POV Anita dan Aldi
"Sebenarnya lo ada apa sama Ali? Kenapa sampai dia ngejar lo? Hah?" cecar Anita dalam perjalanan.
Aldi menengok ke belakang. Ia masih memastikan bahwa Ali tak lagi mengejarnya. Matanya melebar karena panik dan jantung kian berdebar.
"Heh! Jawab!"
"Woy, lo, di? Ngapain Aldi?" pekik Anita.
"Ah, banyak omong lo! Cepat lanjut pergi!" ucap Aldi meminta Anita terus menjalankan sepeda motornya.
"Tapi ada apa dulu? Kalau gue gamau lanjutim nyetir gimana?"
"Sudah! Jangan banyak omong. Apapun yang lo minta, nanti kuturutin. Cepetan tetus jalan motornya!" seru Aldi.
Melihat Aldi kian panik, Anita seolah tertular begitu saja. Ia terus menjalankan motornya dan berjalan ngebut.
"Ini gue mau balik lo. Mau ikut?"
"Kalau lo boleh. Please."
"Deuh, udah minta tolong malah nagih," celetuk Anita.
"Apa yang lo bilang tadi?"
"Nggak. Kan di rumah ada Ibu gue. Siap kalau ditanya?"
Aldi diam. Seolah memikirkan ulang keputusannya akan ikut dengan Anita.
"Udah siap?"
"Udah." Jawab Aldi.
"Aldi...." Anita mencoba meleraikan ketegangan Aldi itu.
"Ya? Kenapa lagi?"
Anita dan Aldi berboncengan. Keduanya dipertemukan waktu dalam kesempatan yang sama; sebuah ketidaksengajaan.
"Oh ya Nit... Ibu lo kira-kira beneran ngijinin gue gak kalau ikut?" tanya Aldi dalam perjalanan.
"Iya. Emang kenapa? Masih kawatir."
"Iya. Kamu kan suka nekad."
Anita tersenyum di balik helmnya. Mencoba melihat ekspresi Aldi dari spionnya.
"Di...."
"Hum?"
"Kamu tuh ya... emang gak kenal aku?"
"Maksudnya?"
"Senekad-nekadnya aku, kalau urusan apapun, pasti ijin dulu. Gamungkin pergi gitu aja. Itu urusan pergi. Termasuk bawa temen ke rumah."
"Anggap aja gue sedang berbaik hati mau maafin dan nolong cowok cemen kayak lo!" pekik Anita.
"Udah dong marahnya! Capek kuping gue denger lo bawel!"
"Syukurlah."
Perjalanan dari kampus ke rumah Anita memakan waktu satu seperempat jam. Jalanan kala itu tak terlalu ramai. Kendaraan yang Anita dan Aldi melaju tak begitu kencang.
"Di...."
"Ya?"
"Lo gamau yang nyetir aja? Kayaknya Ali udah gak ngejar," ucap Anita.
"Boleh. Berhenti dulu."
Anita memberhentikan kendaraannya. Aldi bergantian yang menyetirnya. Keduanya melaju kembali.
Hanya semilir angin yang kian begitu dingin. Hangat mentari dan semilirnya, menjadi paduan yang cukup syahdu.
"Di... "
"Ya?"
"Pernah menyangka kita bakal kegini?"
"Maksudnya?"
"Ya terlihat baikan kegini. Apalagi sampai pergi bareng."
"Ndak. Bahkan aku masih sering berpikir ini seperti mimpi."
"Sama."
"Ternyata memaafkan itu melegakan, ya. Meskipun...."
Drrrttt!!
Aldi mengerem mendadak sepeda motornya. Mengagetkan Anita yang sedang bicara. Aldi pun kaget melihat kucing yang tiba-tiba menyebrang begitu saja.
"Aldi! Ada apa?" Anita pun mengentikan dialog itu. Berbalik kawatir pada Aldi.
"Tadi ada kucing yang hampir ketabrak. Maaf ya, ngagetin."
"Tapi ndak sampe ketabrak kan?"
"Ndak... untungnya tadi bisa berhenti."
"Hati-hati, Aldi. Kamu juga nggak papa, kan?"
Aldi tersenyum, "Nggak papa."
"Udah siap jalan lagi?"
Anita mengangguk setuju.
Anita tak lagi melanjutkan perkataanya. Padahal, hal itulah yang masih mengganjal hatinya. Membuat ragu kian berkepanjangn setiap melihat Aldi.
"Kenapa bisa? Kenapa bisa ia sekarang mau menolong Aldi?" Anita masih berkutat dengan pikirannya sendiri.
Ia tak tahu bagaimana harus menyampaikan kekecewaannya. Kekecewaan yang sulit diobati—perihal sikap menyebalkannya pada Anggun.
Sebenarnya Aldi kenapa? Kenapa Ali tadi begitu mengejarnya? Apakah sekarang ia bersalah karena menolong Aldi?
Keraguan kian menyelimuti Anita. Namun, Anita pun tak tega kalau tak memaafkan Aldi.
"Kenapa, Nit? Kok diem? Apa menyesal menolongku?"
"Eh... bukan, Di. Udah. Lanjut jalan aja."
"Terus? Oh ya, tadi mau lanjutin ngomong apa? Pas sebelum ngerem mendadak."
"Oh... ndakpapa, Di. Lain kali aja."
"Beneran?"
"Iya."
"Yaudah deh. Ini kamu arahin ya?"
"Apa?"
"Arahin! Kan yang tau rumah lo?"
"Kamu? Aldi memanggilku kamu?" Anita terdiam begitu saja.
"Woy! Jangan melamun! Habis ini kemana?" pekik Aldi.
"Iya-iya. Biasa aja dong. Kan gue udah nolongin lo."
"Iya. Masalahnya ini gue gatau rumah lo. Makanya arahin!"
"Iya."
"Nit," panggil Aldi.
"Ya? Apalagi?"
"Kenapa lo bisa sepemberani itu ngejar gue?"
"Pas lo mau ngelakuin hal aneh sama Anggun?"
Aldi mengangguk.
"Ya wajar lah. Kan gue sahabatnya."
"Hanya itu?"
"Memang apa yang pantas?"
"Aku sebenarnya iri dengan keberanian seperti itu. Kamu keren," ucap Aldi membuar desir aneh di hati Anita.
Mendengar laki-laki memujinya, Anita seperti jatuh hati. Tak dipungkiri, pengalaman cintanya hampir selalu tragis. Ia pun bertekad mengubah karakter dirinya menjadi sangat ceria. Sedikit tomboi dan begitu pemberani.
Yang mana sebenarnya, dulunya sebelum dikecewakan oleh atas nama cinta, dia sangat pendiam. Mirip dengan Anggun yang lebih terkenal lembut.
Barangkali memang benar. Salah satu hal yang dapat mengubah seseorang menjadi lebih bijak adalah jatuh cinta dan patah hati berkali-kali.
"Nit, beneran nih gue nggakpapa ikut ke rumah lo?"
"Iya. Kenapa? Takut sama Ibu?"
"Secara gue kan harusnya dibenci. Kenapa lo mau nolongin?"
Anita terdiam sesaat. Memikirkan dan meraba perasaannya sendiri.
Sraaak!!!
Lagi, Aldi mengerem mendadak. Membuat Anita terdorong ke depan dan mendekap Aldi dari belakang.
"Sorry, Nit. Tadi ada orang nyebrang gak hati-hati," ucap Aldi dengan suara lebih rendah dari sebelumnya.
Anita terdiam. Membuat wajah Aldi berbeda. Nampak, kecemasan mulai memenuhinya.
"Nit, lo gak papa kan? Sorry banget. Tadi gak sengaja," ucap Aldi kedua kali.
"Iya, gapapa."
"Lo gak marah kan?"
Anita menggelengkan kepala dan membenarkan posisi duduknya. Merapikan rambut yang berantakan dan menyuruh Aldi kembali berjalan.
"Jalan lagi aja. Gapapa."
"Iya, Nit. Sorry," ucap Aldi kesekian kalinya.
"Masih jauh, Nit?"
"Ndak ko. Sebentar lagi juga sampai."
"Tapi rumahmu cukup jauh juga, ya."
Mendengar ucapan kamu dari mulut Aldi, serasa ada desir berbeda yang dirasakan Anita. Ia bisa diam seketika. Merasakan sesuatu yang berbeda itu.
"Nit!" panggil Anita.
"Ya?"
"Lo gak capek nyetir motor ke kampus bolak-balik gini?"
"Ya gimana emang? Kan tinggal naik motor. Emang lo yang naik mobil?"
"Ehm, bukan gitu sih maksudnya. Baru kali ini nyetir lagi. Mungkin jadi kerasa lebih jauh kali, ya?"
"Mungkin. Kalau sudah biasa juga nanti biasa. Buktinya, aku tiap hari bolak-balik ke kampus ya pakai motor ini," jelas Anita.
"Keren!"
Pujian singkat dari Aldi justru menjadi sesuatu yang berbeda. Anita merasa sebuah perasaan lembut masuk dalam jiwanya.
Mengendap perlahan dari kebencian menjadi sesuatu hal lain. Entah, pantas disebut apa. Saat itu, ada yang berbeda. Benar-benar berbeda.
Hari itu, perjalanan lain dimulai. Mengapa Anita bisa mudah memberi kesempatan bagi Aldi? Adakah sesuatu hal lain yang membuatnya mau menolong Aldi bahkan memperbolehkannya ikut pulang bersamanya?