"Aku tidak memiliki perasaan terhadapmu. Perasaan tak bisa dipaksakan, Hen ... aku menyukai Radinka, aku kekasihnya, kamu tahu itu kan!"
Henry menghentakkan tangannya dari cekalan kedua teman Jonathan. Dia menatap Fatimah dan Radinka bergantian. Ia benar-benar menyukai Fatimah sampai berniat melakukan hal bodoh hanya untuk mendapatkannya.
"Yang kamu lakukan ini salah, Henry." Fatimah berbicara lagi karena Henry tak kunjung buka suara. "Aku memaafkanmu asal kamu tidak mengulangi lagi."
Radinka dan Jonathan sontak terkejut dan memandang Fatimah, mendengar perkataan Fatimah yang begitu mudah itu memaafkan seseorang yang akan melakukan hal buruk padanya.
"Fat!" tegur Radinka yang tak terima kekasihnya memaafkan Henry begitu saja.
"Fatimah, kamu memaafkan pria yang akan bertindak buruk padamu?" timpal Jonathan tak percaya.
Henry tentu saja malu mendengarnya. Wanita yang akan ia celakai ternyata memang berhati baik.
"Aku minta maaf, Fatimah ...," kata Henry lemah, hampir tak terdengar.
"Ayo pergi dari sini!" ajak Jonathan Radinka dan Fatimah.
Fatimah berterima kasih pada kedua teman Jonathan yang sudah membantu melerai perkelahian Radinka dan Henry.
Fatimah, Radinka, dan Jonathan menuju apartemen milik Radinka. Fatimah mengobati luka Radinka dengan hati-hati.
"Bagaimana kejadiannya bisa sampai seperti ini ...?" tanya Jonathan seraya menatap bergantian pada Fatimah dan Radinka.
"Henry ... dia menungguku pulang seperti biasa saat aku menanggungkan catatanku." Tangan Fatimah sedikit bergetar mengingat kejadian itu. "Tiba-tiba aku ditarik masuk dan dia berusaha--"
"Cukup, Fat!" potong Radinka yang tak mau mendengar kelanjutan kalimat Fatimah, karena dia melihatnya sendiri bagiamana Henry mencoba memeluk Fatimah dengan paksa.
"Begitulah, Jo. Untung saja Radinka selalu datang di waktu yang tepat." Fatimah melanjutkan kegiatannya merawat luka Radinka.
"Selalu?" Jonathan menautkan alisnya.
"Ini kali kedua aku diganggu Henry," jawab Fatimah.
"Kamu sepertinya harus berhati-hati padanya, Fat!" saran Jonathan yang diangguki cepat oleh Fatimah.
"Jika dia bertindak macam-macam lagi, aku benar-benar akan menghabisinya!" Terlihat kilat amarah di sorot mata Radinka.
***
Sejak hari itu Henry sama sekali tak menganggu Fatimah lagi, bahkan lebih seperti menghindar.
Satu tahun sudah Fatimah menimba ilmu di Universitas Nasional Singapura. Dia pulang ke Indonesia bersama Radinka karena perkuliahan sedang libur.
Mereka berdua sudah berada di pesawat dan Radinka membuka percakapan. "Henry sudah tidak menganggumu kan?"
"Tidak, sepertinya dia takut kamu habisi," kekeh Fatimah. "Apa kamu ingat saat kita duduk bersebelahan?" tanya Fatimah yang dijawab anggukkan oleh Radinka.
"Saat itu aku benar-benar kesal padamu!" Fatimah memukul pelan pundak Radinka. "Kamu seperti manusia es. Melirikku saja tidak."
"Waktu itu karena aku tidak sadar kalau kamu cantik," seloroh Radinka yang disambut tawa Fatimah. "Siapa yang menjemputmu di bandara?"
"Ayah dan ibuku," jawab Fatimah.
"Aku tak sabar bertemu mereka," cetus Radinka.
"Untuk apa?"
"Untuk melamarmu."
"Kita kan belum lulus kuliah!" protes Fatimah.
"Tapi aku sudah berjanji akan melamarmu saat kita kembali ke Indonesia kan?"
Fatimah menahan napas mendengar ucapan Radinka, detak jantungnya langsung berdegup tak beraturan.
Dua jam perjalanan sama sekali tak terasa bagi Fatimah dan Radinka yang sejak tadi asyik berbagi canda tawa.
Benar saja setibanya di bandara sudah ada Bu Maryam dan Pak Fadil menjemput Fatimah.
"Ibu! Ayah!" Fatimah langsung berlari dan memeluk kedua orang tuanya bergantian.
"Ibu sangat merindukanmu!" ucap Bu Maryam seraya memeluk erat putrinya.
Setelah melepas pelukannya, Fatimah memperkenalkan Radinka. "Ibu, Ayah, kenalkan ini Radinka."
Radinka menyalami Bu Maryam dan Pak Fadil. "Saya Radinka, Tante, Om, pacar--"
Fatimah segera menyikut perut Radinka yang membuat kekasihnya itu mengaduh.
"Pacar?" ujat Bu Maryam dan Pak Fadil bersamaan.
Fatimah tersenyum lebar hingga lesung pipinya terlihat dalam.
"Kamu benar pacar Fatimah?" tanya Bu Maryam menatap Radinka.
"Radinka yang meneleponmu waktu itu kan?" imbuh Pak Fadil seraya menatap anak perempuannya.
"Ibu, Ayah, interogasinya nanti saja!" Fatimah buru-buru melayangkan protes.
"Saya kekasih Fatimah. Jika Tante dan Om mengizinkan ... saya ingin segera melamarnya."
Ucapan Radinka membuat Fatimah dan kedua orang tuanya menoleh padanya. Apa mereka tak salah dengar?
"Radinka, bukankah kita sudah membahasnya di pesawat?!" Fatimah kesal karena Radinka terlalu terburu-buru.
"Kita bicarakan di tempat yang nyaman ya," ajak Bu Maryam kemudian menggandeng Fatimah berjalan lebih dulu.
Radinka dan Pak Fadil mengikuti di belakang.
"Fat, dia benar pacar barumu? Kenapa tidak cerita pada Ibu?" bisik Bu Maryam.
"Nanti juga aku cerita kalau sudah waktunya, Bu."
"Apa dia pria baik?"
"Tentu saja, jika dia jahat aku tidak mau."
Bu Maryam tersenyum, dia bahagia melihat putrinya sudah bisa melupakan Adnan dan menerima Radinka. Dan Bu Maryam berharap pria yang kini bernama putrinya itu tak akan menyakiti Fatimah seperti yang Adnan lakukan.
Mereka sampai di restoran dekat Bandara dan melanjutkan perbincangan.
"Jadi ceritakan pada Ayah, Fat!" todong Pak Fadil yang tentu saja bermaksud candaan.
Fatimah dan Radinka saling pandang. Kemudian Fatimah memberi kode pada Radinka agar dia yang menjelaskan.
"Om, Tante--"
"Panggil saja Ayah dan Ibu," potong Bu Maryam seraya tersenyum.
Radinka menahan senyum kemudian melanjutkan kalimatnya.
"Ibu, Ayah, aku sudah menyukai Fatimah sejak pertama kali aku melihatnya."
Bu Maryam dan Pak Fadil tentu saja tak bisa untuk tidak tertawa mendengar pengakuan Radinka yang terdengar seperti gombalan.
"Sudah-sudah, biar aku saja yang menjelaskan." Fatimah merasa malu mendengar pengakuan kekasihnya di depan kedua orang tuanya.
"Pokoknya aku dan Radinka saling menyukai Bu, Yah. Tapi ada satu hal yang harus Ibu dan Ayah ketahui ...." Fatimah menggantung kalimatnya dan menoleh pada Radinka, bermaksud meminta persetujuan.
Radinka pun mengangguk, mempersilahkan Fatimah untuk memberitahu kedua orang tuanya.
"Radinka adalah saudara tiri Adnan."
"Apa?"
"Hah?"
Respon Bu Maryam dan Pak Fadil tentu saja terkejut. Dunia terasa begitu sempit.
"Kamu saudara tiri Adnan?" tanya Pak Fadil memastikan.
"Iya, Ayah. Aku anak dari istri kedua Pak Hendra."
"Istri kedua? Pak Hendra memiliki dua istri?" Bu Maryam benar-benar tak menyangka.
Radinka mengangguk pelan.
Bu Maryam dan Pak Fadil saling pandang. Tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
"Kamu tahu mengenai hal ini, Fat? Apa kamu tidak apa-apa?" Pak Fadil memandang Fatimah, tentu saja khawatir kalau-kalau putrinya merasa tertekan.
"Aku tahu, Yah, Bu. Radinka sudah menceritakan semuanya padaku."
"Dan kamu tetap memilih bersama Radinka?" tanya Bu Maryam yang diangguki Fatimah.
"Ayah, Ibu, aku serius dengan Fatimah, putri kalian. Jika diizinkan ...." Radinka menatap sekilas pada Fatimah sebelum melanjutkan. "Aku ingin segera melamarnya."
Fatimah yang sedang minum sontak tersedak mendengar pernyataan Radinka yang ingin segera melamarnya.
"Pelan-pelan, Nak!" Bu Maryam menepuk-nepuk Fatimah.
"Radinka, kamu serius?" tanya Pak Fadil.
"Iya, Ayah. Aku serius."
"Tapi kita belum lulus, Radinka."
"Tidak apa-apa. Bagaimana kalau kita tunangan saja dulu, Fat?" tawar Radinka.
Fatimah menatap ibu dan ayahnya bergantian, namun kedua orang tuanya memberi isyarat bahwa keputusan ada di tangan Fatimah.
"Aku ... aku ...," kata Fatimah gelagapan, tentu saja dia tak siap dengan pertanyaan mendadak dari Radinka apalagi di depan kedua orang tuanya.
"Hm?" Radinka menunggu jawaban Fatimah dengan penuh harap.
"Aku mau." Dua kata yang terlontar dari bibir Fatimah disambut senyum lebar oleh Radinka.