Berbagai keputusan diambil Anggun. Dia memutuskan melanjutkan kuliah. Hal itu pula yang sangat didukung suaminya, Ali. Bersamaan dengan Ali yang memutuskan melanjutkan S2 di kampus yang sama dengan istrinya.
"Hari ini kuliah pertamaku dan tepat setelah menikah, tapi aku merasa ada yang berbeda," gumam Anggun.
"Kenapa? Ada yang kamu pikirin?" tanya Ali melihat Anggun merapikan tali sepatunya.
"Ndakpapa ko."
"Kamu gapapa kan sementara tinggal di sini? Nanti baru pindah ke rumah kamu sore ini atau besok," ucap Ali seraya mengecek sepeda motornya.
"Iya. Aku manut kamu aja, Mas."
Ali tersenyum. Diulurkannya tangannya pada istrinya. Anggun tergugu melihat sikap manis Ali.
"Yuk. Kenapa masih bengong? Kita berangkat bareng."
"Serius?"
"Yaiya. Untuk sekarang dan seterusnya aku bakal antar jemput kamu biar aman. Wajar kan? Seorang suami ingin menjaga istrinya. Hum?"
Anggun tersenyum. Rambutnya yang merah ditutupnya helm oleh Ali.
"Kamu pede dengan penampilanmu?" celetuk Ali.
"Maksudnya apaan yah?" Anggun mulai kembali kesal.
"Jangan sewot dulu. Aku kan cuma nanya. Mastiin istriku nyaman."
"Aku pede-pede aja tuh."
"Baguslah. Kita berangkat sekarang. Siap?"
Anggun menganggukkan kepala. Meninabobokan segala cemas dan curiga.
"Gamau pegangan? Aku mau ngebut," tutur Ali.
Anggun menarik ujung jaket Ali. Namun, begitu Ali menambah kecepatan sepeda motornya, Anggun terpental ke belakang. Ia hampir saja jatuh.
Tangan Ali yang refleks menahannya.
"Makanya pegangan yang bener. Yah? Biar aman."
Ali meraih kedua tangan Anggun perlahan. Dilingkarkannya ke pinganggnya. Anggun hanya menuruti seperti anak kecil yang dituntun kasih ibunya.
"Nah... pegangan yang erat. Mengerti?"
Anggun menganggukkan kepalanya. Semilir angin menambah syahdu romansa sepasang pengantin baru. Karena takut kembali jatuh, Anggun mulai memiringkan kepalanya perlahan.
Ia mendekatkan kepalanya ke punggung Ali. Sesekali terpejam matanya. Menikmati udara jalanan menuju kampusnya. Merasakan aroma tubuh suaminya lebih lekat dari biasanya.
Sementara itu, di balik kaca helmnya, Ali tersenyum bahagia. Ia perhatikan perempuan berharganya itu leeat kaca spionnya. Sesekali tangannya memastikan ia tak tertidur.
"Kamu lucu kalau kegitu," gumam Ali.
"Apa?"
Tak disangka Anggun mendengarnya. "Emang aku boneka lucu."
"Telingamu peka banget sih. Jadi takut deh."
"Makanya kalau mau ngomongin aku jangan deket-deket. Jarak radius aman," kelakar Anggun.
"Haha... gitu cara ngomong yang baik sama mahasiswi sastra?"
Anggun refleks mencubit pinggang Ali saking kesalnya. Diiringi senyum yang terkembang setelahnya.
"Kamu tuh ya. Ngeselin."
"Ngeselin tapi suka kan?"
"Kenapa bisa suka coba. Padahal kamu kesel banget sama aku kan?"
"Gatau nih. Kayaknya sih aku lagi kena hipnotis," canda Anggun seraya memegangi pipi dan dahinya. Memastikan dirinya sadar sesadar-sadarnya.
"Ih apaan sih. Iya dihipnotis. Hipnotis cinta pria tampan dan gagah berani bernama Ali," jawab Ali dengan nada sombongnya.
"Pede!! Wee!!" ledek Anggun.
"Udah, ah. Sampai nih. Kamu siap?"
"Hum?"
"Di depan jalanan ini, pasti orang-orang akan memerhatikan kita. Di antara orang itu, pasti ada yang tak suka kita. Kamu siap?"
Anggun seperti merasa ragu. Matanya memerhatikan lalu lalang mahasiswa yang berjalan di sepanjang jalanan menuju kampus.
Anggun kembali mengarahkan pandangannya ke mata suaminya. "Aku ragu apakah aku bisa?"
Ali tersenyum tenang. Rambutnya yang gondrong kini tampak terlihat lebih rapi. Aroma tubuhnya juga wangi menenangkan hati.
Ali meraih jemari Anggun. "Kalau kita pegangan seperti ini, kamu lebih tenang?"
Anggun melirik Ali di sampingnya. Ia awalnya ragu, tapi tak bisa menafikan bahwa ia merasa tenang dengan sikap dan perlakuan manis Ali padanya.
Anggun menganggukkan kepala.
"Ok. Aku punya perjanjian biar kamu ndak ragu."
"Apa?" tanya Anggun penasaran.
"Apapun yang nanti terjadi sepanjang jalanan ini sampai ke depan kelas kamu, jangan pernah lepasin genggaman tanganmu. Apapun," jelas Ali.
"Kenapa?"
"Biar kamu yakin. Ada yakinku di atas ragumu. Ada kekuatanku, di atas kamu merasa lemah. Ada aku yang akan menjagamu, di saat kamu merasa takut."
Ucapan Ali memenuhi keraguan hatinya menjadi tenang seketika. Anggun refleks mengembangkan senyumnya nan manis.
"Siap?" tanya Ali.
Anggun menganggukkan kepalanya. Manut.
"Ok. Ayo kita berjalan santai biasa saja. Aku akan mengantarmu sampai ke depan kelas. Ok?"
Anggun kembali menganggukkan kepalanya.
"Oh ya satu lagi, jangan menoleh ke belakang."
"Kenapa?"
"Biar kamu lebih tenang. Percayalah."
"Memang bisa begitu?"
Ali melebarkan senyumnya. Tangannya merapikan ujung poni rambut Anggun. "Ya. Kamu yakin sama aku kan?"
"Baiklah. Aku ikuti semua saranmu. Kita jalan sekarang?"
"Ya."
Ali dan Anggun mulai melangkahkan kaki. Terlihat mahasiswa dan mahasiswi mulai memerhatikannya. Tak sedikit yang meracauinya.
"Heh! Lihat! Siapa yang gandengan itu? Itu bukannya Ali dan Anggun?"
"Iya. Itu emang mereka. Kenapa?"
"Kok sok romantis gitu sih. Itu ceweknya gatau diri banget. Gak cocok sama Ali. Mending cocokan sama aku. Iya nggak?"
Beberapa obrolan sekelompok mahasiswi mulai mencecarnya.
Anggun yang telinganya sangat peka, mendengarnya. Ia menghentikan langkahnya sejenak. Matanya berhenti menatap ke depan. Ia menundukkan wajah.
"Kenapa, Sayang?" panggil Ali.
Anggun kembali mengangkat wajahnya. Menegarkan dirinya baik-baik saja.
"Aku gapapa, ko. Kita jalan lagi?" ucap Anggun dengan senyum yang dipaksakan terkembang.
"Ssst... kamu sedih?"
"Ndak. Aku cuma harus lebih menatap ke depan biar tenang bukan?"
Ali tersenyum melihat ketabahan perempuan di depannya. Ia mulai membaca berbagai aura positif yang terpancar darinya.
Yang mana Ali tak pernah membaca sebelum ia memutuskan menikah dengan Anggun. Ali mengeratkan genggaman tangannya. "Biar kamu makin yakin." Ucapnya.
Ali dan Anggun kembali melangkahkan kaki. Mereka berdua hampir sampai di ujung pintu utama menuju kampusnya.
"Hei! Pasangan pengantin baru. Cieee!! ucap Anita mengagetkan Ali dan Anggun dari samping.
"Eh, Nita. Ngagetin aja. Kirain udah di kelas."
"Belum. Tadi telat, beburu tapi heran kenapa orang-orang pada liatin apa. Pas aku jalan eh taunya ada kalian. Pantesan pada liatin," cerocos Anita.
"Pantes apa?"
"Pantes bikin iri! Haha. Kalian pasangan termanis hari ini." Lanjutnya.
"Cuma untuk hari ini?" ucap Ali.
"Ouwh... selamanya lah. Semoga kalian langgeng terus, ya. Aku duluan aja biar jomblo kayak aku gak pingsan lihat kalian. Daaah!!" ledek Anita berlarian meninggalkan Anggun dan Ali.
"Tuh kan liat. Masih ada orang-orang yang tulus menyayangi kamu. Beruntung," tutur Ali.
"Ya. Kamu benar. Anita itu sahabat lamaku. Udah lama banget. Aku beruntung punya sahabat sepertinya, meskipun bawelnya kadang minta ampun," celetuk Anggun.
"Oh ya? Aku kira lebih bawel kamu!" ledek Ali.
"Ih. Enggak kali. Kamu yang bawel!" balas Anggun.
Mereka berdua saling bercanda di bibir pintu masuk utama kampus. Tak jauh dari Ali dan Anggun berdiri, ada orang yang memerhatikan mereka. Ya, orang itu memandang dengan tatapan yang berbeda.
Sebuah tatapan sinis itu, kian terasa menyeramkannya. Anggun dan Ali tak melihatnya. Namun, tatapan penuh kebencian itu seperti ingin mencelakai mereka. Siap menerkamnya.
"Lihat saja kau, Ali! Tunggu pembalasanku!" ucap Aldi.