"Kenapa kamu panggil Omma juga kalau tidak tahu siapa."
"Hanya mengikuti Pak Aksel saja heheheh, itu Ommanya Pak Aksel?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Oke, saya kasih tahu karena kamu pacar saya, bohongan maksudnya," bisik Aksel pada Anna. Hal itu membuat Anna menjauhkan tubuhnya seketika.
"Hah? Siapa Pak?"
"Omma itu hanyalah Omma yang saya kenal baik di sini, beliau banyak membantu perusahaan. Itu saja," jelas Aksel menatap Anna.
Anna menganggukkan kepalanya namun, ia terganggu karena Aksel terus menatapnya. "Pak, jangan tatap saya begitu, saya takut."
"Kenapa? Saya enggak apa-apakan kamu Anna."
"Iya takut saja Pak."
Aksel memundurkan tubuhnya hingga bersender di punggung kursi, ia meneguk kembali kopinya seraya menikmati pemandangan.
"Kenapa kamu enggak takut sama saya?"
"Hah?"
"Kamu budek atau bagaimana?"
"Iya kaget saja Pak, bukan takut tetapi lebih ke segan saja Pak."
"Biasanya semua sekretaris saya hanya akan bertahan 1 bulan lebih itu sudah paling lama."
"Kenapa Pak, kok bisa begitu?"
"Mereka takut. Sampai sekarang baru kamu yang cukup lama."
Anna bingung hendak menjawab apa, pasalnya ia takut sembarang menjawab bisa membuat suasana kacau.
"Permisi, ini makanannya silakan dinikmati Tuan," ucap pelayan seraya memberikan kue cokelat yang menggoda.
"Kamu yang pesan ini?"
Anna menggelengkan kepalanya dengan dahi mengernyit, "Saya hanya pesan 2 kopi ini saja Pak, sesuai perintah."
"Ini dari Omma,makanlah."
"Ini aman Pak?" tanya Anna sedikit ragu, sedangkan Aksel hanya tersenyum dan mengambil satu suapan kecil untuk dirinya sendiri. "Aman Anna, ini Omma yang buat, saya tahu."
"Kenapa Omma ini buatkan kue Pak, apa Pak Aksel pesan?"
Aksel menggelengkan kepalanya perlahan, "Sepertinya memang kamu selalu ingin tahu, wajar nilaimu tinggi."
Ada sedikit senyuman di bibir Anna, meskipun begitu ia tidak goyah. Tidak mungkin akan ada perasaan lain dalam dirinya pada Aksel.
"Hanya penasaran saja."
"Setiap Omma menyukai seseorang pasti buat kue cokelat dengan tatanan seperti ini."
"Menyukai? Suka Pak Aksel maksudnya?"
"Saya sudah pasti disukainya, Omma suka kamu."
Mata Anna sedikit membelalak, ia masih mencerna dengan apa yang dikatakan oleh Aksel. "Saya? Kenapa?"
"Enggak tahu."
Anna menggaruk kepalanya yang tak gatal tersebut. "Habiskanlah, setelah itu baru kita pulang."
"Pak Aksel maaf ya, ini Pak Aksel enggak kesambet?" sebuah pertanyaan yang membuat Aksel cukup sedikit mengeluarkan tawanya. Sebab Anna selalu ingin tahu dan bertingkah apa adanya di depannya.
"Enggak, perasaan saya lagi baik saja."
"Oh okay," ucap Anna perlahan dan ia mulai mencoba untuk mencicipi sepotong kue cokelat berbentuk segitiga tersebut.
Rasanya manis, namun tidak membuat enek ataupun bosan, rasanya unik apalagi ada beberapa potongan buah bersama kue tersebut.
"Enak?" tanya Aksel tanpa melihat Anna.
Anna menganggukkan kepalanya cepat "Omma jual ini juga?"
"Enggak."
"Loh sayang banget padahal ini enak."
"Omma mana mungkin mau menjualnya, kalau saya yang minta baru akan dibuatkan."
"Aaa seperti itu rupanya."
Setelah menghabiskan kue tersebut, Anna dan Aksel pun bergegas pulang. Buru-buru Anna duduk di bagian kemudi.
"Kamu ngapain di situ lagi?"
"Enggak apa-apa Pak, saya saja."
Aksel menaikkan alisnya dan mau tidak mau ia menyetujuinya.
Kini perjalanan dikendarai oleh Anna, tampaknya Aksel pun tidak marah akan hal itu.
Kring!!
Ponsel Aksel berdering keras.
"Apa?" kata ini yang pertama Aksel keluarkan. Dan kalimat selanjutnta hanya terdengar memarahi.
"Jangan pernah hubungi lagi, kamu sama saya tidak punya hubungan apapun!"
Anna cukup terkejut mendengar Aksel seperti itu, ia jelas tahu siapa penelepon tersebut, benar. Ia perempuan yang siang tadi mereka jumpai, Cathlin.
"Cathlin lagi ya Pak?"
"Iya, wanita ini enggak ada habis alasan."
"Mungkin karena masih cinta Pak, makanya diperjuangkan."
"Persetan cinta apapun, saya enggak punya rasa itu!"
"Maaf, Pak."
"Dulu wanita itu berselingkuh."
Kalimat itu jelas membuat Anna melirik Aksel cepat, ia tak menyangka jika Aksel akan mengatakan hal demikian.
"Ooo pantas hubungan Pak Aksel kandas ya Pak?"
Terlihat Aksel menganggukkan kepalanya.
"Memangnya kalau kamu lihat pacarmu bermain dengan orang lain enggak akan kamu putuskan?"
"Ya elah, jelas saya putusin dong Pak, buat apa dipertahankan, lagian laki-laki masih banyak."
"Okey! Saya ada ide!"
"Hah? Maksud Pak Aksel?"
"Sepertinya kita harus terlihat seperti pasangan, saya mau buat wanita itu semakin emosi dan menyesal."
"Dengan cara apa Pak?"
"Saya masih berpikir."
Anna terdiam, ia fokus mengendarai mobil. Setelah beberapa saat akhirnya ia sampai di dekat rumahnya. "Pak, saya sudah sampai, oh atau Pak aksel mau saya sopirin sampai rumah ya?"
"Enggak usah."
"Kalau begitu saya pamit ya Pak, terima kasih."
Anna keluar dari mobil tersebut. Namun, Aksel menyusulnya.
"Tunggu."
"Iya ada apa Pak?"
"Tentang ide yang saya bilang tadi itu kamu harus ikut."
"Ke mana?"
"Ya kita harus pergi bersama sesering mungkin, ya sekedar membuat wanita itu kesal."
"Memangnya mau apa Pak?"
"Begini, lusa akan ada acara dinas. Setelah itu kita pergi sebentar ambil beberapa gambar supaya kita terlihat pasangan."
"Oh begitu ya Pak, nanti saya pikirkan Pak."
"Kamu harus mau."
"Ta—pi Pak…" kalimatnya terhenti, mata Anna membelalak melihat sosok di belakang Aksel yang tersenyum.
"Wahhh ini calon menantu Ibu kan?"
"Ibu ngapain sih di sini?"
"Memangnya Ibu enggak boleh sapa calon menantunya?"
"Menantu apaan sih, Bu. Enggak usah berharap lebih!"
"Selamat malam, Bu, saya Aksel pacarnya Anna."
"Iya saya tahu, ternyata kamu memang tampan seperti di TV dan media ya, lihat juga ini mobilnya memang kaya sekali."
Anna begitu geram pada Ibunya, benar-benar tidak dapat dikendalikan. Aksel hanya tersenyum saja mendengarkan ucapan Ibunya Anna.
"Bu, bisa ke rumah aja deh, Pak Aksel mau pulang."
"Kenapa enggak kamu ajak mampir saja?"
"Eee Pak Aksel ada keperluan, iya kan Pak?" tanya Anna seraya memberi kode pada Aksel.
"Iya, Bu. Lain kali saya mampir."
Ibunya didorong Anna perlahan hingga akhirnya pergi ke rumah. Anna masih berada di hadapan Aksel. "Pak, maafkan Ibu saya ya."
"Kayaknya Ibu kamu suka sama saya."
"Bukan, mereka hanya suka kekayaan, makanya jangan sampai deh Pak ketemu Ibu saya lagi."
"Its okay."
"Lah, Pak Aksel juga kenapa bilang mau mampir,yang ada Ibu saya semakin ingin Pak Aksel ke rumah!"
"Ya bagus, itu memperlancar drama kita."
"Hah?" Anna tidak habis pikir pula dengan atasannya ini. Selalu berbicara di luar kendali.
"Lain kali saya akan ke rumahmu." Aksel segera berjalan menuju kursi supir untuk mengendarai mobil.
"Pak, jangan dong!"
"Kamu kenapa Anna?"
"Nanti makin runyam urusannya!"
"Kamu bentak saya sekarang?"