Kalau dianalogikan, mungkin tatapan Sofia sekarang ini lebih tajam daripada silet. Ia memindai sosok suaminya dengan saksama. Dari ujung rambut sampai ujung kaki tanpa melewatkan apa pun.
Sementara yang ditatap masih terdiam. Ia bahkan beberapa kali menelan ludah dengan jantung yang berdebar cepat.
"Mana pereda nyerinya, Mas?" tagih Sofia dengan nada teramat lembut.
Sekali lagi Nazam menelan ludah. Sofia tak biasanya berbicara selembut itu. Ia yakin kalau istrinya pasti sedang marah besar. Perang dunia pasti akan segera dimulai. Dan pada akhirnya dirinyalah yang harus mati-matian membujuk agar Sofia mau berdamai.
"Mas nggak lupa, kan?" tanya Sofia lagi.
Kali ini nada bicaranya terkesan begitu riang. Sekarang ia bahkan bangkit dari duduknya di tepi ranjang dan berjalan perlahan mendekati Nazam yang berdiri di dekat pintu kamar mandi.