Chereads / Dipinang Lelaki Pelit / Chapter 26 - Amarah Yang Sulit Reda

Chapter 26 - Amarah Yang Sulit Reda

Demi Tuhan, Nazam bersumpah dalam hati ia tak tahu apa alasannya mengapa ingin sekali mencekik leher Sofia. Sejak melihat istrinya berbincang begitu asyik di restaurant itu, setiap menatap mata Sofia ada saja timbul kemarahan yang sulit dikendalikan.

"Mas," panggil Sofia merasa tak nyaman. Ia sadar, Nazam bersikap begitu dingin sejak makan malam berlangsung. Bahkan hingga kini ia didiamkan. Padahal sebelumnya Nazam tak seperti ini, justru perhatian sekali.

"Apa Sofia, jangan berisik, saya lagi cek laporan kerjaan," dengkusnya masih menatap layar ponsel.

Akan tetapi dia bohong. Bukannya sedang memeriksa laporan pekerjaan, Nazam sedang sibuk main game online untuk meluapkan kekesalannya. Sengaja ia setting tanpa suara agar Sofia tak mengetahui itu.

Seserius ini kondisi hati Nazam. Tak sadar telah terbakar api cemburu sampai-sampai ia kehilangan akal.

'Gila! Ini gila! Apa yang terjadi padaku sampai rasanya gila begini! Astagaaa!'

Nazam mengetuk layar ponsel membabi buta. Kacaulah game yang sedang dimainkan.

Sofia merengut kesal. Ia pun meraih bantal, meremasnya kuat-kuat. Kemudian menjatuhkan diri ke atas ranjang, memunggungi Nazam tentunya.

Laki-laki itu melihat Sofia, mengakhiri permainan di ponsel. Matanya mengilat tajam. Ponsel disimpan secara kasar di meja. Ia berdiri berkacak pinggang. Tak terima dipunggungi begitu.

'Apa-apaan, sih, dia? Sebentar baik, sebentar jahat, dasar suami tak berperasaan!' gerutu Sofia dalam hati. Ingin sekali ia menangis sekarang, tetapi masih ia coba tahan.

Bagaimanapun, menghadapi kedinginan Nazam sungguh membuatnya tak tahan.

Sofia bangkit dari ranjang, Nazam kembali pada posisinya, duduk. Pura-pura mengalihkan pandangan adalah hal terbaik untuk menyembunyikan wajah kesalnya.

"Kamu mau ke mana?" Nazam bertanya sinis. Ia tak rela jika Sofia pergi ke luar.

"Mau minum," jawab Sofia mati-matian menahan tangis.

Nazam tak curiga. Ia kembali pura-pura sibuk dengan ponsel. Sementara Sofia beranjak masuk ke kamar mandi. Dan untuk waktu yang cukup lama, wanita itu tak keluar lagi.

"Sofia, Sofia?" Laki-laki pecemburu ini mulai gelisah. Ia memanggil nama Sofia, mendekat ke arah pintu kamar mandi.

Daun pintu terbuka, Sofia berwajah basah. Ia menatap dingin kepada Nazam. Tanpa menyahuti laki-laki itu, Sofia kembali naik ke atas ranjang.

"Ada apa denganmu, Sofia?" tanya Nazam penasaran. Kenapa bersikap seperti itu kepadanya? Apakah dia ingin balas dendam karena didiamkan olehnya?

Semua pikiran itu berkecamuk dalam kepala Nazam. Membuatnya semakin marah. Namun, melihat punggung Sofia yang terlihat lemah itu hatinya sedikit melunak. Daripada terus melampiaskan kecemburuan yang tak ia sadari, lebih baik dirinya pergi cari angin.

"Aku mau keluar sebentar. Kamu jangan ke mana-mana."

Pintu tertutup cukup keras. Dentumannya memenuhi gendang telinga Sofia.

"Lihatlah sekarang, dia bahkan mulai mengekangku. Sialan, kenapa aku mau menikah dengan laki-laki seperti dia?" Air matanya menitik tak bisa dihentikan. Pada akhirnya, Sofia menyesali tentang pernikahannya.

"Kupikir dia akan memegang janjinya, akan memperlakukan aku dengan baik. Tak akan membuatku mengemis kasih sayangnya. Tapi lihatlah, semua itu hanya omong kosong! Tak Naran, tak Nazam, sama-sama pembual!" rutuknya tak tahan.

***

Pagi kembali menyapa, tetapi suasana hati Nazam masih saja buruk seperti hari kemarin. Sofia juga lebih memilih untuk membalas sikap dinginnya. Akhirnya, yang terjadi adalah perang dingin tak henti-henti.

Tak ada sapaan, tak ada teguran, hening. Tak biasanya mereka begini.

"Siap-siap turun. Kita sarapan."

Sofia mengeryit bingung. Itu sebuah ajakan atau hanya sebuah perintah? Ia tak bisa membedakan.

"Heem." Sofia berkaca, merias diri.

Nazam berdiri, menepuk permukaan kasur dengan kasar.

"Tak usah pakai riasan, memangnya mau pergi kondangan?" Laki-laki itu menarik lengan Sofia. Dia kesal melihat istrinya secantik itu di pagi hari, meski masih enggan mengakui alasan keberatannya itu.

"Mas! Lepaskan!" Kemarahan Sofia telah mendidih panas, tak tahan terus dibeginikan oleh Nazam.

Matanya merah, mengumpulkan cairan bening di pelupuk mata. Nazam diam, sedikit kaget dengan apa yang dilihatnya.

'Sofia menangis?' batinnya.

"Kenapa dari semalam sikapmu seperti ini, Mas?! Apa salah saya? Kalau saya melakukan kesalahan, ya, ngomong!" bentaknya keras. Suara itu menggema memenuhi seluruh ruangan. Mata keduanya saling beradu.

Sejenak, waktu seakan terhenti. Nazam tak pernah menyangka Sofia akan bereaksi seperti ini. Dia pikir wanita itu hanya akan menjadi seorang istri penurut dan mengalah. Ternyata ia salah sangka.

"Kamu tak tahu apa salahmu? Serius?" Nazam mendorong bahu Sofia sampai punggungnya menyentuh tembok. Matanya menatap lebih marah.

'Kamu tersenyum dan tertawa kepada laki-laki lain tepat di hadapanku! Itu salahmu!' jeritnya dalam hati. Jika bukan karena gengsi yang sangat tinggi, Nazam sudah pasti mengatakannya di depan wajah Sofia.

Tak peduli seberapa banyak air mata yang tumpah, Nazam tetap tak bisa menahan gejolak amarah yang bergemuruh dalam dada. Semakin diingat, semakin membuatnya tersiksa.

"Mas berhenti mendorong. Punggungku sakit!" pekiknya sambil mendorong badan Nazam kembali.

Nazam memejamkan mata, seakan tersadar dari perilaku kasarnya. Ia melepaskan bahu Sofia, mundur beberapa langkah.

"Kamu gila! Tak waras!" umpat Sofia menatap tajam dengan mata merahnya. Segera ia hapus air mata itu secara asal, berniat pergi. Kali ini bagian dia yang mendorong tubuh kekar Nazam. "Minggir!"

Nazam terhuyung. Masih tenggelam dalam dunianya sendiri. Tentang amarah yang terus meledak-ledak, dan kepada Sofia lah dia meluapkan semua.

Pintu kamar tertutup kencang, menandakan betapa besar kemarahan Sofia. Nazam mengacak rambutnya frustrasi.

"Sialan! Ada apa denganku?!" Nazam memejamkan mata, masih mencari tahu alasan mengapa ia seemosi itu.

"Kenapa aku semarah ini hanya karena dia tebar senyum kepada koki itu!"

Lupakan, semua hanya akan bertambah buruk kalau dia meneruskan semua ingatan itu. Tentang Sofia, atau tentang koki restaurant yang gedungnya ada di seberang hotel, dan juga ingatan tentang tawa mereka yang terdengar begitu akrab. Jika tidak, Nazam sungguh akan gila.

***

Nazam pergi menyusul Sofia setelah bisa sedikit meredakan gejolak amrahnya. Serius, kali ini dia ingin meminta maaf. Meski Nazam sendiri tahu tak akan mudah mendapat maaf dari Sofia setelah perlakuan kasar itu terjadi.

Terpaksa, meski Nazam benci menginjakkan kaki di restaurant itu lagi, ia harus ke sana untuk mengejar Sofia. Akan tetapi, jangankan punya kesempatan untuk minta maaf, ketika ia telah bertemu mata dari jarak terjauhnya saja, wanita itu memilih pergi dari tempat duduknya.

"Kamu sungguh marah, Sofia? Serius?" Nazam membuntuti ke mana langkah kaki Sofia. Namun, tiba-tiba terhenti ketika melihat seorang laki-laki menyapa istrinya dengan senyum paling menyebalkan menurut Nazam.

"Bukankah itu si koki? Kenapa dia ada di sana dan lagi-lagi menggoda istriku!" Nazam segera menghampiri.

Sofia melihat Nazam dan bermaksud pergi.

"Sofia, berhenti di situ!" Namun, suara lantangnya menghentikan langkah kaki Sofia. Segera setelah jarak sudah dekat, Nazam menarik tangan wanita itu tanpa melepas pandangan kepada Raska.

Tampak bola api membara di mata Nazam. Kemarahan yang sebelumnya berhasil ia redam kini kembali berkobar.