Chereads / Aksel Birendra / Chapter 15 - Menginjakkan Kaki di Kantin

Chapter 15 - Menginjakkan Kaki di Kantin

Anna masih duduk santai sedangkan Danita dan Zico sudah terlebih dahulu berdiri karena segan pada Aksel.

"Anna kami pergi ya," ucap Danita hanya dengan isyaratnya saja namun Anna mengerti apa yang dikatakan sahabatnya tersebut.

Ini semua terjadi karena adanya Aksel, sudah pasti semuanya akan melarikan diri jika Aksel berada di sana.

"Apa ada kerjaan mendadak Pak?" tanya Anna dengan tenang dan menatap Aksel.

"Kamu tahu kenapa semuanya tertuju dengan meja ini?"

"Karena Pak Aksel di sini, oh atau Pak Aksel ingin di sini biar saya pergi saja ya, Pak."

Aksel menatap Anna dengan tatapan kesal "Kamu jangan buat saya bentak kamu di depan orang banyak," ucap aksel menyeringai pada Anna. "Saya ke sini ingin menemanimu makan siang," lanjut Aksel.

"Hah? Enggak salah Pak?"

"Kamu lihat baik-baik beberapa meja di sekelilingmu," bisik Aksel.

Anna hanya memainkan matanya saja seolah mencari jawaban namun belum menemukan apa itu. "Ada wartawan, bersikap manislah sementara waktu."

'Wah sumpah kayak di drama aja deh!' gerutu Anna dalam hatinya yang kesal.

Danita dan Zico sudah terlebih dahulu meninggalkan Anna dan Aksel berdua. Tidak lama kemudian pelayan mengantarkan secangkir kopi pada meja mereka dan mempersilakannya pada Aksel.

"Lanjutkan saja makan siangmu, jangan hiraukan saya."

Tak ada jawaban apa pun dari Anna, ia kembali memegang sendok dan garpunya. Melahap makan siangnya tanpa ada rasa ragu sedikit pun. Karyawan lainnya hanya bisa menggelengkan kepala saja karena sikap Anna yang berani sekali di depan Aksel.

Aksel menyeruput kopinya dan memandangi Anna yang begitu lahap makan di hadapannya. Belum pernah ada yang seperti itu padanya kecuali Edric, karena ia sahabatnya.

"Kamu sadar kan ada saya?"

Anna menganggukkan kepalanya "Memangnya kenapa Pak?"

"Rupanya kamu memang punya nyali yang bagus."

Tidak ada jawaban apa pun, Anna menghiraukannya.

"Setelah selesai makan siang, ke ruangan saya."

"Kenapa enggak disampaikan sekarang saja Pak."

"Kamu masih makan."

Buru-buru Anna menyelesaikan makannya dan segera menatap Aksel dengan senyuman paksanya.

"Saya sudah selesai," ucapnya tersenyum.

Jemari Aksel mengepal seperti ingin meninju Anna namun sayang di sana ada wartawan yang diam-diam datang dan merekam. 

"Oh sebentar," Aksel mengambil tisu dan mengelap sisa makanan sedikit di dekat bibir Anna. Hal itu membuat Anna membelalakan matanya, takut dan juga kebingungan dengan apa yang dilakukan Aksel.

'Astaga drama sekali sih!' Anna berdecih dalam hatinya.

"Hmm terima kasih, Pak," jawab Anna tersenyum namun dengan terpaksa pula.

"Pergilah dahulu, saya susul di belakangmu."

Anna mengikuti apa yang dikatakan oleh Aksel. Ia berjalan santai menuju ruangannya, meninggalkan kantin. Aksel mengikuti Anna dari belakang dan berjalan seperti biasanya dengan angkuh. 

"Langsung ke ruangan saya," ucap Aksel dingin dari belakang Anna. 

Apa boleh buat, Anna kembali mengikuti perkataan atasannya tersebut. 

"Pak Aksel," Anna hendak protes namun Aksel masih berjalan di belakangnya.

"Tahan protesmu, duduk dulu."

Anna duduk dengan kesal dan tidak tahan lagi dengan drama yang ada.

"Apa? Hah!" 

"Kenapa Bapak tiba-tiba di kantin sih?"

"Kamu sudah tahu kan saya bilang tadi kalau ada wartawan."

"Memangnya benar mereka wartawan? Atau akal-akalan Pak Aksel saja?"

Tring! Bunyi peringatan pada ponsel Anna. Berita dari media.

"Apa yang kamu lihat?"

Anna menunjukkan apa yang ia dapatkan.

Sebuah foto mereka berdua tengah makan siang bersama. Pose saat Aksel mengelap pada bibir Anna merupakan headline saat ini.

"Masih anggap hanya akal-akalan saya?"

"Kok Pak Aksel bisa tahu kalau ada wartawan?"

Aksel tersenyum jahat "Anna, saya itu pintar!"

"Iya tapi bisa secepat itu?"

"Makanya kamu kalau mau ke mana pun periksa sekeliling dulu, jangan sembarangan!"

"Ribet banget sih Pak, saya hanya ingin hidup aman saja, kenapa jadi terbawa masalah Bapak."

"Kamu nikmati saja, toh income kamu lebih banyak kan?"

Anna menatap Aksel dengan sengit, seolah direndahkan oleh laki-laki yang bahkan sudah melecehkannya meskipun dalam konteks tidak disengaja.

"Cuma itu yang mau Pak Aksel bilang?"

"Berkas yang tempo hari bagaimana?"

"Yang mana, Pak?"

"Yang saya kasih sama kamu, nanya lagi yang mana."

"Astaga, sudah hampir selesai semuanya, tapi ada beberapa yang belum."

"Silakan keluar."

"Apa mau dipakai cepat, Pak?"

"Selesaikan semuanya dalam minggu ini."

"Baik, Pak."

Anna keluar dari ruangan tersebut. Ia berjalan gontai menuju ruangannya. "Dimarahin?" tanya Danita penasaran. 

Kepala Anna hanya menggeleng saja tanpa memberikan apapun dari mulutnya. 

"Terus tadi?"

"Biasa drama publik, lihat saja berita."

Danita memegang ponselnya, menarik layar ke atas dan ke bawah. Menemukan juga wajah sahabatnya dengan Pak Aksel di kangin tadi. Ia menghela napasnya dan menatap Anna.

"Kenapa kamu?"

"Sabar ya," seraya menepuk pundak Anna. 

"Ah elah santai, mungkin ini takdir demi hidup."

Siang semakin larut menjadi malam, tampaknya Anna akan lembur malam ini dengan tugas-tugasnya. Bukan karena tugas saja, ia malas untuk pulang ke rumahnya. Lebih baik berlama-lama bekerja saja.

["Beneran nggak apa-apa?"]

"Ngapain nelpon segala sih, Dan. Aman kok."

["Takut saja, okay. Hati-hati."]

Suara dehaman Anna mengakhiri panggilan tersebut. Sebuah panggilan yang amat singkat dengan Danita yang lhawator pada Anna

Beberapa berkas sudah Anna selesaikan, tinggal beberapa saja. 

"Uh!"

Anna meregangkan kedua tangannya ke atas, ke kanan dan ke kiri. Tanpa sadar seharian ini ia terlalu banyak duduk. Lehernya pegal, ia memukul-mukul lehernya dan tetap menatap layar komputernya.

Deg!

"Ya! Astaga!"

Sebuah seruan terkejut dari Anna kala mendapati sosok yang mengejutkan di hadapannya.

"Kamu meneriaki saya?"

"Maaf Pak, saya kaget. Lagian Bapak tiba-tiba muncul."

Aksel menghiraukannya, ia melihat Anna. "Ngapain kamu?"

Anna tak menjawab melainkan menunjuk tumpukan berkas melalui pandangan matanya. 

"Memang siapa yang suruh kamu lembur?"

"Saya sendiri, memang nggak boleh ya, Pak?"

"Terserah!" Aksel pergi meninggalkan Anna. Ia berlalu ke ruangannya.

Anna masih melihat Aksel berjalan di depannya. Melihat ruangan Aksel yang masih terang lampunya. Sepertinya Aksel pun memiliki pekerjaan malam ini. 

Pukul 23.00

"Astaga kok sudah jam segini sih!" gerutu Anna kala melihat waktu sudah larut. Ia bisa ketinggalan busnya malam ini. 

Buru-buru Anna merapikan mejanya. Menaruh dengan benar semua dokumen yang ia selesaikan. 

Tok tok tok!

Anna mengetuk pintu ruangan Aksel.

"Apa?" tanya Aksel datar.

"Saya permisi pulang ya, Pak?"

"Memang siapa yang menahanmu di sini?"

Anna menggaruk lehernya dan tersenyum canggung "Eng—nggak ada sih, saya mau pamit saja."

Aksel hanya mengisyaratkan dengan dagunya saja pada Anna. Setelahnya pun Anna meninggalkan kantor. Berjalan menuju halte di depan. Namun, Bus tak kunjung tiba. Ia memutuskan berjalan sembari menunggu ada yang kendaraan umum. 

1 menit, 2 menit, 3 menit tidak ada yang melewatinya. Jalanan menjadi begitu sepi.

"Hai nona?"