"Woy!!" teriak Ali.
Sontak, Anggun kaget mendengar suaminya berteriak. Ali menaruh minuman dan makanan di dekat Anggun. Ia segera berlari mengejar Aldi.
"Tunggu bentar di sini!" Ucap Ali.
Tubuhnya yang tinggi dan sorot mata yang tajam kian menghujam. Kakinya melompati semak-semak. Beberapa tanaman kecil yang tak begitu lebat.
Ali terus mengejar Aldi kemanapun ia berlari. Rambutnya yang dikuncir belakang, turut sesekali bergoyang mengikuti embusan angin melayang.
"Tunggu! Berhenti, Aldi!"
Ali menengok ke belakang. Ia masih melihat Ali mengejarnya. Matanya melebar karena panik dan jantung kian berdebar.
Aldi terus berlari, sampai akhirnya ia menabrak seseorang tak lain adalah Anita.
"Woy, lo, Al? Ngapain Aldi?" pekik Anita.
"Ah, banyak omong lo! Cepat pergi!" ucap Aldi meminta Anita menjalankan sepeda motornya.
"Tapi ada apa dulu? Kalau gue gamau gimana?"
"Sudah! Jangan banyak omong. Apapun yang lo minta, nanti kuturutin. Cepetan jalan motornya!" seru Aldi.
Melihat Aldi kian panik, Anita seolau tertular begitu saja. Ia menyalakan starter motornya dan berjalan ngebut.
"Woy!! Stop!" pekik Ali.
"Aku harus kejar dia!"
Ali melangkahkan kakinya ke parkiran motornya. Namun, ia menjedakan langkahnya begitu teringat sesuatu. Ya, jam tangan di tangan kirinya menunjukkan waktu yang sudah saatnya ia kembali.
"Ouh... aku kan harus ke ruang dosen sama Anggun!" Gerutunya.
Sambil berlari kecil, Ali berjalan sedikit menunduk. Ini memang gaya khas jalannya kalau melewati banyak orang. Semata, tak ingin jadi pusat perhatian.
Namun, sepertinya ia salah. Sosoknya yang tampan dan berprestasi, sudah cukup terkenal ke sana sini. Tak lupa menghindari pusat keramaian, Ali memakai masker hitam.
Ia berjalan tegap dan meraih ransel di pundak kirinya. Ia terus berjalan menuju Anggun duduk di tempat semula.
Ali duduk dan mengambil napas cukup panjang.
"Maaf, ya. Jadi nunggu lagi," ucap Ali.
Anggun memandang wajahnya yang cukup berkeringat. Bulir keringat menetes begitu saja di pelipisnya. Anggun mengambil tisu dan membersihkannya perlahan.
"Mas...." panggil Anggun.
"Iya?"
"Terima kasih, ya?"
"Untuk?"
"Untuk semuanya. Aku tahu kamu begitu menjagaku. Aku bahkan tak melihat ada Aldi di belakangku."
"Dia memang sudah kurang ajar! Gak nyangka bakal senekad ini terus balas dendam!" geram Ali.
Anggun meraih tangan Ali. Mengusapnya perlahan. Senyum dikembangkannya. Sebuah perlakuan lembut yang coba Anggun lakukan.
"Minumlah....," Anggun menyerahkan minuman stroberi yang dibelikan Ali.
"Kamu?"
"Kan ada satu lagi."
"Satunya buat dibawa nanti aja. Udah buat kamu. Mas gak haus, ko."
"Gak haus tapi keringatan banyak. Pasti capek mengejarnya. Sudah, minumlah. Aku bukain, ya?" Anggun membuka penutup botol minuman stroberi kesukaannya itu.
Mendekatkan ke wajah Ali, "minumlah!"
Ali menerimanya dengan tatapan teduh dan seakan terpesona dengan kelembutan Anggun. Separuh kecemasannya hilang di dekat Anggun.
Kalau ditanya apa itu tanda-tanda jodoh? Barangkali salah satunya adalah dimana saat kita ada masalah, salah satunya bisa menenangkan. Demikian juga sebaliknya.
Bahkan, lebih indahnya adalah melihat dan mendengar suaranya pun bisa jadi obat. Obat sebelum obat fisik itu sendirinya.
Suaranya mampu menenangkan segala kegelisahan. Tatapan mata dan kelembutan hatinya, meluruhkan segala cemas dan kemarahan hati. Indah dan kuatnya karena ketulusan dan kelembutan hatinya.
Bagaimanapun, kejujuran hati akan selalu berhak menempati ruang tersunyi dalam diri. Tak ada efek terindah dari menghadapi masalah, selain dianugerahi ketenengan hati.
Ali mengusap perlahan rambut istrinya seraya tersenyum. "Terima kasih, Sayang."
"Masih belum ada panggilan sayang nih? Aku nungguin, lo!" ucap Ali.
"Haha nungguin? Deuh selain ngambekan istriku ternyata juga penagih yang baik," ledek Ali.
"Ish. Aku kan cuma pengin dapat panggilan beda."
"Apa, ya? Maunya?"
"Ya terserah kamu."
Ali meneguk minuman stroberinya. Sesekali berhenti melihat jam tangannya.
"Eh, sudah hampir mulai. Yuk ke ruangan dosen dulu. Ntar dipanggil Pak Steven," ajak Ali.
"Kirain mau nunggu dipanggil."
"Hum? Kamu jangan kayak aku."
"Apa?"
"Udah... ayuk."
Ali meraih tangan Anggun dan berjalan beriringan. Ia melepas maskernya saat bersama Anggun. Celana jeans hitam dan kaos navy turut serta tertata apik di tubuh Ali.
Beberapa mahasiswi yang melihat Ali lewat, tiba-tiba teralihkan oleh pesonanya.
Anggun sempat merasa kesal. Karena saat beberapa mahasiswi mengungkapkan perasaannya nyata di di depannya.
"Waah lihat itu Ali. Cowok keren di kampus ini. Lihat deh cook banget kan? Uh... tapi sayang sudah punya istri." Ucap salah seorang mahasiswi.
"Iya, yah. Andai saja masih single. Pasti aku mau jadi pacarnya." Ucap salah seorang mahasiswi di gerombolan itu.
"Aku juga mau jadi yang kedua atau ketiga deh." Lanjut salah seorang di sana.
Anggun mengeratkan genggaman tangan suaminya. Ia menoleh ke Ali sekilas. Memerhatikan wajah suaminya. Seakan bertanya, "Apa memang suaminya sekeren itu untuk dikagumi? Kenapa dulu dia malah sangat membencinya?"
"Kenapa?" sapa Ali melihat Anggun memandangnya cukup lama.
"Tidak apa-apa. Wajahmu aneh."
"Aneh apa tampan? Bilang aja lagi. Ngapain malu. Kan aku suamimu," ledek Ali menggoda Anggun.
"Nggak. Aneh aja."
"Haha yaudah iya aneh. Aku suka kamu."
"Hum?" Mata Anggun membulat. Kian melebar mendengar perkataan singkat dari suaminya itu.
Mereka berdua sudah sampai di bibir pintu ruangan dosen. Berbagai mahasiswa dan mahasiswi yang akan ikut lomba pun sudah menanti di dalam ruangan itu.
"Aku suka kamu saat berpegangan tangan seperti ini. Dunia serasa milik kita berdua. Terus peganganan yang erat seperti ini, ya?"
"Mukamu memerah," ledek Ali.
"Enggak, ko!"
"Merah, tuh."
"Enggak!"
"Heh! Kalian berdua ngapain ribut di sana? Cepat masuk!" seru Pak Steven dari dalam ruangan Dosen.
"Wah, sudah ada Pak Steven. Akhirnya, kita sama-sama kena pekikannya."
"Gara-gara kamu, sih." Ucap Anggun seraya masuk bersamaan ke dalam ruangan.
Ada lima orang mahasiswa lainnya yang akan ikut perlombaan tingkat provinsi itu. Lomba menulis karya ilmiah diwakilkan Anggun dan Ali.
Ada salah seorang mahasiswi yang menatap Ali berbeda. Tubuhnya tak terlalu tinggi. Rambutnya panjang dan mata dipitnya seakan berusaha terbuka lebar saat melihat Ali dan Anggun lewat di sampingnya.
Anggun dan Ali duduk tak jauh dari kursinya. Ali tak melihat gerak-gerik sekitarnya. Ia hanya fokus bagaimana menjaga Anggun.
"Sini tasnya," ucap Ali pada Anggun.
"Makasih, Mas." Anggun tersenyum dan membuka minuman stroberi kesukaannya.
"Sini tak bukain," pinta Ali meraih minuman itu.
"Aku bisa sendiri, Mas."
"Iya-iya."
"Makasih, ya. Tadi sudah datang ngagetin dan ngejar Aldi sampai keringetan gitu."
"Sudah kewajiban Mas menjagamu, Sayang."
"Belum ketemu juga panggilan khususnya?"
"Nanti deh. Gapapa kan?"
"Gapapa, ko. Aku cuma becanda."
Ali tersenyum manis di depan Anggun. Sementara, perempuan bermata sipit yang duduk tak jauh dari mereka, terus memerhatikannya.
"Siapa dia?" Gumamnya.