Semakin lama di dalam kamar itu, Igho merasa pikirannya semakin gila saja. Ia menepis air matanya lagi dan hendak membawa sweater miliknya untuk di pakai pergi.
Igho mengambil langkah seribu dari tempat itu karena ia merasa rumah itu bukan lagi surganya, malah Igho merasa kalau rumah itu adalah neraka baginya.
Kalau saja ia bisa protes, rasanya Igho ingin sekali mengusir ALyn dan Ibunya itu. Tapi Igho kembali mengingat ucapan Alyn terakhir kali di sela percekcokan tadi.
"Kenapa kamu tidak bisa pergi dari rumah ini hah" tanya Igho di sela percekcokan sama Alyn tadi di bibir tangga.
"Aku benar-benar tidak bisa pergi dari rumah ini," ucap Alyn terdiam sejenak dan pikirannya terus melayang-layang.
"Kenapa diam? Aku sudah mengira kamu akan betah di rumah ini, karena semua persediaan di sini sangat lengkap dari alat elektronik dan makanan apapun juga tersedia bukan?"
"Aku tidak seperti itu Igho!"
"Lalu kenapa?"
"Ibuku sakit, dan ayah kamu menjanjikan pengobatan untuk Ibuku hingga terpaksa aku harus tinggal di tempat ini,"
"Sudah aku duga kalau kamu datang ke sini ujung-ujungnya karena uang kan? Dasar matre!"
"Aku bukan cewek matre!"
"Lalu, Apa kalau bukan matre? Dasar mata duitan? Lagi pula, Ibu kamu sakit apa? Aku lihat dia segar bugar dan baik-baik saja, itu hanya modus saja!" ucap Igho di sela percekcokan tadi.
Hingga semua perdebatan tadi terus terngiang di kepala Igho dan mengingat-ingat lagi apakah Ibu Daniah benar-benar sakit?
'Ach, itu hanya alibi untuk bisa masuk kedalam rumah ini saja,' pikir Igho sempit yang membuat dirinya semakin tak betah saja di rumah itu.
Igho merasa dirinya benar-benar lebih baik pergi dari rumah itu di bandingkan harus tetap berada di lingkaran orang yang ia benci. Hingga Igho mengikat tali sepatunya, lalu ia memakai sweater itu dan berjalan peri dari kamarnya.
Saat Igho sampai di lantai dasar, rumah sudah sepi, tak adalagi kue berserakan bekas tadi. Manaf dan Daniah pun sudah masuk kedalam kamarnya masing-masing.
Igho semkin merasa tidak punya teman di rumah itu hingga Igho semakin menetapkan dirinya untuk angkat kaki di rumah itu.
Selangkah Igho hendak beranjak dari tempat ia berdiri, Igho melihat kotak hadiah miliknya masih tersimpan di atas meja.
Igho kembali melirik sedih kotak itu.
Hadiah pertama dan terakhir dari Ayah Manaf yang sangat membuat dirinya hancur.
Tapi entah kenapa Igho menenggelamkan kotak kalung itu kedalam tasnya seolah-olah ingin menerima hadiah itu.
'Maafkan Igho Yah!' ucap Igho di dalam hatinya lalu bergegas pergi dari tempat itu bersama dengan kalung yang ia bawa dengan berderai air mata.
Setelah Alyn membersihkan wajahnya dari lumuran cream kue, dan di bantu oleh Bi Tini, Ia berniat untuk mendatangi Ibunya di kamarnya.
Alyn masih kedal mengingat perlakuan Igho yang sangat keretlaluan itu.
"Bi, Bagaimana keadaan Ibu di sana?" tanya Alyn pada Bi Tini yang ikut membersihkan tubuh Alyn.
"Sepertinya Ibu dan Tuan besar baik-baik saja, mereka yang membersihkan kue di lantai bawah,"
"A-apa?" mendengar itu, Alyn semakin merasa bersalah.
"Iya nona. Bibi di suruh ke atas oleh tuan muda untuk membantu nona membersihkan semua kotoran di baju nona.
"Tapi, aku bisa sendiri Bi."
"Ini perintah dari tuan besar nona," ucap Bi Tini tetap patuh dengan apa yang di suruhkan oleh Manaf.
"Baiklah kalau begitu," ucap ALyn mempercepat membersihkan baju dan semua wajahnya dari cream kue tart itu dengan wajah yang terus cemberut.
Lepas itu, Alyn mendatangi Ibu Daniah di kamarnya.
Tok! Tok! Tok!
"Siapa?" suara Ibu Daniah menggema lirih di balik kamarnya.
"Ini Alyn Bu,"
"Masuklah sayang!" ucap Ibu Daniah lagi.
Dan saat Alyn sudah masuk selangkah ke dalam kamar itu, tubuh kecil Alyn langsung dapat sambaran sebuah pelukan dari Daniah.
"Kamu tidak apa-apa nak?" tanya Daniah yang sedari tadi memikirkannya.
"Aku baik-baik saja kok Bu," ucap Alyn masih merasa sesak seperti tercekik di lingkar lehernya.
"Ayo sini masuk!" ajak Daniah menarik tangan Alyn kedalam lagi dan mereka duduk bersampingan di pinggir jendela kamarnya.
Suasana hening malam itu sangat menyedihkan sekali.
"Bagaimana dengan Ibu? Ibu baik-baik saja kan?" tanya Alyn menggenggam tangan Ibu Daniah.
"Lihatlah! Ibu baik-baik saja kok. Ibu hanya mengkhawatirkan kamu. Jangan di ambil hati semua ucapan Igho tadi ya!" pepatah Ibu Daniah sangat menyayat hati Alyn.
Sebenarnya Alyn ingin terlihat tegar di hadapan Ibunya itu, namun apa boleh buat, rasanya ia seperti sudah habis kesabaran.
"Sebenarnya, ini adalah hari ulang tahun Alyn paling buruk Bu," ucap Alyn lirih. "Alyn berusaha sekuat hati untuk meyakinkan diri untuk membuat kue itu, tapi sambutan Igho benar-benar di luar batas Bu," ucap Alyn langsung menekukkan wajahnya ke atas pundak Daniah.
Rasanya hanya pundak itu yang bisa mengobati ke sakit hatiannya.
"Alyn, jika kau tidak bisa menahannya, kita bisa pergi sadi sini sayang?" ucap Daniah sambil menggenggam tangan Alyn begitu erat lagi.
Alyn menggeleng kepalanya menolak.
"Tidak Bu. Kita harus tetap berada di sini," jawab Alyn dengan sangat sedih.
Alyn tahu jika suatu hari dia pergi dari tempat itu, maka Alyn akan kehilangan Ibunya dan tidak bisa mengobatinya lagi.
"Tidak sayang, jangan khawatirkan Ibumu ini!" ucap Daniah lagi.
Alyn bisa menerima sikap Igho yang sangat kejam, tapi ALyn benar-benar tidak bisa menerima semua perlakuan dari Igho pada Ibunya. Alyn takut jika suatu hari Ibunya akan pergi meninggalkannya.
"Sudahlah, kita bisa bicarakan ini nanti saja. Ini sudah malam. Ayo kita beristirahat dulu ya sayang!" ajak Daniah pada Alyn.
"Baik Bu!"
Alyn pun pergi ke kamarnya. dan tidur terlentang tanpa bisa menutup matanya rapat-rapat.
Bagaimana bisa tidur sedangkan dirinya begitu pusing memikirkan tingkah Igho yang terus semakin menjadi-jadi kepadanya dan Ibunya itu.
Alyn menarik nafasnya lirih dengan wajah pucat pasi lalu terperanjat bangun dari ranjangnya itu.
'Aku benar-benar tidak bisa tidur. Perasaanku semakin tidak karuan seperti ini? Apa ada yang terjadi pada Igho?' pikir Alyn masih saja memikirkan kabar Igho yang selalu meninggalkan rumah tanpa pamit sedikitpun.
Hingga lamunan Alyn malam itu berakhir saat melihat layar ponselnya berdering ada panggilan masuk dari Igho.
"Hah? Igho?"
Alyn bergegas mengangkatnya.
"Ada apa kamu menelpon aku hah?" tanya Alyn masih terlihat tak mau mengalah.
"Jangan geer dulu, aku hanya ingin mengajak kamu untuk berbicara. Bukannya ada yang masih ingin di bicarakan? Ayo! Tapi, aku tidak mau kita bicara di rumah." ucap Igho jelas mengundang tanda tanya besar dari benak Alyn.
'Hah? Kenapa dia berubah pikiran dengan cepat sekali?' pikir Alyn
"Kenapa diam? Kalau mau, Aku tunggu kamu di pertigaan!" ucap Igho tidak memberikan pilihan lain.
Alyn benar-benar merasa itu adalah kesempatan baik untuknya berbicara empat mata.
"Baiklah!"
Alyn menutup telpon itu sebelah pihak lalu ia bergegas menyiapkan dirinya untuk pergi tanpa memberi tahu Om manaf dan Ibunya itu.