Chereads / Janji dan Komitmen / Chapter 24 - Ingat Kamu

Chapter 24 - Ingat Kamu

Kala itu Lana masuk dan menghampiri teman-temannya untuk pulang. Namun, apa yang dilihat Nanda agak berbeda dari apa yang dilihat Gilang. Lana terlihat berbincang dengan Nina, orang yang harus mereka selidiki. Akan tetapi aneh bila melihat Lana tersenyum seolah menyiratkan maksud lain. Ia hanya tak habis pikir saja mengapa pemandangan itu terlihat menyesakkan. Ia seperti sedang melihat sepasang kekasih yang sedang bertengkar kecil. Sama seperti dirinya dengan Nadia dulunya. Meski akur, pertengkaran sepasang kekasih itu sesekali menghampiri mereka.

"Nan, lagi mikirin apa sih lo?" tanya Gilang menyenggol bahu Nanda cukup kuat sedangkan Lana hanya diam memperhatikan.

"Oh! Nggak. Gue lagi bingung aja. Lana sama Nina itu sebenernya hubungannya kayak gimana si?"

"Yaelah Nan. Dia sama Nina dah kaya kucing sama anjing kali. Liat aja tadi Nina sewot banget sama Lana. Lana juga keliatannya ngomong hal yang jelek tuh makanya Nina bisa begitu mukanya."

Nanda mengernyit. Rasanya bukan seperti itu. Karena tadi wajah Lana tidak seperti sedang mengejek Nina. Mereka seperti membicarakan sesuatu yang lain. Yah, terlepas dari salah atau benar itu bukan urusan Nanda juga. Lebih baik ia mengurusi urusannya sendiri.

"Yah, bukan urusan gue juga sih. Yaudah lupain aja pertanyaan konyol gue tadi. Mending juga gue mikirin cara gimana Nadia biar mau muncul. Gue kangen banget dan gue gak mau goyah."

Lana dan Gilang saling tatap dan mereka mengedikkan bahunya bersamaan. Mereka bingung dengan jalan cinta Nanda yang seperti tak ada titik terang lain.

Di sana, Nanda terduduk dengan sendu. Matanya lurus ke bawah. Hati nuraninya berkata Nadia ada di dekatnya, tapi logika berkata gadis itu jauh dari jangkauannya. Manakah yang harus ia percayai? Nurani atau logika? Sebanyak apa pun sugesti yang ia coba terapkan, nyatanya tidak efektif.

Tiba-tiba saja Nanda teringat saat ia dulu bertengkar dengan Nadia karena perkara sepele. Nanda yang saat itu sedang memegang ponsel dan berbalas pesan, dicurigai oleh Nadia yang berada di sampingnya karena dirinya tidak diizinkan melihat percakapan itu. Tidak biasanya Nanda begitu, maka dari itu ia menjadi curiga. Karena tak kunjung diperbolehkan juga, Nadia yang kesal memilih berjalan meninggalkan Nanda di belakang yang masih saja sibuk dengan ponselnya. Bahkan Nadia sempat menoleh ke belakang dan memperlambat jalannya, namun Nanda tak juga sadar dan menghampiri. Ia kesal sejadinya.

Nanda baru menyadari hilangnya Nadia saat ia mengajak Nadia berbicara namun tak ada jawaban. Saat dicari, Nadia sudah tak terlihat lagi. Susah payah ia menelepon Nadia, gadis itu tampak tak mau mengangkatnya sama sekali. Itu membuat Nanda frustasi. Tak habis pikir, ia pun datang ke rumah Nadia dan langsung masuk setelah dipersilahkan. Ia tahu Nadia ada di mana dan benar saja, Nadia ada di ayunan kayu tepi kolam renangnya. Ia duduk sambil memeluk kakinya yang ditekuk. Ia sepertinya sedang sedih.

Nanda mendekat dan menepuk kepala Nadia dengan teramat lembut. Sembari tersenyum ia pun duduk mengisi bangku kosong di sebelah Nadia. Ia tak tahu kelakuannya bisa membuat Nadia sekesal itu.

"Maaf, sayang. Kamu marah?"

Nadia mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah di mana tak ada Nanda. Ia juga menjawab pertanyaan itu setelah helaan napas terdengar.

"Aku kesal. Kamu gak aware sama aku, kamu gak aware sama diri kamu sendiri, dan kamu juga mencurigakan."

"Mencurigakan gimana?"

"Itu tadi kamu lagi berbalas chat sama siapa sampai jalan gak memperhatikan sekitar? Pas aku tengok, kamu alihkan. Apa yang kamu sembunyiin dari aku? Dari awal aku udah bilang kalo aku paling gak suka hal yang gak transparan gini."

Nanda menghela napasnya berat. Ia sungguh tak bermaksud buruk. Isi percakapannya juga tak menjurus ke arah negatif. Tapi, selagi ia yang memang di sini salah, ia lebih memilih meminta maaf dari pada urusannya semakin panjang dan sulit untuk diperbaiki.

"Iya, aku minta maaf ya, Nadia sayang. Besok-besok aku gak akan begitu lagi. Aku janji."

"Emangnya kamu ngobrolin apa, sih? Kelihatannya asyik banget."

"Jadi, sebenernya aku mau kasih kamu kado, tapi aku butuh referensi dari temen yang lain yang lebih berpengalaman. Tapi kayaknya aku keasikan nyari, jadi lupa kalo lagi sama kamu."

"Ka-kado? Emangnya ini tang-?"

"Iya, ini tanggal 13 dan besok 14 Februari, ulang tahun kamu."

Wajah Nadia memerah. Ia jadi tak enak hati sudah mencurigai Nanda yang tidak-tidak. Bagaimana bisa ia sampai bersikap posesif begitu? Nadia kini menjadi diam saja. Sikapnya tenang sekali dan Nanda tahu betul apa yang sedang dialaminya.

"Udah gak usah dipikirin. Aku yang salah karena bikin kamu curiga. Kalo aku gak sibuk sendiri pasti kamu gak akan malu gini."

Mendengar kalimat itu wajah Nadia semakin merah, sudah seperti kepiting rebus. Kulitnya yang putih pucat jadi membuatnya terlihat sejelas itu. Dengan refleks ia memukul bahu Nanda sembari menutup wajahnya. Nanda yang tengil malah senang melihat kekasihnya salah tingkah. Baginya itu adalah hal yang jarang terjadi dan kala itu ia sangat menikmatinya.

"Udah lupain aja, anggap aku gak pernah bikin malu kamu."

"Ih, Nanda!"

Nanda tertawa geli mendengar Nadia meledak begitu. Dengan wajah cemberutnya, Nadia bangkit dan hendak melangkah pergi mengabaikan Nanda. Akan tetapi Nanda malah menarik lengannya dan hal itu membuat Nadia terkejut dan berakhir dengam jarak mereka yang tersisa 3 inci saja. Begitu dekat hingga keduanya mampu menghirup aroma yang lain dengan jelas.

"Oh, maaf!"

Nanda melepaskan tangannya yang tak sengaja menyanggah tubuh Nadia. Ia pun jadi malu bukan main. Untuk mengatasinya, ia memilih pergi keluar mendahului Nadia, membuatnya harus mengejar lelaki itu dengan langkah lebar.

"Nanda!"

"Ya, sayang?"

"Aku minta maaf karena tadi salah paham. Gak enak kalau aku marah dan gak minta maaf sama sekali. Padahal di sini kamu gak salah sepenuhnya."

"Udah kumaafin. Aku gak nyalahin kamu karena itu hal wajar. Udah lupain aja, tapi aku gak bakal bisa lupa gimana muka kamu tadi."

"Nanda!"

Nanda terkekeh, membuat Gilang dan Lana terheran. Akhirnya mereka menepuk bahu Nanda dan menyadarkannya.

"Lo kenapa, Nan?"

"Please jangan gila di sini."

"Sialan lo, Lang! Gue gak gila."

"Terus kenapa?"

Nanda terdiam sejenak sebelum berkata, "tadi gue keinget kenangan gue sama Nadia. Gak sengaja, gue jadi ngelamun dan keliatan gila gini."

Dari nada suaranya Nanda terdengar sedih. Raut wajahnya juga tampak menyendu. Temannya tak bisa banyak membantu kecuali dengan manarik pikiran Nanda keluar dari Nadia. Hanya dengan itu ia tak bersedih lagi.

"Makanya lo harus tentuin pilihan lo, jadi lo bisa maju dan perjuangin. Bukannya stuck begini."