"Udah, Mas. Capek aku." Sofia melepaskan tangan suaminya. Setelah lari bak atlet maraton menghindari ombak pasang, ia kelelahan bukan main. Sofia memilih untuk berjongkok sebentar, melemaskan otot-otot betis.
Tubuh basah kuyupnya mulai kedinginan, menggigil ketika angin mengembus ke arahnya.
"Kita cari hotel buat menginap, ya. Kita tidak perlu langsung pulang."
Refleks Sofia mendongak. Apa benar yang dia dengar itu? Mata Sofia memicing sipit. Menelisik dalam apakah ada rencana busuk di balik ajakan menginap di hotel itu?
"Hey, jangan mikir aneh-aneh, ya. Saya cuma capek nyetir jauh."
What? Bahkan Sofia tak mengatakan apa-apa, kenapa laki-laki itu berburuk sangka terus? Ketus Sofia dalam hatinya sendiri.
"Apa? Saya nggak ngomong apa-apa, deh."
Nazam mendengkus. Ia masih tak bisa menghilangkan kecurigaannya kepada Sofia. Dirinya sangat yakin sekali kalau ada pemikiran konyol dan kotor dalam otak Sofia.
"Kamu tunggu di sini. Saya akan beli baju. Kita, kan, tak bawa pakaian ganti," ucap Nazam seraya pergi meninggalkan Sofia tanpa kecemasan.
Tidak. Bukan tanpa kecemasan, tetapi sesungguhnya laki-laki itu ingin menghindar jauh dari Sofia saat ini sebab jantungnya berdenyut-denyut seakan mau meledak. Dan dia masih belum menyadari penyebabnya apa.
'Buset. Apa-apaan ini? Kenapa wajahku serasa dibakar. Semakin lama semakin panas. Jangan-jangan aku demam,' batinnya ribut.
Sembari berjalan menuju penjual pakaian yang berjejer tak jauh dari bibir pantai, Nazam menyentuh dahi serta pipinya menggila. Dia pikir dirinya sungguh diserang demam saat itu. Benar-benar parah.
'Jantungku juga berdebar tak normal. Apa aku terkena gejala serangan jantung sekarang? Oh, God.'
Nazam bergidik ngeri.
"Semoga aku salah. Tuhan, aku masih ingin hidup."
Laki-laki konyol itu mempercepat langkahnya sembari mengusir semua pemikiran yang berkecamuk nakal.
***
Nazam kembali setelah Sofia menunggu lama. Wanita itu merasa kesal setengah gila. Tadi, ketika ia berniat ingin pergi, takut nanti si pelit mencarinya ke mana-mana. Dengan rasa kesal yang menggondok akhirnya perempuan itu duduk diam di bentengan tepi pantai. Ia mencoba melawan angin sore yang begitu dahsyat menerpa. Sambil ngedumel pastinya.
"Lama banget, sih, Mas?" gerutu Sofia berdiri tegak. Matanya menyorot berani. Saking marahnya.
"Ya, kan muter dulu cari yang murce," ujar Nazam mengangkat tinggi paperbag di tangannya.
Alis Sofia bertaut. Sedikit jijik dengan kata 'murce' yang diucapkannya.
"Ih, apaan?" Selain geli dengan jambang yang sempat dimiliki Nazam, kini Sofia juga geli dengan kata-kata Nazam. Geli sekali sampai rasanya ingin menghajar laki-laki itu kalau berani.
"Pakaian buat kita, apalagi?"
"Maksudnya murce ituloh!"
"Oh, itu kata penjual pakaian di tenda situ. Murce. Murah cekali."
Tambah ilfeel saja Sofia Manaf. Lihatlah bagaimana ekspresi sebal itu ditunjukkan terang-terangan.
"Lebay, tahu enggak, Mas!" Wanita itu pun menabrak tubuh Nazam agar minggir. Tanpa kata lagi ia pergi.
"Loh, mau ke mana Sof? Tunggu, kita harus pergi sama-sama biar enggak terpisah! Hey!"
Sayang teriakkan itu sama sekali tak didengar oleh Sofia. Yang ada malah wanita itu semakin mempercepat langkahnya.
Nazam bingung sendiri, ia menatap lurus ke tenda pemilik penjual baju yang masih nampak jika dilihat dari benteng pantai. Sementara pikirannya masih berada di sana, memikirkan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Sofia.
"Kok, malah lebay, sih? Kata penjualnya murce itu kata-kata yang wanita sukai. Ah, jangan-jangan aku dikerjai penjual itu!" gumam Nazam. Tangan yang mengudara bergantungkan paperbag itu diturunkan perlahan.
"Sial. Jangan-jangan penjual itu juga menipuku soal harga pakaian-pakaian ini!"
Marah, jelas. Tapi itu masih tuduhan tanpa bukti, Nazam juga tak bisa main labrak penjual itu. Malu sekali bila ingat harga diri.
Akhirnya Nazam memilih meredam kekesalannya. Tarik napas, buang perlahan.
"Semoga uang yang kuberi tak jadi daun, ya nantinya," dumelnya seraya berjalan pergi. Kembali ingat dengan istrinya yang sudah dari tadi hilang entah ke mana.
"Astaga, Sofiaaa!"
Nazam lari sekencangnya. Lima meter berikutnya usai lari bagai peserta maraton, sosok Sofia tertangkap juga oleh matanya. Nazam lega, akhirnya bisa menyeret wanita itu ke hotel.
"Dasar, bukannya tunggu aku, malah main nyelonong saja." Ia mempercepat langkahnya. "Eh, tunggu. A-apa itu merah-merah?" Nazam menghentikan langkah tak jauh dari bayangan Sofia di belakang.
"Heh, Sofia. Kamu habis ngedudukin apa?"
Mendengar suara khas Nazam reflek membuat Sofia menoleh. Matanya menyorot penuh tanya, seolah berkata, 'Apa, sih?'
"Itu! Baju kamu ...," tunjuk Nazam berusaha datar. Ia tak mau dianggap laki-laki mesum hanya karena menunjuk ... yah, pasti tahu, kan yang ditunjuknya apa.
Mata Sofia membelalak besar. Wanita itu seakan sedang disengat listrik, tubuhnya gemetar hebat.
"Ya, ampun!" Ia pun manjatuhkan diri, duduk detik itu juga.
"Kenapa kamu? Sakit?"
"Mas, aku ...."
Terlalu pelan suara Sofia, Nazam merelakan diri untuk berjongkok.
"Apa?"
"Bocor ...," bisik Sofia mati-matian menahan malu. Terpaksa ia katakan itu karena sekarang sedang darurat butuh sekali bantuan Nazam.
"Apanya bocor?" tanya Nazam blas. Entah pura-pura tak tahu atau sungguh bodoh.
"Ih, ngeselin!"
"Loh, kamu kok begitu. Saya nanya, loh.
"Maaas, ih!"
"Iya, apa? Saya tidak tuli! Jangan teriak-teriak. Nanti disangka sedang marahan."
"Mas pura-pura bodoh, ya mau bikin saya malu. Udah tahu masih datang bulan, jadi—"
"Ooh, itu yang bocor? Kenapa tidak bilang dari tadi!" Nazam memotong ucapan istrinya kalap. Ia kelimpangan mencari sesuatu untuk menutupi tubuh Sofia.
"Nggak usah heboh, nanti orang-orang pada tahu akhirnya. Tambah malu, dong!"
Laki-laki itu sama sekali tak mendengarkan Sofia. Ia terlalu sibuk sendiri. Dilihatnya spanduk iklan rokok diikatkan di antara satu pohon kelapa ke pohon kelapa lain, auto diambil itu spanduk tanpa izin.
"Ini, pakai ini buat tutupin."
"Ih, amit-amit. Enggak mau, ah."
"Udah, jangan menolak. Daripada nanti dilihat orang. Saya tidak mau kamu jadi tontonan!" kilahnya ngotot menyuruh Sofia membungkus diri dengan spanduk iklan.
"Maaas! Itu nggak membantu, ya!" tolak Sofia sekerasnya. Ia menunjuk eco bag yang sedari tadi menggantung di tangan Nazam.
"Bukannya tadi beli pakaian? Mana siniin!"
Nazam serasa diingatkan.
'Astagaaa ....' Laki-laki itu tepuk jidat akhirnya. Dua bola matanya tertuju pada eco bag yang masih setia menggantung di tangan.
Karenanya, selamat juga Sofia.
***
Sampai di hotel, Sofia kembali menrengut di hadapan Nazam.
"Apa lagi sekarang?"
"Saya tahu kejadian tadi memalukan. Tapi ... saya enggak bisa minta tolong ke orang lain, kan?"
Nazam mengangguk.
"Kamu mau bilang terima kasih aja ribet, ya. Iya, Sofia sama-sama."
Tes ... hening sejenak.
"Ya, saya memang mau bilang makasih, tapi bukan sekarang. Barusan saya cuma mau minta tolong lagi. Anu ... saya butuh pembalut," terang Sofia sekuat hati menahan malu luar biasa. Sekali lagi, alasannya adalah ia tak bisa meminta tolong kepada orang lain.
"Hah?" Nazam terpaku. Baginya hari ini sungguh gila.