"Mending lo masuk dulu, Nan. Kayaknya agak basah setelan lo. Lagian ujannya makin gede tuh."
Nayla mencegah Nanda yang akan pulang dengan berkata demikian. Ia tak lagi berbalik arah setelah meninggalkan jalan di mana sosok itu menghilang. Ia juga tak menaruh curiga pada keadaan sekitarnya. Perempuan di kursi roda itu tak hanya sendiri. Secara fisik memang hanya ada dirinya di sana, kehujanan, dan tak ada sosok lain di sekitar. Tapi ia tak melihat kalau ada beberapa mobil menepi. Mungkin saja perempuan itu masuk ke dalam mobil itu, makanya bisa menghilang secepat itu. Dirinya malah mendengarkan Nanda yang mana mengatakan kalau sosok itu mungkin saja hantu.
Nanda melihat kondisi tubuhnya yang memang setengah basah. Ia tak sengaja melewati rumah Nayla saat perjalanan pulang dari rumah temannya. Mungkin berteduh sejenak sambil minum teh hangat bisa membantunya meredakan dingin yang ia rasakan.
"Boleh. Teh manis anget ya satu, Nay."
"Lo pikir gue babu lo?"
"Secara teknis sih enggak, tapi kan gue tamu. Lagian lo sendiri yang ngundang, masa gue gak dikasih minum. Dingin nih!"
Nayla mendecih dan menuju dapur untuk membuatkan pesanan Nanda. Ia tak keberatan dengan hal itu. Ia hanya ingin mengalihkan perasaannya saja saat bertemu pandang dengan Nanda tadi. Memalukan kalau ia hanya diam dan mengangguk. Maka dari itu, ia memilih untuk berkata spontan saja.
"Nih, minum pelan-pelan. Panas soalnya. Sambil nunggu ujan reda juga, jadi gue gak bolak balik bikin minum buat lo."
Nanda terkekeh geli mendengar ucapan serta raut wajah Nayla yang jengkel. Ia sengaja melakukan itu karena pada dasarnya Nanda memang lelaki yang jahil. Ia senang melihat ekspresi wajah Nayla yang bervariasi, layaknya sebuah zat adiktif baginya.
"Makasih ya, sa-yang."
Nayla memutar bola matanya jengah. Untung saja ibunya sedang tak ada di rumah. Bisa diberondong banyak pertanyaan dirinya kalau sampai sang ibu mendengar ocehan tak jelas Nanda. Saat Nayla ingin menyesap teh hangat miliknya, ponselnya berdering. Ia melihat siapa yang menghubunginya di jam segini.
"Halo, Ay. Tumben lo telepon gue. Ada apa?"
Ternyata itu Ayla, sahabatnya yang belakangan ini jarang sekali terlihat berkomunikasi dengan dirinya. Entah ada hal apa, yang jelas ia tak bercerita apa pun.
Di seberang sana, terdengar hembusan napas yang cukup kasar. Ia menoleh ke arah Nanda yang juga menatapnya heran seolah bertanya ada apa. Namun, Nayla tak menanggapinya karena ia pun belum tahu apa yang terjadi.
"Kenapa sih, Ay. Kok lo hela napas mulu."
Ayla menjawab pertanyaan Nayla dengan perlahan. Dari nada suaranya terdengar ia begitu kesal dan tak bersemangat. Alhasil mereka berdua berbincang lewat telepon selama hampir 10 menit dan mengabaikan Nanda di sana. Yah, Nanda tak begitu memepedulikannya karena ia memaklumi mungkin ada hal yang lebih penting yang harus dibicarakan dengan Nayla di jam segini.
Setelah puas bercerita, Nayla menutup ponselnya dan tertawa geli sekali. Padahal sedari di telpon ia bersikap tenang dan sama sekali tak tertawa. Lantas, apa penyebabnya tertawa begitu riang?
"Lo kenapa Nay? Kok tiba-tiba ketawa? Serem ih."
"Itu, si Ayla ada-ada aja. Gue kira belakangan ini dia jarang ngomong tuh ada masalah apa. Ternyata Cuma karena akun game ML nya dibajak dan dia jadi gak bisa log in lagi. Katanya ranknya udah Mythic 5 dan dia hampir punya semua skin apalah itu. Haha...."
"Itu aja? Gue pikir itu lebih penting dari gue."
"Maksud lo, Nan?"
Nanda keceplosan. Ia agaknya cemburu dengan topik pembicaraan yang Ayla komunikasikan dengan Nayla karena itu hal yang sepele bagi Nanda.
"Enggak. Lagian Ayla suka main ML? Gue kira dia anak cewek yang sukanya main boneka atau yah game semacam atur pertanian gitu."
"Enggak. Dia dalemnya kaya laki. Suka sama game cowok dan kadang dia bahas bola. Gue mana paham. Haha."
"Terus kenapa di telpon diem aja? Ga ketawa kaya gini?"
"Ayla itu ambekan. Kalo gue ketawa pas dia cerita, yang ada dia marah beneran ke gue. Jadi, gue cuma nanggepin dia setenang mungkin."
"Kalo gue kaya gitu, lo juga bisa nanggepin gue dengan tenang dong, sa-yang."
Nayla mengernyitkan dahinya. Lama-lama rasanya ia ingin menyumpal mulut Nanda yang menyebalkan itu. Bukan berarti marah, tapi itu membuat Nayla salah tingakah lagi. Dasar Nanda, membuat onar hatinya saja.
"Oh, iya, Nay. Bulan depan kan kita ada lomba nasional antar provinsi. Lo udah siapin mental dan bahan tambahan lagi?"
Nayla mendengung. Benar juga. Lomba nasionalnya semakin dekat dan ia belum ada tambahan bahan apa pun. Kemana lagi kira-kira ia bisa mendapatnya ya?
"Mental sih oke. Cuma gue belum dapet bahan baru apalagi bahan yang kemarin ditanyain tapi kita semua gak ada yang benar jawabnya."
"Oh, materi itu ya. Nanti gue coba cari tutor yang bagus deh buat bantu kita. Tenang aja, lo gak usah bayar, sumbangin teh manis gini aja gue ikhlas yang penting buatan tangan lo."
"Ih, apaan sih, Nan. Garing tau gak jokes lo!"
Nayla kembali salah tingkah. Ia memilih bangkit dari bangku dan berjalan menuju dapurnya lagi. Sesekali ia menepuk dadanya agar rasa sesak itu menghilang dan ia juga selalu mendengungkan kalimat bahwa ia tak ada rasa pada Nanda dan tak boleh sampai menyukainya. Karena bagaimana pun, ia sadar kalau mereka berbeda kasta. Meskipun Nanda menyukainya, pasti tantangan terbesarnya kelak ada di restu orang tua lelaki itu. Tidak boleh. Ia tak boleh menyukai siapa pun dari sekolah itu.
"Permisi...."
"Nay, ada orang tuh di luar!" ujar Nanda dengan sedikit teriak. Bukannya menuju pintu dan bertanya, Nanda malah ke dapur dan memberitahu Nayla.
"Kenapa lo malah ke sini? Bukannya ke pintu bantuin gue tanya siapa. Ih, minggir lah!"
"Hehe, gue kan tamu. Lo tuan rumahnya. Yang ada orang bingung kalo liatnya muka gue."
Nayla berjalan dengan cepat ke arah pintu. Di belakangnya ada Nanda yang mengekori. Katanya Nanda hanya tamu, kenapa sampai membuntuti begini? Merepotkan saja.
Nayla melihat sosok itu membelakanginya, dan saat ia bertanya ingin bertemu siapa, sosok itu berbalik dan membuatnya tertegun.
"Kak Dion? Kok bisa di sini?"
"Iya, gue tadinya mau kasih file buat lo soal isi dan penjelasan olimpiade kemarin. Lo ikut serta kan? Gue dapet ini dari paman gue yang emang panitia dan juri di sana. Tenang aja, ini legal kok karena udah dibagiin ke semua peserta yang kemarin ikut lomba. Sekolah kita agak telat dapetnya, jadi gue mau kasih duluan aja ke lo. Siapa tahu berguna."
Dion menatap Nanda dengan sengit. Ia sama sekali tak menyukai lelaki itu. Enatah tak suka dapat perkara basket atau tak suka dalam hal yang istimewa. Yang jelas, terlihat dari wajahnya kalau mereka berdua saling tak menyukai.