Chereads / Aksel Birendra / Chapter 21 - Perempuan Berbaju Merah

Chapter 21 - Perempuan Berbaju Merah

"Maaf saya enggak bisa cerita ya, Non. Kita obati lukanya dulu, ini kenapa bisa begini?"

"Oh ini tadi ada sesuatu di jalan, Bi."

"Lain kali hati-hati, atau ini sama Tuan Aksel?"

"Kalau sama Pak Aksel mana mungkin saya dibawa ke sini, Pak Aksel yang menolong saya."

Bi Asih mengobati lukanya pada leher dan kening Anna. "Ini kok bisa lukanya bisa begini, non?"

"Ada masalah sedikit tadi, Bi," Anna tersenyum canggung pada Bi Asih. 

"Nah sudah beres, istirahat saja Non."

"Duh gimana ya, saya lebih baik pulang saja Bi, halte jauh ya Bi dari sini?"

"Mau naik Bus malam begini?" Bi Asih terheran. "Iya, Bi. Mau naik apalagi."

"Di sini dulu, istirahat sebentar. Saya bilang sama Tuan dulu ya."

Anna hanya mengikuti perintah Bi Asih saja, ia kembali duduk di atas tempat tidur yang mewah dan kamar yang luas. Ia melihat seluruh yang ada pada kamar tersebut. Seraya menerka-nerka tentang keadaannya.

"Tuan, permisi."

"Kenapa?"

"Itu Nona yang kemari tadi hendak pulang naik Bus, tapi saya larang. Jadi bagaimana ya, Tuan?"

Aksel beranjak dari duduknya ia berjalan menuju pintu di mana ada Bi Asih berdiri. Ia melirik arloji di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.

"Suruh orang di bawah saja antar dia pulang."

"Kalau tidak mau bagaimana?"

"Paksa saja."

"Baik, Tuan."

Tok tok!

Bi Asih mengetuk pintu yang ada Anna di dalamnya. 

"Bagaimana, Bi?"

"Boleh pulang Non, tapi diantar sama pegawai di sini ya."

"Duh itu terlalu merepotkan, Bi. Saya pulang sendiri saja."

"Ini perintah Tuan, saya enggak berani nolak juga Non. Oh iya Non ini bekerja di kantornya kan? Sebentar kayaknya saya tahu." Bi Asih tampaknya memikirkan siapa Anna.

"Iya, Bibi pasti tahu. Saya yang diberita sama Pak Aksel, sekretarisnya."

Bi Asih tampak bingung "Kenapa Tuan berlaku seperti itu. Aduh maaf saya lancang."

"Ada masalah saja, Bi. Jadi saya boleh pulang kan?"

"Ya sudah saya antar ke depan ya "

Mereka berjalan bersama, sembari Anna melihat-lihat apa yang terlihat di sana. 

"Silakan masuk, Non," ucap sang sopir yang telah menunggu Anna.

"Saya pamit ya Bi, terima kasih bantuannya," Anna menundukkan kepalanya dan segera masuk ke mobil.

Mereka memulai perjalanan malam itu. Bahkan kali ini pula Anna tak tahu berhadapan drngan siapa. Pria asing lagi. Tampaknya Anna menjadi tegang karena suasana yang ada. Tidak ada satu kata yang terlontar. Hanya suara gemercik air hujan di luar saja. 

"Non," panggil Sopir tersebut membuat Anna terkejut.

"Hah? Iya?"

"Jangan takut, tidak mungkin saya berani macam-macam dengan kekasih atasan saya."

Anna hanya sedikit tersenyum saja.

"Ini arahnya ke mana, Non?"

"Masih lurus saja sekitar 100 meter lagi nanti ada rumah cat putih, tapi berhenti 5 rumah sebelumnya."

Akhirnya mereka sampai di sana, sopir tersebut berhenti tepat seperti yang Anna katakan. 

"Ini benar rumah Non?"

"Iya, Pak. Yang cat putih, tapi sampai sini saja. Terima kasih ya, saya pamit," Anna keluar dari mobil tersebut dan segera berlari kecil karena masih gerimis. 

Kring!

"Iya, Pak?"

["Sudah sampai?"]

"Sudah, Tuan. Ini Nonanya sedang berjalan ke rumahnya."

["Kamu antar sampai mana?"]

"Nona Anna meminta saya berhenti 5 rumah sebelum rumahnya Tuan."

["Lihat sampai ia masuk ke rumah, setelah itu kembali."]

"Baik, Tuan.

Panggilan dari Aksel pun berakhir. Sopir tersebut memperhatikan Anna benar-benar sampai memasuki rumahnya, ia mengikuti apa yang Aksel bicarakan. 

"Anna?"

"Oh, Ibu. Kenapa Bu?"

Ibunya memperhatikan Anna dan melihat-lihat wajah Anna.

"Kamu kenapa?"

"Enggak apa-apa kok, Bu. Anna mau istirahat dulu."

Seakan enggan berlama-lama dengan Ibunya, ia memilih pergi ke kamarnya dengan alasan ingin beristirahat.

"Tunggu."

Langkah Anna terhenti. "Baju siapa yang kamu pakai?"

"Oh ini punya Danita, Bu. Baju Anna basah setelah dari meeting karena sempat jalan tadi."

Ibunya hanya menatap Anna heran saja seolah tak percaya apa yang Anna katakan. Segera Anna meninggalkan Ibunya di ruang tamu.

***

"Kening kamu kenapa, Anna? Sakit? Siapa yang buat begini?"

Danita bertanya seolah menodong Anna dengan pertanyaan tersebut.

"Aku putus sama Gibran."

"Jangan bilang ini ulah Gibran juga?"

Anna menganggukkan kepalanya. "Hah! Oh my God! Kok bisa?"

"Kami berantem hebat soal hubungan sama Aksel lalu pekerjaan dan akhirnya dia menyiksaku."

"Wah sudah gila ya dia, tapi bukannya selama ini dia pria baik ya?"

"Perkiraan kita salah, Dan. Dia enggak sebaik yang kita kira."

"Bener-bener enggak nyangka, bisa-bisanya dia begitu. Tapi kamu enggak diapa-apain lagi kan?"

"Hampir."

Danita menatap Anna yang sedang fokus pada kerjaannya. "Hampir apa?"

"Hampir mati."

"Yang bener dong, Anna."

"Iya, dia mau coba aku dan ngira aku ini wanita murahan, seperti jalanglah, dan sebagainya. Itu hal yang paling sakit."

"Ya ampun Gibran gila ya! Tapi kamu bisa selamat?"

Anna menghentikan pekerjaannya, ia menoleh arah ruangan Aksel yang belum ada penghuninya. "Ajaibnya, Pak Aksel selamatkan aku lagi!" Anna berseru sama halnya Danita yang memberi respon sama halnya sangat terkejut.

"Terus terus?"

"Ya sudah akhirnya Pak Aksel yang sempat berkelahi. Dan setelah itu saya pulang sama Pak Aksel. Kamu tahu sendirilah setelah menolong bukannya menenangkan atau apapun dia malah marah-marah."

"Kenapa Pak Aksel selalu jadi pahlawan ya, atau memang kalian jodoh?"

"Hust! Ngarang kamu! Itu kebetulan saja, lagi pula kemarin kami bertemu tepat di lokasi meeting kok."

Aksel tiba-tiba muncul dari hadapan mereka. Ia berjalan dengan sangat rapi dan angkuhnya semakin terpancar dari cara berjalannya. 

Anna dan Danita berhenti membicarakan hal itu. Mereka kembali pada pekerjaannya karena ditakutkan Aksel mendengarkan. 

***

"Mana Aksel?"

"Maaf, Nona tak bisa masuk tanpa izin Pak Aksel."

"Kamu tahu siapa saya hah?"

"Kami tahu, tapi tidak ada perintah apa pun dari Pak Aksel."

"Kalian sudah tahu saya siapa kan? Saya ini artis, orang terkenal dan punya hubungan sama Aksel kenapa kalian melarang saya?"

"Maaf, Nona tetap tak bisa."

Perempuan berbaju merah dengan pakaiannya yang begitu minim, memakai heels yang tinggi. Bibirnya merah menggoda. Ia memang terlihat seperti perempuan penggoda akan tetapi ia adalah artis dan model. 

"Minggir!"

Ia memaksa untuk pergi menemui Aksel dan berjalan menyingkirkan security yang berjaga. Hingga terciptalah suatu keributan pada lantai di mana Aksel berada.

"Berisik banget, ada apa ya Dan?"

"Paling si tukang rusuh datang deh."

"Hah? Tukang rusuh siapa?"

"Nanti kamu tahu sendiri, kuta lihat dulu wajahnya."

Tak lama kemudian perempuan yang membuat berisik tiba di depan meja kerja Anna dan Danita. Pandangannya yang tajam fokus pada Anna. 

"Oh ini sekretarisnya," nada merendahkan dari perempuan berbaju merah minim tersebut.