Tok tok tok! Pintu ruangan Rangga ada yang mengetuk.
"Masuk!" Perintahnya sembari mengemasi berkas yang berserak di mejanya.
"Permisi, Bos! panggil saya ya?" Ucap Bapak Danuri satpam tadi.
Rangga segera mengemas berkas dan duduk menatap wajah Bapak Danuri.
"Duduk!" Ucapnya Datar.
"Terima kasih, Bos. Saya berdiri saja, tidak enak duduk di kursi empuk."
"Ya sudah, terserah Bapak saja." Rangga masih bersikap santai sesekali memainkan laptop di depannya.
"E, ngomong-ngomong saya di suruh datang kemari dengan keperluan apa ya, Bos?" Tampaknya Bapak Danuri tidak sabar dengan apa yang ingin di katakan sebenarnya oleh Rangga.
"Baiklah, kita mulai saja. Sebelumnya saya sebagai atasan di sini minta maaf yang sebesar besarnya dengan Bapak satpam yang bernama, Da-nuri ya?" Rangga mengeja nama Bapak di sakunya. "Hem, Bapak sudah berapa lama kerja di sini menggantikan yang lama?" Sambungnya.
"Kok minta maaf, Bos. Memangnya Bos ada salah apa sama Saya? Kurang lebih sudah satu bulan saya di sini, Bos!"
"Saya tidak, salah. Yang salah itu, Bapak!" Rangga mulai meninggikan suaranya dan menujuk Bapak itu. Lalu dia terdiam dan menundukkan kepalanya. Setelah itu, dia masih berani bertanya.
"Memangnya salah saya apa, Bos?"
"Salah Bapak, siapa yang suruh Bapak untuk berkuasa mengusir orang yang masuk ke perusahaan ini!"
"Tapi mereka kumuh, bagaimana nanti kalau salah satu di antara mereka melukai, Bos. Atau minta-minta uang. Kan nanti jadi kebiasaan, Bos!"
"Bagaimana kalau di antara mereka itu ingin bicara penting dengan saya? Apa Bapak mau bertanggung jawab? Seharusnya Bapak konfirmasi dulu dengan saya. Jika memang tidak sesuai prosedur perusahaan, boleh di usir. Namun secara baik-baik. Perusahaan saya tidak mengajarkan karyawan untuk berbuat kasar dan semaunya. Bapak sudah di ajarkan sebelumnya bukan sebelum Bapak Yono mengundurkan diri?" Jelas Rangga panjang lebar.
"Maaf, Pak. Saya hanya menjalankan perintah."
"Siapa yang berani perintah Bapak selain saya? Siapa bosnya di sini? Kalau Bapak saya pecat bagaimana? Kemarin Bapak sudah mengusir anak-anak itu, sekarang seorang Ibu."
"Maafkan saya, Bos. Jangan pecat saya. Saya masih butuh pekerjaan ini, saya janji tidak akan melakukan hal ini lagi."
"Baik, yang saya tanya sejak tadi, siapa yang sudah perintah kan kamu untuk lakukan hal itu? Jawab!"
"Maaf, Bos. Saya tidak berani katakan itu!"
"Bosnya saya atau orang itu? Siapa yang gaji Bapak di sini? Kenapa jadi nurut dengan orang itu. Atau Bapak benar mau saya pecat saja!"
"Baik, Bos. Akan saya katakan, dia adalah,"
Ucapannya terpotong begitu saja oleh Adel yang baru masuk.
Cekrek!
"Pak, bisa keluar sebentar?" Adel minta satpam itu untuk keluar terlebih dahulu. Lalu, Bapak itu pun keluar.
"Rangga!" Tanpa basa-basi lagi, Adel mengungkapkan apa yang ingin dia katakan pada Rangga.
"Aku sudah dengar semuanya dari luar. Sejak tadi aku sudah menguping pembicaraan kamu dengan satpam itu. Kamu jangan pecat dia, aku merasa cocok dengan Bapak ini. Dia sangat patuh padaku daripada yang dulu."
"Oh, jadi maksud kamu barusan memang kamu yang perintahkan Bapak itu untuk melakukan semua itu? Dan kamu yang sudah buat Satpam sebelumnya tidak betah karena tidak ikuti perintah kamu? Pantas saja, semua kacau hari ini."
"Ya, benar Rangga. Memang itu yang ingin aku katakan. Memang aku yang minta satpam itu lakukan. Jadi jangan pecat dia."
"Kamu jangan seenaknya atur perusahaan ini, Adel? Kamu di sini hanya karena perintah Papaku. Jika tidak, kamu juga pasti aku usir dari sini."
"Hei, Papa kamu itu punya hutang nyawa sama aku. Jadi kamu tidak bisa lakukan seenaknya juga dengan aku meski kamu itu bos aku. Lagi pula, aku lakukan ini juga tidak ingin kamu bangkrut dan salah menggunakan dana kamu, Rangga!"
"Kamu tidak tahu apa-apa, Adel. Aku sudah lebih lama di sini dari pada kamu. Jadi kamu jangan sok tahu. Lagi pula, hutang nyawa yang seperti apa? Biar aku bayar seberapa pun yang kamu minta."
"Tidak bisa. Ini sudah menjadi perjanjian dan kesepakatan antara aku dan Papa kamu. Jika kamu ingin bayar, tidak dengan uang. Melainkan hutang nyawa harus di bayar nyawa."
"Lalu apa yang kamu inginkan? Ini perusahaan aku, kenapa jadi kamu yang atur semua?"
"Terserah kamu saja. Kalau kamu ingin tahu lebih jelas tentang alasan, lebih baik kamu tanya langsung dengan Papa kamu."
"Aarhhhh!" Rangga sangat kesal, dan menggebrak meja dengan kuat. Namun Adel tidak peduli, dia pergi meninggalkan Rangga begitu saja di ruang itu.
"Apa ini? Sebenarnya apa yang sudah Papa lakukan? Kenapa Adel jadi berkuasa atas perusahaan ini? Bukannya aku yang memerintah, justru dia yang perintahkan aku." Rangga sangat kesal saat itu.
Karena rasa kesal dan penasaran yang amat sangat, Rangga langsung menutup laptop dan memasukkan ke dalam tas lalu pergi keluar. Padahal saat itu jam menunjukkan pukul 1 siang. Belum waktunya untuk pulang, namun dia pulang lebih dulu. Rangga ingin segera bertanya pada Papanya tentang masalah yang sebenarnya.
Dengan wajah kesal, hati yang menggerutu, mata sudah mulai tidak fokus dengan jalan. Sehingga hampir saja Rangga menabrak seseorang.
Ciiiiiittttt, suara rem mobil berdecit yang hampir menabrak wanita gendut yang juga sembarangan nyebrang begitu saja. Hal itu membuat dia terjatuh, jadi Rangga tidak dapat melihat siapa yang sudah hampir dia tabrak itu. Rangga keluar untuk melihat wanita yang sudah duduk di depan mobilnya.
"Rara?" Rangga terkejut ketika melihat Rara wanita yang barusan hampir dia tabrak.
"Rangga? Kamu!"
"Ayo masuk ke dalam mobil!"
"Ada apa ini? Apa Mbaknya baik-baik saja?" Beberapa orang datang untuk menyaksikan dan bertanya langsung pada Rara dan Rangga.
"Tidak apa-apa kok, Pak. Terima kasih! Kebetulan ini teman saya kok." Jelas Rangga sedikit cemas karena takut di amuk masa. Dia bermaksud untuk tanggung jawab dengan mengajak Rara untuk masuk ke dalam mobil.
"Oh, baik lah. Lain kali hati-hati ya!" Nasehat seorang bapak-bapak yang ikut melihat kejadian itu.
Rangga dan Rara hanya menganggukkan kepala.
"Ayo, Ra. Masuk ke mobil!"
Rara pun hanya mengikuti permintaan Rangga. Padahal waktu itu dia masih sangat kesal dengan perilaku yang di berikan Rangga pada malam itu.
Rara masuk ke dalam mobil yang cukup terbilang mewah itu. Karena tubuh yang obesitas terlalu gendut, membuat mobil itu seperti mantul dan bergoyang. Orang-orang yang di luar masih mempertahankan gerak gerik Rangga juga Rara.
Rara tidak peduli dengan mereka yang mentertawakan dirinya meski sudah bersungut-sungut.
"Mereka kenapa? Sepertinya tertawa?" Tanya Rangga pada Rara.