"Jangan bilang ini punya Bapak?"
"Iya, kenapa? Puas kamu?"
Mulut Anna menganga dan tangannya menutupi hal itu. Ia terlihat kaget.
"Kamu kayak lihat setan saja," Aksel berlalu menuju kamarnya.
Anna masih terdiam di tempat dan masoh tak menyangka. "Kamu masih mau berdiri di sana?"
"O—oh iya, Pak. Saya ke masuk sekarang," ucap Anna dengan sedikit tersenyum.
Anna melihat sekeliling isi kamar tersebut, memperhatikan semuanya. Ia takut ada sesuatu yang disembunyikan, takutnya hal yang tak diinginkan terjadi pula. Namun, ia rasa aman dan akhirnya beristirahat dengan tenang.
Pukul 06.00
"Nanti kalau perempuan yang bersama saya tadi malam ke sini mau pergi antarkan saja."
"Oooh itu kan pacar Pak aksel ya," goda receptionist di depan.
"Tanya saja apa yang dia butuhkan, ada apa-apa kabari saya."
Petugas hotel tersebut pun menunduk dan memberi salam saat Aksel meninggalkan hotel tersebut.
Tak lama kemudian, Anna terlihat sudah rapi dengan pakaian yang semalam dan mulai bertanya pada petugas hotel tersebut. "Selamat pagi, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" sapanya ramah.
"Pak Aksel sudah pergi?"
"Sudah, Bu. Apa yang Bu Anna butuhkan?"
"Oh ya sudah, saya permisi ya. Ini kuncinya."
Anna menyerahkan kunci pada petugas tersebut dan berjalan ke depan.
"Bu, tunggu."
"Ada apa?"
"Ibu mau ke mana? Biar diantar sama sopir."
"Hah? Sopir? Enggak usah lagian saya enggak pesan juga kok Mbak."
"Tapi ini perintah Pak Aksel, Bu."
"Saya naik bus di depan, rumah saya tak jauh dari sini kok. Enggak apa-apa."
Susah payah petugas hotel tersebut membuat Anna agar hendak diantarkan pulang. Namun, Anna tetap menolaknya dan ia pulang dengan Bus.
"Kamu semalam di mana?"
"Tempat Danita, memangnya semalam kenapa sih, Bu?"
"Ada beberapa orang ke mari, nagih hutang."
"Lalu?"
"Bukan hanya itu tapi Ayahmu bermasalah dengan mereka, ia terlanjur berjudi."
"Astaga, kok bisa sih!"
"Makanya kamu tidak Ibu suruh pulang saja, takutnya nanti kamu bakalan susah."
Anna menghela napasnya, ia memijit keningnya. "Sudahlah, Anna capek. Mau istirahat dan bersiap-siap."
"Kamu tidak ada niatan membawa pacarmu itu ke rumah?"
"Buat apa?"
"Ya dikenalkan."
Anna tersenyum menyeringai "Untuk Ibu kenalkan pada semua orang, lalu memelas agar membayar hutang Ibu dan Ayah, begitu?"
Ibunya terdiam dan sepertinya menahan emosinya.
"Bu, Anna capek. Nanti lagi berantemnya."
Bruk!
Anna melemparkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan kasar. Benar-benar malas untuk mrlakukan aktivitas apapun.
"Ibu pergi, mungkin pulang malam. Ayahmu juga!" Ibunya berteriak sebelum pergi bekerja.
Sedangkan Anna menghiraukannya saja. Bahkan juga tak ingin untuk menjaeabnya juga.
Anna memutuskan tidak bekerja hari itu, lagi pula tidak ada orang satupun di rumah. Maka ia bisa bebas satu hari dalam rumahnya. Ia mencoba menghubungi Aksel untuk meminta izin.
"Maaf, apa saya mengganggu, Pak?"
["Ada apa?"]
"Saya izin tidak bekerja hari ini saja Pak, boleh kan?"
["Hanya hari ini!"]
"Iya, Pak. Terima kasih Pak. Oh iya terima kasih juga untuk semalam."
Baru saja Anna mengucapkan terima kasih, Aksel segera menutup panggilan telepon dari Anna tersebut.
"Manusia ini benar-benar menguji kesabaran sih!" Setelah Anna menggerutu, ia bangkit dari tidurnya, mulai membersihkan diri dan membuat sarapan untuknya sendiri.
Sudah sangat lama sekali Anna tak menikmati paginya sepergi ini. Meskipun pagi harinya kali ini diawali dengan keributan bersama Ibunya.
"Kapan ya bisa beli rumah sendiri?" Anna bertanya seorang seraya duduk di pinggir jendela kamarnya, tak lupa pula ia menyeruput kopi yang telah ia buat.
Pikiran Anna tak pernah tenang, sekalipun ia memaksa untuk tak memikirkan apapun yang mengkhawatirkannya namun, yang ada pikiran itu terus berlalu lalang.
Satu hari itu berlalu begitu cepat, Anna buru-buru untuk tertidur sebelum orang tuanya datang. Sebelum ada keributan dan pertengkaran lainnya.
***
"Bagaimana laporan keuangan kemarin? Aman?" Aksel yang sudah bertanya di hadapan Danita.
"Aman, Pak."
"Oke."
"Anna masih sakit ya Pak?" tanya Danita saat masuk ruangan Aksel.
"Hari ini masuk," jawab Aksel cuek.
"Oh baik, makasih Pak."
"Tunggu," Aksel menaikkan raut wajahnya dan melihat Danita.
"Maaf, ada apa, Pak?" Danita menjadi penasaran karena tak biasanya Aksel melunak seperti itu.
"Berapa lama kalian berteman?"
"Cukup lama Pak, sedari SMA."
Aksel mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawab dari Danita.
"Ada apa ya Pak?"
"Tanya saja, lanjut saja bekerja."
Akhirnya hanya menunduk dan Aksel masuk ke ruangannya. Sebelum Aksel sampai ke ruangannya Anna sudah tiba di sana.
"Selamat pagi, Pak," sapa Anna sopan.
Aksel hanya sedikit menganggukkan kepalanya dan berlalu ke ruangannya.
"Kamu sakit apa?"
"Enggak sakit kok, siapa yang bilang aku sakit?"
Danita memanyunkan bibirnya mengarahkan pada ruangan Aksel.
"Pak Aksel bilang aku izin itu sakit?"
Danita pun mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sebenarnya enggak sakit, cuma pengen istirahat di rumah satu hari saja. Tapi kayaknya lebih baik bekerja sampai lembur di sini."
"Okay, paham-paham. Ya sudah kerja deh sekarang, numpuk tuh."
Anna dan Danita saling berpandangan dan tersenyum melihat banyaknya berkas di atas meja kerja mereka.
[Jangan senang dulu selalu dibela oleh Aksel! Ingat! Aksel itu masih punyaku.]
Sebuah pesan yang membuat Anna kaget dan membuat bola matanya membulat sempurna. Ia terus memainkan ponselnya membaca ulang namun tak membalasnya. Ia malas berurusan dengan orang asing baginya.
Orang yang mengirim pesan pada Anna ialah Cathlin, ia tak akan kehabisan akal untuk membuatnya menang dalam hal apapun. Karena merasa geram tak dibalas oleh Anna.
[Apakah hanya segini nyalimu? Sampai tak membalas pesan?]
Cathlin mengirimi pesan pada Anna kembali. Tetap saja Anna tak membalas lesan dari Cathlin. Ia menyimpan ponsel dalam lacinya. Ia kembali bekerja.
"Anna, saya ada kerjaan di luar, kalau saya butuh data angkat panggilan saya, mengerti?" ucap Aksel dengan tegas seraya merapikan pakaiannya.
"Baik, Pak," jawab Anna sopan.
Aksel pergi begitu saja dengan Edric di sampingnya.
"Tumben enggak ajak kamu?"
"Lagi kesambet mungkin, Dan. Biarkan saja, beruntung enggak perlu aku ikut."
2 jam berlalu, terdengar sayup-sayup dering dari ponsel Anna. Namun karena ia meletakkan ponselnya dalam laci jadi tak begitu terdengar.
"Hallo, Pak. Selamat siang? iya, Pak saya sampaikan." 2 kalimat dalam panggilan tersebut membuat Danita menatap Anna heran.
"Anna!"
"Hah?"
"Ponselmu di mana? Pak Aksel murka ini."
"Astaga, dalam laci Dann!"
"Buruan angkat gih."
Dengan segera Anna membuka laci tersebut dan melihat sudah begitu banyak panggilan dari Aksel dan Edric.
"Selamat siang, Pak. Maaf."
["Kalau punya otak harus digunakan baik! Apa yang saya bilang tadi tidak kamu pahami!"]