"Gimana, Fan? Mau ngobrol dimana?"
"Taman?"
"Kita ke kafe gak jauh dari sini saja, gimana? Biar lebih nyaman."
"Yaudah. Ngikut aja."
Anggun bersiap akan naik ke motor Irfan. Tapi dicegahnya.
"Tunggu, Nggun!"
"Iya?"
"Maaf. Helmmu belum diklik."
Tangan Irfan segera meraih pengait helm Anggun yang belum dipasang. Jantung Irfan terasa berdebar dibuatnya. Ada aroma tersendiri yang tak bisa ia hindari.
"Makasih, Fan. Yuk, sekarang aja. Keburu kesorean."
"Iya."
"Aduh... gimana ya, naiknya?"
"Bisa?"
"Ehm, sebenarnya agak sulit."
"Aku bantu. Pegang tanganku. Dan naik perlahan."
Irfan mengulurkan tangannya untuk pegangan Anggun. Dengan arahannya, ia berhasil naik.
"Thanks. Maaf, keliatan norak, ya? Selama ini cuma bonceng matic. Belum pernah bonceng motor laki."
"Iya, gapapa. Tenang aja."
"Pegangan, ya."
"Hum?"
"Maaf, hanya kalau kamu takut jatuh saja."
"Oh..."
Irfan menutup kaca helmnya. Menyalakan mesin motornya dan bersiap menuju kafe tak jauh dari kampus.
"Siap?"