Sama percis halnya dengan Alyn. Ia tertegun berdiri di ambang jendela.
Senyumnya terbit menyeringai ketika ia mengingat detik-detik ketika Igho mengajarinya dalam hal basket.
Jujur dalam hatinya, Alyn merasa berbunga-bunga. Ia tak menyangka kalau pria yang jadi sorotan di universitasnya berada tepat di belakangnya siang tadi, bahkan dada Igho hampir menempel dengan punggung Alyn ketika itu.
Alyn tidak bisa terfokus dalam pekerjaannya di cafe paruh waktu.
"Woy! Idih, kok senyum-senyum sendiri?" kejut Anjar yang juga ikut bekerja dengan Alyn di Cafe tempat anak muda memburu kopi.
"Ish, Anjar? Kamu ngagetin aja?"
"Abisan, kamu kaya orang yang lagi jatuh cinta? Dikit-dikit tersenyum sendiri, apa kamu udah gila?" tanya Anjar dengan tangan yang masih sibuk menyapu banyak debu di atas meja tamu.
"Jatuh Cinta? Ach, jangan ngaco deh!"
"Ya, udah kalau gak ngaku. Ayo kerja! Semua harus selesai sebelum cafe tutup!" ujar Anjar sangat patuh aturan.
Sambil mengulum angin di bibirnya, Alyn tak terima kalau Anjar bilang bahwa dirinya tidak mengakui isi hatinya.
'Emang aku gak lagi jatuh cinta, kok,' bisik hati Alyn dengan manik mata mengekor ke arah Anjar.
Alyn memalingkan pandangannya, tak mau kesalnya berlanjut setelah di ganggu terus oleh Anjar tadi.
Bola mata hitam itu bersarang di dasar jendela cafe yang terbentang luas juga mengkilat.
Alyn tertegun melihat bayangan dirinya di balik jendela itu. Kembali ia senyum sumringah, saat melihat bahwa dirinya tidak terlalu jelek sebagai wanita berkaca mata seusianya.
Mengapa Alyn sepercaya diri itu mengaku bahwa dirinya tidak sedang jatuh cinta, padahal ada sesuatu hal yang mengalir dalam ingatannya tentang pria yang itu-itu saja.
Setelah hari kian menyelam, awan hitam mulai menyelimuti seluruh alam yang di pihak oleh Alyn, waktunya ia pulang.
Seperti biasa, Alyn bukan pulang ke kontrakannya melainkan ia pulang ke rumah sakit untuk menjenguk Ibunya.
Mengingat nama Ibunya, Alyn mempercepat langkahnya, bergegas keluar dari kafe itu.
"Aku duluan ya, Njar!" ujar Alyn melambaikan tangannya.
"Ya udah, sana! Salam buat ibu Daniah!" Anjar tahu sekali waktu yang sudah terjadwal setiap harinya Alyn berlalu.
Anjar selalu memberi semangat lebih untuk temannya itu, tak ada yang bisa ia berikan pada Alyn karena kedudukannya dalam ekonomi terbilang setara.
Alyn yang pontang-panting mencari tumpangan, langsung menjulurkan telunjuknya saat sampai di pinggiran jalan.
Angkutan umum seketika terhenti membuat Alyn yang sangat sederhana itu menenggelamkan tubuhnya ke dalam ruang kecil dengan tempat duduk menyamping.
"Antak aku ke rumah sakit ya, Pak!" pinta Alyn.
"Neng, malam gini masih pergi ke rumah sakit? Apa gak salah?" tanya supir melihat Alyn dari balik kaca spionnya.
"Sudah biasa, Pak!" balas Alyn menunduk. Rasanya ia ingin Ibunya cepat sehat, dan tidak menghabiskan waktu dengan makan obat-obatan yang sangat pahit itu.
Mobil yang di tumpanginya pun kian melesat melaju secepat kilat mengejar waktu mengantar semua penumpangnya yang hanya tinggal beberapa orang saja.
Setelah di pikir panjang, Alyn merasa sedang di permainkan oleh dunia, waktu bangunnya hingga malam gitu, Alyn belum bisa memperhatikan dirinya sendiri.
Bahkan satu sendok makanan pun belum mengisi perutnya yang tipis.
Alyn yang mulai merasa keroncongan langsung mengelus perutnya obat untuk rasa lapar itu supaya cepat hilang.
"Stop Pak! Di sini saja!" pinta Alyn meloncati pintu angkutan umum itu, dan membayar jasa angkutan umum itu di samping jendela mobil yang terbuka.
"Ini ongkosnya!"
"Terimakasih ya neng!'
"Sama-sama Pak!'
Sesekali Alyn melirik arloji yang mengikat tangannya.
Jarum jam yang sudah menunjukan jam 20.00 membuat Alyn mempercepat langkahnya.
Hingga sampai di ambang pintu, Alyn membuka kenop pintu itu dengan satu tarikan.
"Malam! Ibu?" Alyn bergegas mendekati Ibunya.
Semua alat yang kemarin terpajang di seluruh wajah Ibu Daniah, kini sudah terlepas.
Wanita paruh baya itu sudah duduk di bibir ranjang sambil melamun. Kedatangan Alyn membuat Ibu Danie melebarkan senyumannya dengan lembut.
"Alyn? Kamu sudah pulang, Nak?" sambar Ibu Daniah langsung melebarkan kedua tangannya.
Alyn merasa aneh dengan pergerakan ibunya yang langsung menggenggam weparuh wajah nya lalu senyuman itu memberi tahu sesuatu yang di anggap masih sangat aneh bagi Alyn.
"Ibu, nunggu lama ya? Tadi Alyn kerja dulu, Bu!"
"Ibu emang nunggu kamu lama sekali, tapi gak apa-apa Nak!" ucapan Ibu Daniah begitu semu keluar dari bibir pucatnya.
Manik mata Alyn sudah liar melihat keadaan ruangan itu yang sudah sangat rapi.
Alyn lupa dengan kedua kabar yang di ucap oleh Ibunya bahwa hari ini waktunya Ibu pulang.
Semua terlupakan saat Alyn terhanyut oleh ingatannya terhadap Igho. Igho seperti sudah menghipnotis harinya begitu indah, sampai-sampai ia lupa akan kewajibannya menjemput Ibunya lebih awal.
"Maafin, Alyn Bu! Gara-gara Alyn, Ibu menunggu lama, Kalau begitu Ibu tunggu di sini, Alyn selesaikan dulu semua administrasinya," ungkap wanita polos itu penuh perhatian.
Ibu Daniah sama sekali tidak mengiyakan semua anjuran dari anaknya. Ia hanya terdiam sambil memasang senyuman yang sangat halus.
"Kita pulang saja, semua administrasinya sudah selesai!" ucap Ibu Daniah menyodorkan satu tas jinjing berisi semua pakaiannya yang sudah usang.
"Selesai?" Alyn ingin sekali menanyakan bagaimana semua administrasi itu bisa selesai, namun waktu yang tidak tepat membuat dirinya mengikuti arahan dari Ibunya.
Alyn mengerahkan semua kekuatannya untuk memboyong tas jinjing berukuran sedang itu.
Sambil memapah Ibunya, wanita itu belum berhenti berpikir bagaimana cara ia pulang malam gelap seperti itu.
Kendaraan umum yang sudah sulit berlalu lalang di jam-jam genting seperti itu pasti membuat mereka sulit mendapat tumpangan.
Pikiran Alyn terus berputar. Namun lain dengan Ibu Daniah yang tetap melangkah teratur dengan langkah kecilnya.
Setidaknya langkah kecil itu memberi waktu untuk Alyn agar ia berpikir lebih cepat lagi.
Sampai di pinggiran jalan, Alyn nampak gugup menunggu tumpangan yang biasa mereka tumpangi.
Tidak mungkin masih ada sopir yang mau menarik penumpang semalam itu.
Alyn hampir putus asa, melihat Ibunya yang benar belum pulih betul, dan mengingat segala keterbatasannya membuat Alyn sangat berkecil hati.
"Ibu lelah berdiri? Ayo duduk di sini! Biar Alyn yang Carikan angkutan umum buat kita,"
"Tidak usah. Kamu duduk saja di samping Ibu!" anjur Dania menepis debu di sampingnya dan mempersilahkan Alyn yang nampak lelah untuk duduk saja.
"Duduk? Lalu? Angkutannya?"
Daniah kembali mengembangkan senyumannya melihat kepolosan putri sematawayangnya itu.
"Itu dia, tumpangan kita datang!"
Tak beberapa detik berselang, mobil mewah yang sangat berkelas dengan warna abu silver nampak bukan tumpangan yang biasa.
Bagaimana bisa mobil semewah itu bisa berhenti tepat di hadapan keduanya.
Otomatis pintu mobil itu bergeser terbuka menyamping.
Alyn terkejut, apa itu mobil khusus untuknya dan ibunya?
Seperti seorang putri yang sudah di siapkan kuda putih, Daniah dan Alyn menaiki mobil itu.
Mata Alyn celingukan masih tidak percaya. Bagaimana bisa mobil itu tersedia untuk mereka. Sedangkan uang dalam kantongnya saja tak mampu membayar sewaan untuk mobil semewah itu.
Alyn menunggu waktu hingga ia dan ibunya sampai di tempat tujuan nanti untuk mempertanyakan hal itu.