Syahnaz dan Fatimah sampai di salah satu pusat perbelanjaan. Mereka menuju salah satu toko baju tepat di sebelah baby shop.
Saat melewati baby shop, Fatimah menangkap sosok Adnan dan Naura sedang berbelanja.
Syahnaz yang jalan lebih dulu pun sadar gak ada Fatimah di sampingnya dan menoleh ke belakang. Dia melihat temannya itu sedang mematung sembari tatapannya ke dalam baby shop.
"Kenapa malah melamun sih, Fat?!" Syahnaz mengikuti arah pandangan Fatimah, dan melihat Adnan berserta istrinya. "Lihat tuh mantan pacarmu yang katanya menikah karena terpaksa? Tapi terlihat baik-baik saja dengan Naura! Bahkan seperti pasangan bahagia yang berbelanja bersama."
Fatimah menghela napas panjang. "Sudahlah, Naz. Ayo!" Fatimah menarik tangan Syahnaz memasuki toko baju telah di sebelah baby shop.
Mereka berdua tengah memilih-milih pakaian sampai terdengar kegaduhan dari bahy shop.
"Ada apa sih ribut-ribut?" Syahnaz yang penasaran pun turut melihat ke toko sebelahnya.
Terlihat Naura ambruk di lantai dengan darah mengalir dari selangkangannya. Dan terlihat Adnan yang tak tahu tengah menelpon siapa terlihat begitu panik.
"Fatimah! Fatimah!" panggil Syahnaz pada Fatimah yang baru saja keluar dari fitting room.
"Naura ... lihatlah!"
Fatimah buru-buru menuju kasir untuk membayar bajunya dan mengikuti Syahnaz ke baby shop.
"Astaghfirullah, apa yang terjadi, Ad?!" pekik Fatimah yang melihat Naura di lantai.
"Aku tidak tahu, Fat! Aku harus bagaimana?!"
"Ayo gendong Naura dan bawa ke rumah sakit!" perintah Fatimah seraya mencoba mengangkat Naura dibantu oleh Syahnaz.
"Angkat istrimu, Adnan!" Syahnaz merasa kesal karena Adnan panik tanpa melakukan sesuatu.
"Iya, iya." Adnan segera menggendong Naura dan membawanya menuju mobil di parkiran.
"Fatimah, sebaiknya kamu ikut Adnan! Aku akan bawa mobil ke rumah sakit untuk menjemputmu," usul Syahnaz yang diangguki Fatimah.
Adnan menyetir dengan perasaan campur aduk. Fatimah menemani Naura di kursi penumpang.
"Aduuh ...," ringis Naura.
"Naura? Kamu baik-baik saja?"
"Sakit ...." Naura meringis lagi.
"Tahan sebentar, Nau, kita sedang menuju rumah sakit!" teriak Adnan dari kursi kemudi.
Naura tak menjawab apa-apa lagi karena menahan perutnya yang terasa sangat sakit.
"Bertahanlah, Naura, sebentar lagi kita sampai!" kata Fatimah.
Mobil Adnan memasuki parkiran rumah sakit. Fatimah langsung berkeringat dingin. Dia masih seperti dulu yang ketakutan jika melihat rumah sakit. Tapi saat ini dia harus bisa melawan ketakutannya.
Fatimah dan Adnan memapah Naura, tak lama kemudian petugas rumah sakit turut membantu.
Setelah Naura ditangani, giliran Fatimah yang merasa kepalanya begitu nyeri. Dia memegangi kepalanya.
"Kamu kenapa, Fat? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Adnan khawatir.
Fatimah hanya mengangguk. "Aku pulang dulu." Dia berjalan cepat meninggalkan ruang IGD, ia merasa sesak sampai tak bisa bernapas.
Sesampainya di parkiran Fatimah mengambil napas banyak-banyak. Air mata sudah memenuhi matanya. Sekelebat bayangan-bayangan mengerikan terlintas di pikirannya. Fatimah memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. "Tidak ...!" jeritnya.
"Fat! Fatimah!" Syahnaz menggoncangkan pundak Fatimah. "Ada apa denganmu?!" Untung saja dia datang tepat waktu.
"Aku mau pulang," lirih Fatimah.
"Iya, ayo kita pulang!" Syahnaz segera menuntun sahabatnya menuju mobil tanpa bertanya lebih banyak lagi.
Sesampainya di mobil, Syahnaz memberi Fatimah air mineral agar merasa lebih tenang. "Minum dulu, Fat."
Fatimah meraih botol minum pemberian Syahnaz dan langsung meneguknya.
"Ayo pergi dari sini, Naz!" Fatimah merengek ingin cepat-cepat menjauh dari rumah sakit.
"Iya, iya." Syahnaz segera menjalankan mobilnya dan menuruti Fatimah.
Saat menyetir Syahnaz sesekali melirik pada sahabatnya yang terlihat gemetar ketakutan. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Fatimah, namun tak menanyakan langsung karena suasananya sedang tidak tepat.
Sedangkan di rumah sakit, Adnan harus segera menandatangani persetujuan operasi Naura agar ibu dan bayinya dapat diselamatkan.
"Lakukan apa saja, Dok! Tolong selamatkan istri dan anakku," pinta Adnan putus asa.
"Kami akan lakukan yang terbaik, Pak."
Adnan pun hanya bisa pasrah dan berdo'a agar istri serta anaknya baik-baik saja.
***
Sesampainya di rumah, Fatimah segera berlari dan mengurung diri di dalam kamar. Tentu saja hal itu mengundang tanya Bu Maryam dan Pak Fadil.
"Fatimah kenapa, Naz?" tanya Bu Maryam dengan alis bertaut.
Syahnaz mengedikkan bahu seraya menghela napas. "Aku tidak tahu Ibu, Ayah, tiba-tiba saja dia seperti itu."
"Memangnya kalian dari mana?" imbuh Pak Fadil.
"Dari rumah sakit. Kami sedang berbelanja di mall dan bertemu Adnan berserta istrinya. Naura mengalami pendarahan dan Fatimah membantu Adnan membawanya ke rumah sakit--"
"Fatimah ke rumah sakit?!" potong Bu Maryam terkejut.
"Iya, Bu. Memang ada apa?" tanya Syahnaz tak mengerti.
Bu Maryam dan Pak Fadil saling pandang dengan raut wajah khawatir.
"Ada apa, Bu, Yah? Jangan buat aku bingung!" Syahnaz menatap orang tua teman karibnya itu dengan penuh tanda tanya.
"Ibu mau ke kamar Fatimah dulu!" seru Bu Maryam seraya berjalan cepat untuk menemui putrinya yang kini pasti tengah menangis.
"Ada apa sebenarnya, Ayah?"
Pak Fadil membenarkan kacamatanya sebelum menjawab pertanyaan Syahnaz.
"Entahlah, Naz, sejak dulu Fatimah memang tidak suka rumah sakit. Bahkan menginjakkan kakinya saja dia tidak mau, bahkan pernah sampai pingsan."
"Memang tadi Fatimah sempat mengeluh kepalanya sakit, bahkan hampir jatuh. Untung saja aku datang tepat waktu."
"Syukurlah ada kamu, Syahnaz! Terima kasih."
"Sama-sama, Yah. Kalau begitu aku pamit pulang dulu, salam untuk Ibu dan Fatimah."
Syahnaz pun berpamitan pada Pak Fadil.
Di dalam kamarnya, Fatimah tengah menyembunyikan wajahnya di bawah bantal.
"Fatimah ...,"
Bu Maryam memanggil lembut, namun tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara isak tangis.
"Seharusnya kamu tidak perlu sampai ke rumah sakit," lanjut Bu Maryam lagi.
Fatimah akhirnya mau mengeluarkan wajahnya.
"Bagaimana bisa, Bu? Naura pendarahan dan aku harus menolongnya."
"Tapi akibatnya jadi seperti ini jika kamu memaksa memasuki rumah sakit!"
"Sebenarnya apa yang terjadi padaku, Bu? Apa aku punya trauma atau semacamnya? Kenapa aku tidak ingat masa kecilku? Kenapa bayangan-bayangan mengerikan selalu lewat saat aku melihat rumah sakit?" cecar Fatimah dengan tergugu.
Bu Maryam hanya bisa memeluk Fatimah tanpa menjawab ceceran putrinya. Dia menenangkan anak semata wayangnya itu.
Pintu kamar terdengar dibuka, dan Pak Fadil muncul.
"Fat, kamu baik-baik saja?" tanyanya khawatir.
"Iya, Ayah."
"Syukurlah. Lebih baik kamu istirahat," saran Pak Fadil.
Bu Maryam dan Pak Fadil pun meninggalkan kamar Fatimah untuk membiarkan anak perempuannya beristirahat.
Saat mereka sampai di depan kamar dan menutup pintu, Bu Maryam bertanya lirih. "Sampai kapan kita merahasiakan ini dari Fatimah?"
"Memangnya Fatimah bicara apa, Bu?"
"Dia bertanya kenapa dia tak ingat masa kecilnya? Apakah dia punya trauma atau semacamnya?"
"Lalu Ibu menjawab apa?"
"Ibu tidak bisa menjawabnya, Yah. Hanya bisa memeluk dan menenangkannya."
Pak Fadil merangkul pundak Bu Maryam dan mengusapnya pelan. "Cepat atau lambat Fatimah akan tahu tapi tidak untuk sekarang."
"Ibu tidak mau kehilangan Fatimah!" Bu Maryam langsung terisak membayangkan jika Fatimah meninggalkannya.
"Itu tidak akan terjadi, Bu! Fatimah anak kita, dan selamanya akan bersama kita." Pak Fadil meyakinkan istrinya.