Celana jeans yang sangat pas di tubuhnya, membuat Alyn berpenampilan sangat santai. Ia memakai kemeja bercorak bunga kecil untuk memadu madankan celana jeans yang ia pakai.
Lalu sesuai dengan perintah Igho, Alyn bergegas untuk pergi dari itu secara diam-diam.
Ia menutup pintunya perlahan malam itu karena takut ada salah satu dari penghuni rumah akan terbangun.
Kriekk, Blum.
Pintu besar itu mulai tertutup rapat lalu Alyn bergegas pergi jalan kaki dengan langkah besarnya.
Sampai di pertigaan, Alyn berdiri tersentak melihat wajah yang sangat mencekam itu.
Meski Igho mengenakan Helm tapi rasanya Igho sangat menakutkan bagi Alyn.
"Kamu datang juga?" tanya Igho tersumbing sinis.
"Kamu pikir aku takut pada kamu, Gho?" Alyn langsung melipat kedua tangannya di atas dada.
"Kamu sombong sekali? Udah miskin, sombong lagi," cerca gho membuat Alyn menarik nafasnya kencang mengisi rasa penatnya dengan oksigen malam yang sangat dingin itu.
"Jangan banyak basa-basi lagi, ayo cepat kamu bicara!" ucap Alyn menagih pembicaraan yang ingin mereka utarakan satu sama lainnya.
Bukannya bicara, Igho melah menaikan sedikit tatapannya melihat wanita polos di depannya itu dan ingin sekali melancarkan sebuah aksi untuk membalas dendam karena sudah masuk kedalam keluarga kecilnya itu.
Igho nampak sangat siap dengan rencana itu dengan tatapan sinis terhadap Alyn.
"Aku tidak ingin kita berbicara di tempat ini," ucap Igho tegas.
Alyn yang sedari tadi berjalan menapaki trotoar di malam hari itu semakin tak percaya ternyata Igho malah memilih tempat lain untuk berbicara.
"Apa susahnya sih tinggal bicara? Ya, bicara saja!"
"Tapi aku tidak mau kita bicara di tempat ini!"
"Terus kamu mau kita bicara di mana?" tanya Alyn sedikit menyentak.
Igho sama sekali tidak menjawab melainkan memberikan helm satunya lagi kepada Alyn untuk di pakai wanita polos itu.
"Untuk apa ini?"
"Pakai saja! Lalu naik!" titah Igho dengan pasti.
"Naik? Enggak mau ah!" Alyn menggeleng ketakutan.
"Naik!" sentak Igho membuat Alyn tak punya pilihan.
Kaki Alyn yang lenjang membuat dia kesulitan untuk menaiki motor Igho yang tinggi besar. Apalagi tempat duduk motor itu menjorok ke arah pengemudi hingga membuat ALyn risih.
"Hep." Alyn naik ke atas motor itu setelah mencengkram pundak Igho sebagai penahannya.
"Kenapa masih diam? Ayo berangkat!"
"Pegangan!" ucap Ighi singkat.
"Enggak!"
"Pegangan!" Igho mulai menyentak.
Bisa di bayangkan kalau Alyn harus berpegangan pada tubuh musuhnya sendiri. Jangankan untuk mendekat untuk berpegangan, Alyn malah memberi jarak duduk dari motor itu hingga Alyn lebih memilih duduk di ujung besi saja.
Igho melirik Alyn yang malah semakin duduk berjauhan. Igho pun habis kesabaran hingga ia menarik tuas gas dengan hentakkan tinggi hingga Alyn yang sudah duduk dengan nyaman malah terhentak ke arah punggung Igho.
Brummms!
"Aaaargghh! Igho!"
"Aku bilang pegangan, ya pegangan!" ucap Igho langsung melarikan motor besinya dengan kecepatan sangat tinggi hingga seperti ingin membelah bumi.
Alyn terpaksa sekali memeluk Igho dari belakang punggungnya meski itu sangat risih sekali.
Motor yang melorot licin memaksanya duduk menghimpit punggung Igho dan membuat Igho terkekeh dalam hati karena telah mempermainkannya.
"Igho, jangan cepat-cepat! Aku takut sekali!"
Semakin Alyn meminta untuk memperlahan laju motor itu, Igho semakin menarik pedal gas dan kecepatan motor itu semakin tinggi.
"Aaaarrhh, Igho!" teriak Alyn ketakutan hingga ia memeluk kencang Igho dari balik punggunya.
Parahnya lagi, Igho menekan pedal rem secara tiba-tiba seperti sedang di lingkaran sirkuit hingga motor yangmereka tunggangi berputar 360 derajat di tempat dan membuat ALyn semakin jantungan.
Alyn hanya bisa terpejam dan memeluk erat dari belakang punggung Igho karena ketakutan.
"Turun!"
"Dimana kita?" tanya Alyn masih linglung dan menapakan kakinya ke atas bumi setengah melayang.
"Tidak penting ada di mana kita, yang jelas kita sangat jauh sekali dari rumah, dan tidak akan ada kendaraan satupun di sini!" ucap Igho sedikit menggertak karena memang suasana sekitar ini begitu sangat sepi.
"Aku takut, kenapa kamu membawaku ke tempat seperti ini sih?" tanya Alyn berdiri menyamping di pinggir pundak Igho.
"Alah, jangan lebay. Ayo ucapkan kepadaku apa sebenarnya yang ingin kamu ucapkan!" pinta Igho di tengah ketakutan Alyn.
Alyn memusatkan dulu pandangannya, lalu ia nampak melirik sekitar dan menarik nafas dalam-dalam.
"Igho, aku hanya ingin kamu tahu, kalau aku terpaksa berada di rumah kamu. Aku ingin Ibuku sembuh seperti sedia kala. Ibu- sedang sakit kangker tulang belakang," ucap Alyn sedikit menegaskan.
"Hah? Sakit? Aku tahu itu hanya alibi kalian untuk masuk kedalam rumahku kan? Kamu hanya ingin merauk harta kekayaan ayahku kan? Sudah aku kira sebelumnya kalau ibu kamu berselingkuh dengan Ayah manaf hingga Mamiku meninggal,"
"Tidak Ibu tidak seperti itu, Gho!"
"Buktinya, dia segar bugar dan bisa berdiri tegak seperti itu, sama sekali tidak ada tanda-tanda sakit?"
"Ibu memang tidak mau terlihat lemah di hadapan orang lain, Gho."
"Sudahlah, pokoknya aku tidak mau tahu. Aku hanya ingin kalau kamu dan Ibumu pergi dari rumah itu, maka akan aku berikan semua keinginan kamu!"
"Tapi, bagaimana dengan perasaan Ibu nanti?" ALyn lirih dan menelan air liurnya saat melihat Igho seperti tidak memberi pilihan lain lagi.
"Itu urusan kalian"! ucap Igho langsung mengenakan helm miliknya lagi, Igho menaiki motornya tanpa mengajak Alyn untuk ikut naik lagi.
"Igho! Tunggu, kamu mau kemana?"
"Ya, aku mau pulang lah,"
"Terus, aku bagaimana?" tanya Alyn kebingungan yang masih berdiri di samping motor yang di tunggangi oleh Igho.
Tanpa di persilahkan untuk duduk di motor itu, Alyn sama sekali tidak berani untuk naik.
"Kamu?"
"Iya, aku juga ingin pulang. Di sini sangat dingin dan menakutkan," ucap ALyn sambil mengelus kedua lengan tangannya dan melihat liar situasi sekitar dengan wajah yang sangat layu.
Alih-alih mengajak Alyn pulang, Igho malah menyalakan mesin motornya.
"Kalau kamu mau pulang, itu bukan urusanku lagi! Pikir saja sendiri bagaimana caranya kamu pulang sampai rumah!" ucap Igho dengan tega meninggalkan Alyn dari tempat itu hingga Alyn merasa tersentak.
"Igho! tunggu aku!" jerit Alyn sambil melambai dan tak mungkin meraih tubuh pria yang sudah pergi jauh itu.
Di kediaman pribadi Manaf, Ibu Daniah nampak terburu-buru menuruni anak tangga dan berusaha menghampiri kamar pusat rumah itu yang di singgahi oleh Manaf.
Dor! Dor! Dor!
"Manaf! Bangunlah! Tolong aku!" teriak Daniah yang sangat khawatir dengan keadaan yang aneh.
"Ada apa ini?" tanya Manaf saat membuka pintu kamar dan melihat Daniah berwajah cemas.
"Alyn tidak ada di kamarnya, Manaf. Terakhir tadi kami sudah saling bicara, tapi saat aku ingin melihat Alyn di kamarnya lagi, dia sudah tidak ada." ucap Daniah ketakutan.
"Bagaimana bisa? Kamu sudah cari ke seluk beluk rumah ini?"
"Aku sudah mencarinya," ucap Daniah waswas.
"Lalu, dimana Alyn ya?"