"Jadi kalian mau ikut aku atau tidak?!"
Radinka tak bisa lagi menahan emosinya, karena Adnan dan Bu Tina hanya diam saja. Bukankah seharusnya mereka menjawab? Apa mereka tidak punya mulut?
"Sudahlah, Radinka. Kamu dan Ayah saja yang pergi!" Pak Hendra yang menyahut, karena anak dan istrinya hanya diam.
Adnan mengepalkan tangannya dan memberanikan diri menatap Radinka. "Aku tidak sudi mengantarkanmu melamar Fatimah!"
"Benar, Ad!" Bu Tina menyetujui ucapan putranya. "Ibu dan anak sama saja, bisanya merebut milik orang lain!" umpatnya, pada Radinka.
"Cukup!" bentak Pak Hendra. "Bukankah kita sepakat untuk tidak membahas hal ini lagi?!
Pak Hendra menatap Bu Tina dan Adnan bergantian. Meski sudah berlalu puluhan tahun, tetap saja mereka berdua tidak bisa menerima Radinka.
"Afnan, meski Radinka bukan anak ibumu, dia ini saudaramu! Radinka juga anak Ayah!" tegas Pak Hendra.
Tatapan Pak Hendra beralih pada Bu Tina. "Dan kamu, sebagai seorang ibu seharusnya mendidik Adnan dengan naik!"
Dimarahi oleh Pak Hendra membuat Bu Tina dan Adnan terdiam. Sedangkan Radinka sebenarnya sudah menebak, jika ibu dan saudara tirinya tidak akan mau mendampinginya melamar Fatimah.
"Ayah, kita berangkat sekarang."
Radinka mengajak Pak Hendra untuk segera berangkat daripada berlama-lama dan mendengar ucapan tak mengenakkan hati lagi.
"Ayo, Radinka, lebih baik kita berangkat. Ayah juga lelah berdebat sepanjang waktu!" pungkas Pak Hendra.
***
Hari yang dinanti-nantikan oleh Fatimah dan Radinka tiba, apalagi kalau bukan hari pertunangan mereka. Sebelum libur semester usai dan mereka berdua harus kembali berkuliah di Singapura, Radinka ingin menyematkan cincin di jari manis kekasihnya. Tentu saja agar semua orang tahu, jika Fatimah adalah milik Radinka.
Radinka datang bersama ayahnya, Pak Hendra. Baik Afnan maupun Bu Tina, tidak ad yang mau mendampingi Radinka untuk melamar Fatimah. Tidak masalah, karena Radinka juga tidak mau ibu tiri serta saudara tirinya itu malah mengganggu acara lamarannya.
Fatimah ke luar dari kamar di dampingi ibunya. Gaun cantik yang dikenakan oleh Fatimah terlihat pas dan anggun. Tak berbeda jauh dengan Radinka yang gagah dengan setelan jasnya.
Fatimah melirik kekasihnya yang sudah duduk di kursi bersebelahan dengan Pak Hendra. Jujur, detak jantungnya saat ini tidak beraturan saking tegangnya.
Kedua keluarga sudah bertemu dan duduk di tempatnya masing-masing. Tidak ada saudara atau pun kerabat lain, hanya ada orang tua Fatimah dan Ayah Radinka. Meski ruangan sudah di dekor sedemikian cantik.
"Fatimah Salsabila, saya datang bersama anak saya yang bernama Radinka untuk melamarmu menjadi calon istrinya."
Pria yang sudah berumur lebih dari setengah abad itu bicara dengan jelas dan tegas. Meski Radinka adalah anak dari istrinya yang lain, Pak Hendra sama sekali tak membeda-bedakan Radinka dengan Afnan.
Setelah Pak Hendra selesai berbicara, Radinka pun segera membuka suara.
"Fatimah Salsabila, maukah kamu menerima lamaranku?"
Radinka mengeluarkan kotak cincin dari dalam saku jasnya. Membukanya di depan sang kekasih, dengan matanya menatap Fatikah dengan sorot bahagia.
"Aku bersedia."
Dua kata yang ke luar dari bibir Fatimah membuat semua orang berucap hamdalah, disertai Radinka yang mengambil cincin dari kotak itu. Fatimah juga segera mengulurkan tangannya, membiarkan Radinka menyematkan cincin di jari manisnya.
Semua orang yang ada di ruangan itu terlihat bahagia, terlebih Pak Fadil dan Bu Maryam. Melihat putri sekaligus anak mereka satu-satunya telah dilamar.
Acara lamaran berjalan lancar, meski tidak meriah seperti acara lamaran kebanyakan. Fatimah dan Radinka sudah resmi bertunangan, dan setahun lagi akan melangsungkan pernikahan. Karena mereka berdua harus menyelesaikan pendidikan pasca sarjana mereka dulu.
"Jadi, kapan baiknya pernikahan dilangsungkan?" tawar Pak Hendra, menyerahkan keputusan pada Fatimah dan Radinka.
"Aku dan Fatimah ingin menyelesaikan pendidikan kami dulu, Ayah." Radinka melirik Fatimah. "Iya kan, Fat?"
Fatimah mengangguk mengiyakan. Dia memang ingin menyelesaikan pendidikannya dulu sebelum menikah dengan Radinka. Bisa saja mereka menikah meski masih menempuh pendidikan pasca sarjananya, tapi Fatimah dan Radinka lebih memilih menyelesaikannya terlebih dahulu.
"Tidak usah terburu-buru."
Bu Maryam pun turut menyuarakan pendapatnya. Beliau takut jika terburu-buru akan seperti rencana pernikahan Fatimah dan Afnan, berakhir kandas.
"Tapi lebih cepet lebih baik lho, Bu."
Pak Fadil terlihat bersemangat dan tak sabar melihat anak perempuan kesayangannya menikah. Tak pelak ucapan Pak Fadil mengundang tawa dari semua orang yang ada di sana.
Fatimah memicingkan matanya pada Pak Fadil. "Ayah sudah tidak sabar mendapatkan menantu seperti Radinka?" godanya.
"Tentu saja, Radinka adalah pria baik." Pak Fadil menatap pada Radinka dan mengedipkan sebelah matanya.
"Ayah, jangan goda calon suamiku!" seru Fatimah, membuat tawa kembali menggelegar.
"Saya minta maaf karena hanya datang berdua bersama Radinka," kata Pak Hendra, seraya menatap sungkan pada kedua orang tua Fatimah.
"Tidak apa-apa." Pak Fadil menjawab ucapan calon besannya. "Kalau pun Radinka kemari seorang diri juga tetap akan saya terima."
Ayah Fatimah itu memang suka sekali bergurau. Hampir semua yang terlontar dari mulutnya mengundang tawa. Radinka berpikir hidupnya pasti terasa menyenangkan memiliki ayah mertua seperti Pak Fadil.
Mereka semua makan bersama setelah berbincang ringan. Bu Maryam memang sengaja memasak banyak dibantu oleh Fatimah. Meski hanya berlima, suasana terasa hangat dan bahagia.
Bu Maryam mengambilkan makan untuk Pak Fadil, begitupun Fatimah yang mengambilkan makan untuk Radinka. Sedangkan Pak Hendra celingukan dan akhirnya mengambil makanannya sendiri.
"Sepertinya aku harus mengambil makan sendiri," celetuk Pak Hendra.
"Mau aku ambilkan, Ayah?" tawar Fatimah.
"Tidak perlu, Fatimah. Terima kasih," tolak Pak Hendra halus.
Makan bersama berlangsung tenang dan damai. Hingga suara gedoran pintu begitu keras mengganggu ketenangan mereka.
"Siapa yang bertamu? Kenapa tidak sopan sekali?"
Bu Rahmah bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Beliau berjalan cepat karena tamu yang datang terus mengetuk pintu dengan tak sabaran.
"Sebentar!"
Bu Rahmah berseru kemudian membukakan pintu, dan tercengang melihat siapa yang datang. Ternyata tamu wanita yang datang dengan anak dalam gendongannya. Wanita itu adalah Naura.
"Dimana Fatimah?!" tanya Naura, dengan nada meninggi. "Fatimah! Fatimah! Keluar kamu!" serunya.
"Jangan ganggu hidup anakku lagi. Apa kamu belum puas membuatnya sakit hati dengan menikah dengan Adnan?" balas Bu Rahmah, tapi masih dengan nada yang rendah.
"Ada apa ini?"
Fatimah muncul karena merasa namanya terpanggil. Dia terkejut melihat Naura bersama anaknya datang kemari.
"Mau apa lagi kamu, Naura?" tanya Fatimah, dengan segala kelelahannya karena harus terus bertemu dengan istri dari Adnan itu.
"Puas kamu membuat rumah tanggaku hancur?! Bahkan kamu mengorbankan bayi yang tidak berdosa ini! Kamu jahat! Dasar wanita jahat!" jerit Naura, seperti orang yang sudah kehilangan akalnya.