"Bukannya ini mantan Pak Aksel?" bisik Anna selagi perempuan itu mendekat.
"Iya, wanita perusuh."
Perempuan itu Cathlin, mantan dari Aksel yang juga sebagai model. Penampilannya tak pernah padam, selalu merona setiap saat. Bahkan tak segan ia kerap memakai pakaian yang begitu minim.
"Jadi ini saingan saya?" Cathlin duduk di meja Anna hingga membuat Anna pun kaget.
"Maksudnya apa ya?"
"Jangan berlagak bodoh deh, kamu tahu Aksel itu punya saya!"
"Maaf sepertinya saya tidak memiliki urusan itu sama anda."
Cathlin berdecak pinggang, ia terpancing dari omongan Anna yang mungkin menyinggungnya.
"Heh! Perempuan kampungan!" Cathlin menjambak rambut Anna yang sudah begitu rapi.
Anna pun tak tahan, ia berdiri menarik tangan Cathlin sehingga rambutnya tak lagi dijambak.
"Saya tahu anda siapa, tapi tolong jangan libatkan saya."
"Berani ya kamu, ingat! Kamu itu cuma sekretaris di perusahaan ini dan jangan sombong!"
"Anda memang tahu jika saya hanya sekretaris di perusahaan ini lantas kenapa harus takut?"
Tidak ada rasa takutnya menghadapi Cathlin yang sudah papan atas dibanding dirinya.
Aksel keluar dari ruangannya, tangannya berada dalam saku celananya. "Cathlin!"
"Hai sayang!" Cathlin mendekati Aksel dan melirik Anna begitu sinis.
"Kalau buat masalah jangan di sini!"
"Kamu kenapa sih! Pacarmu ini kangen sama kamu!"
"Kamu bukan siapa-siapa saya."
"Oh gara-gara perempuan ini? Iya kan? Perempuan kampungan begini lawannya?"
Aksel memberi isyarat pada securitynya agar membawa Cathlin keluar dari kantornya.
"Dengar baik-baik sebelum kamu diusir! Kamu bukan siapa-siapa saya lagi, dan bukan urusanmu memilih siapa pasangan saya!"
"Bukannya kita masih punya hubungan, kamu lupa hah?"
"Setelah videomu tersebar dikonsumsi orang ramai saya sudah katakan tidak memiliki hubungan apapun denganmu!"
Cathlin menyeringai, ia benar-benar emosi saat itu. Ia mengambil cutter yang ada pada meja Anna.
"Saya enggak akan pergi, saya akan buat luka dulu agar kamu lihat kalau saya ini masih sayang."
"Berbuatlah semaumu, kalau mau mati jangan di sini!"
"Aww!" Cathlin menyayat sedikit lengan Anna. Namun, Cathlin tertawa puas.
"Sepertinya ini cukup," Cathlin berjalan melenggok dengan angkuh dan menampilkan tubuh seksinya keluar kantor.
"Ya!! Perempuan kurang ajar memang!" Anna memaki Cathlin setelah mendapatkan luka tersebut ia segera bangkit dan memegangi lengannya.
"Sialan!" dengus Aksel melihat Anna seperti itu.
Danita meraih lengan Anna dan hendak mengobatinya namun Anna enggan, ia mengambil tasnya cepat.
"Cepat obati lukamu."
"Saya pergi sendiri saja!" Segera Anna berjalan cepat dengan memegangi lengannya dan air matanya mulai menetes.
Setelah sampai pada tempat kesehatan ia segera meminta lukanya dibereskan pada tugas kesehatan yang bertugas.
"Loh Bu Anna, kenapa ini?" tanya Dokter yang yang ada di sana dan terkejut melihat luka pada lengan anna.
"Cepat obati saja."
Tanpa bertanya apapun Dokter tersebut membuka baju pada lengan Anna dan mulai membersihkannya, ia membalut dengan kasa. Beruntungnya luka itu tak terlalu dalam namun, hal tersebut membuat pikiran Anna kacau.
"Terima kasih, Dok. Izinkan saya di sini dulu ya," Anna meminta waktu untuk beristirahat dahulu.
Glek!
Pintu terbuka kembali, setelah dilihat ternyata itu Aksel.
Anna memalingkan wajahnya pada Aksel. Ia enggan melihat wajah pria itu. Sebab menurutnya ini semua karena Aksel.
"Bagaimana lukanya?"
"Lukanya sudah saya obati, Pak. Tapi Bu Anna harus beristirahat dahulu, melihat banyaknya bekas luka di badannya dan juga kesehatan mentalnya takut terganggu."
"Oke, kalau ada apa-apa kabari saya."
Anna tetap tidak melihat wajah Aksel. Ia benar-benar masih kesal sampai akhirnya Aksel pergi meninggalkan ruangan tersebut.
"Maaf, Bu. Sebenarnya ada apa?"
"Dokter tahu kan mantan Pak Aksel yang model itu?"
Dokter itu mengangguk perlahan "Tadi datang ke kantor dan membuat kekacauan, dan luka yang barusan Dokter obati itu ulahnya juga."
"Astaga, ini luka sayat loh, Bu."
"Ya memang, ah sudahlah. Buat pusing saja wanita itu."
"Ya sudah kalau begitu istirahat saja, Bu. Saya mau di depan supaya Bu Anna istirahatnya nyaman."
"Panggil Anna saja Dok, saya lebih muda dari Bu Dokter."
"Wah, baru kali ini sekretarisnya Pak Aksel seperti ini."
"Maksudnya?"
"Iya enggak mau dipanggil begini, makanya beberapa pegawai di sini kaget tahu Bu Anna."
"Panggil Anna, Dokter."
"Iya Mbak, sudah itu saja saya nyamannya. Silakan istirahat ya."
Anna menganggukkan kepalanya. Ia mencoba memejamkan matanya. Namun, ia malah teringat peristiwa tadi malam hingga yang baru saja terjadi.
Benar-benar 2 hari ini menguras hati, pikiran dan fisiknya. Bukan hanya 2 hari sebenarnya, tetapi lebih dari itu. Rasanya ia ingin sekali hidup tenang seperti orang-orang. Apalagi yang seusianya bisa menikmati masa mudanya.
Tak heran jika Anna memiliki kepribadian yang kuat dan keras pula. Karena ia terlalu sering berdampingan dengan luka. Baik luka nyata ataupun yang tak terlihat.
Sudah 2 jam lamanya Anna di dalam ruangan tersebut. Ia mampu memejamkan matanya untuk istirahat sebentar. Meski begitu setelah ia bangun, tubuhnya terasa berat. Beberapa memar sisa siksaan dari Gibran membuatnya tak sehat.
Kepalanya terasa berat, sebab 2 hari ini kepalanya nyaris terlepas darinya. Gibran dan Cathlin begitu terobsesi dengan rambutnya hingga menjambaknya begitu kuat.
"Sudah bangun, Mbak? Bagaimana keadaannya?"
"Kepala saya rasanya berat, Dok. Kalau dijambak apa bisa sakit ya?"
"Ya jelas, otot-otot itu langsung ke saraf. Apalagi kalau terlalu keras. Apa sampai dijambak juga?"
Anna mengangguk-anggukkan kepalanya seraya memegangi kepalanya.
"Anna!" teriak Danita yang akhirnya masuk ke ruangan tersebut.
"Apaan?"
"Kamu enggak apa-apa? Dokter bagaimana keadaan Anna?"
"Cukup baik juga buruk."
"Ada apa di sana?"
"Wah kacau!" Danita bersemangat sekali menceritakan keadaan yang terjadi di kantor.
"Apa?"
"Setelah kamu pergi dengan lukamu itu, darahmu kan menetes itu buat Pak Aksel menggila. Dia marah sama security karena meloloskan Cathlin. Padahal sudah dibilang jangan pernah memasukan orang tanpa izinnya. Terus nih ya, si Cathlin mampus deh pokoknya, kamu enggak lihat berita apa?"
"Aku malas lihat ponsel, pusing."
Danita menunjukkan layar ponselnya pada Anna. "Jadi trending topik buat kekacauan di perusahaan mantan pacarnya."
"Aduh! Itu aku terbawa-bawa enggak? Aku enggak mau terlibat!"
"Selama beberapa berita yang aku baca sih enggak ada kok, cuma mengacaukan kantor, debat sama Pak Aksel itu saja. Kayaknya Pak Aksel mencegah supaya kamu enggak ada dalam berita itu."
Akhirnya Anna menghela napasnya dengan sedikit lega.
"Sabar ya, kamu pasti bisa!"
"Aku capek, Dan. Asli capek banget."
"I know your feel, tapi ini buat kamu lebih hebat."
"Kalau bisa nih sama Tuhan, pengin minta mati aja sudah."
"Dih! Kagak boleh begitu hey! Ngaco deh. Dokter, kasih obat pusing dong, makin ngaco nih nanti."