara malam yang biasanya sangat sejuk. Langkah Aleena kini sudah berada di luar rumah. Aleena langsung menegakkan kepalanya, melihat beberapa bintang yang bertaburan di langit hitam pekat, lengkap dengan bulan yang berbentuk setengah lingkaran.
Aleena menghela nafasnya perlahan, mencoba memikirkan semua yang terjadi kepadanya. Ya, apalagi jika bukan tentang masalah Tuan Aslan. Tidak bisa di pungkiri jika tugas yang diberikan oleh Evano itu sangat menyusahkannya.
"Ada masalah?" tanya seseorang yang tiba-tiba mengejutkan Aleena yang tengah berdiri di bawah langit hitam.
Aleena yang mendengar pertanyaan itu langsung berbalik dan mencari sumber suara tersebut. Dia Hanum, ya, pertanyaan itu keluar dari mulut Hanum dan diperuntukkan untuk Aleena.
"Tidak," jawab Aleena singkat sambil mengalihkan wajahnya setelah tahu pemilik pertanyaan itu.
"Bagaimana tesnya? Apakah lancar?" tanya Hanum lagi.
"Lancar, kok."
"Berapa persentase kelulusan kamu disana?"
Aleena langsung menoleh ke arah Hanum dan menatap lekat ke arahnya. "Memangnya kenapa?"
"Tidak, saya hanya bertanya saja. Kau sampai meninggalkan pekerjaan di restoran demi bekerja di tempat yang baru. Apakah kau tidak ingin bekerja dengan kami?"
"Sama sekali bukan begitu. Saya hanya ingin memiliki pengalaman baru, Hanum. Kau jangan berburuk sangka seperti itu."
'Saya juga menyesali ide gila ini, Hanum. Entah kenapa saya bisa melakukannya, padahal bekerja di restoran jauh lebih enak dibandingkan bekerja di perusahaan Tuan Aslan,' batin Aleena.
Hanum langsung menghela nafasnya perlahan. "Rasanya sepi jika tidak ada kamu di restoran," ujar Hanum.
"Kau berlebihan sekali, Hanum. Kau harus tahu jika kita hanya berbeda tempat kerja, kita masih tinggal di satu rumah. Jadi, jangan khawatir seperti itu."
"Rasanya tetap saja berbeda."
"Sama saja. Tenanglah, saya tidak akan melupakan kamu, kok," ucap Aleena sambil tertawa kecil seolah menghilangkan perasaan sedih dari Hanum.
"Hm, baiklah. Lalu, bagaimana dengan Pak Ardan?"
"Saya akan mengatakannya jika saya sudah diterima. Jadi, jangan khawatir masalah itu."
"Oke. Baiklah. Lakukan apapun yang kamu senangi."
"Terima kasih sudah mengerti."
"Sama-sama."
Kini, Hanum dan Aleena saling melempar senyuman.
"Oh iya, Hanum apa kau pernah melihat Haris? Setelah malam itu, tampaknya Haris tidak pernah kelihatan lagi."
"Kau merindukan Haris?" tanya Hanum sambil menyipitkan matanya seolah membentuk kerugiaan.
"Tidak. Hanya saja merasa penasaran. Semenjak malam itu, saya tidak pernah lagi melihat Haris. Apa dia marah? Atau bagaimana?"
Hanum mengerti tentang malam itu yang dimaksud oleh Aleena. "Ya. Memang tidak pernah kelihatan lagi. Ada beberapa warga yang mengatakan jika dia pindah. Tapi, saya tidak tahu pindah kemana."
"Dengan orang tuanya?"
"Mungkin hanya sendiri."
"Apa karena malam itu?"
"Sepertinya bukan. Kalaupun iya, dia sudah besar dan memiliki akal pikiran sendiri, Aleena. So, jangan mengkhawatirkan dia. Khawatirkan saja dirimu itu."
"Kau benar juga, hidup saya sudah banyak masalah, jadi untuk apa memikirkan orang lain."
"Nah, itu kau tahu. Oh iya, Aleena kau ingin masuk ke dalam? Udara sudah semakin dingin," ucap Hanum.
"Kau ingin ke dalam? Silahkan saja. Saya sebentar lagi. Mau menikmati malam ini."
"Baiklah, kalau begitu saya harus masuk ke rumah dulu. Rasanya sudah dingin. Kau juga jangan lama di luar."
"Iya, jangan khawatir."
Hanum langsung meninggalkan Aleena yang masih berdiri di tempat yang sama. Aleena kembali sendirian menikmati malam yang sangat menenangkan bagi Aleena. Ya, menikmati malam sekalian menenangkan pikirannya.