Chereads / Jodoh Untuk Fatimah / Chapter 16 - Berbaikan

Chapter 16 - Berbaikan

Fatimah mematikan ponselnya dan menenggelamkan wajahnya pada bantal untuk meredam suara tangisannya.

Mengingat kencannya dan Radinka di Universal Studio Singapore, hati Fatimah terasa sakit. Radinka berjanji akan melamarnya setelah mereka lulus ternyata hanya bualan belaka. Dia menggunakan Fatimah untuk balas dendam pada Adnan. Namun Fatimah tak tahu pasti balas dendam apa yang Radinka maksudkan.

Tak lama berselang bel apartemennya berbunyi. Fatimah ragu membukakannya atau tidak. Ia menerka Radinka yang ada di depan apartemennya karena dia mengabaikan panggilan telepon Radinka.

Fatimah memutuskan untuk tidak membukakannya dan menangis hingga tertidur.

Satu jam berlalu, Fatimah menggeliat dan merenggangkan otot-ototnya. Matanya sudah pasti membengkak sekarang. Dia merasa lapar dan tak ada bahan makanan di apartemennya.

Fatimah merapihkan diri dan bersiap menuju minimarket terdekat. Betapa terkejutnya dia saat membuka pintu, Radinka sedang duduk bersandar di tembok depan apartemennya.

Melihat Fatimah membuka pintu, buru-buru Radinka bangkit.

Fatimah berniat menutup kembali pintunya, namun terlambat karena tangan Radinka dengan cepat menahannya.

"Aku mohon, Fat. Dengarkan aku dulu! Yang dikatakan Jonathan tak sepenuhnya benar."

"Awas!" Fatimah mencoba menyingkirkan tangan Radinka yang menahan pintu apartemennya tertutup.

"Aku benar-benar menyukaimu, Fatimah!" seru Radinka yang membuat Fatimah berhenti mencoba mendorongnya keluar.

Kedua bola mata mereka bertemu dan saling menatap. Fatimah mencoba mencari kebohongan dalam sorot mata Radinka, namun ia tak menemukannya.

"Awalnya ... ya, aku tidak serius denganmu." Radinka menjeda. "Tapi kini aku benar-benar jatuh cinta padamu, Fatimah."

Fatimah mencoba meneguhkan hatinya dan tak terbujuk oleh ucapan cinta Radinka. Dia masih diam.

"Percayalah padaku, Fat. Ya ampun, kamu membuatku menyatakan cinta di tengah pintu seperti ini?"

Ucapan Radinka tanpa sadar membuat Fatimah terkekeh.

"Aku suka saat kamu tersenyum dan melihat lesung pipimu."

Fatimah mengembalikan kesadarannya dan kembali mendorong Radinka. "Pergi!"

"Aku kira kamu sudah memaafkanku," ucap Radinka memelas.

"Tidak semudah itu, Radinka." Fatimah segera menutup pintu setelah tangan Radinka yang menahan pintu itu terlepas.

Di balik pintu yang tertutup, Fatimah mengatur degub jantungnya. Harusnya dia tak semudah itu percaya pada Radinka, tapi dalam sorot mata pria itu Fatimah tak menemukan kebohongan.

Radinka pun memilih membiarkan Fatimah berpikir dan meninggalkan apartemen. Yang terpenting dia sudah menjelaskan pada Fatimah, dan semoga saja gadis yang ia sukai itu mau memaafkannya.

Lima belas menit berselang, Fatimah kembali membuka pintu apartemennya. Namun dia harus kecewa karena Radinka sudah tak ada di depannya. Bukankah salahnya sendiri terlalu lama membuka pintu lagi?

"Kenapa dia malah pergi? Dia berniat meminta maaf atau tidak sih?!" omel Fatimah.

Dengan rasa kecewa dia melanjutkan niatnya menuju minimarket, namun saat berbelok ke kanan dia melihat Radinka disana.

"Kamu mencariku rupanya." Radinka menyeringai, sepertinya dia mendengar omelan Fatimah barusan.

"Ti-tidak!" Fatimah mengelak cepat.

"Kamu kecewa aku pergi? Tapi kamu tadi seperti tidak mau melihatku."

Fatimah terpojok sekarang, ketahuan mencari Radinka dan merasa kecewa karena ia kira perjuangan Radinka meminta maaf padanya tidak serius.

"Awas! Aku mau ke minimarket." Fatimah akhirnya mengalihkan pembicaraan.

Tahu gadis di depannya ini malu mengakui perasaannya, Radinka pun menahan tawanya. "Aku temani."

"Terserah." Fatimah pura-pura cuek dan berjalan santai, sedangkan Radinka mengekor di belakangnya.

***

Mereka sampai di minimarket. Fatimah seperti tak menganggap Radinka ada, meskipun begitu Radinka tetap mengekori Fatimah kesana-kemari memilih belanjaan.

Fatimah sedang memilih roti di tangan kanan dan kirinya, tiba-tiba Radinka bersuara.

"Yang sebelah kanan saja!" tunjuk Radinka pada roti yang ada di tangan kanan Fatimah.

"Aku tak meminta pendapatmu," ketus Fatimah.

Radinka mencoba sabar dan memaklumi jika kekasihnya itu masih marah padanya, akhirnya ia mengunci kembali mulutnya.

Fatimah berpindah pada tempat sayur-mayur.

"Sepertinya yang itu lebih segar!" Radinka menunjuk pada seikat sayuran yang paling atas.

Fatimah tanpa sadar mengikuti petunjuk Radinka dan mengambilnya.

"Kita sudah seperti pasangan pengantin baru yang berbelanja bersama ya?" kekeh Radinka.

Mendengar hal itu Fatimah mendelik pada Radinka. "Jangan mencoba menggodaku, aku masih marah tahu! Dan sejujurnya aku tak yakin dengan perasaanmu. Bisa saja tiba-tiba kemu meninggalkanku setelah balas dendam pada Adnan."

"Fatimah ...," desah Radinka. "Aku harus bagaimana agar kamu percaya padaku? Itu rencana awalku dan sekarang sudah tidak berlaku!"

Fatimah pura-pura tak meladeni ocehan Radinka dan sibuk memilih sayuran.

"Aku tak peduli Adnan sakit hati atau tidak sekarang, yang jelas aku benar-benar menyukaimu!"

Fatimah menoleh pada Radinka. "Jika kamu benar menyukaiku, apa kamu mau memberitahu mengapa hubungan kamu dan Adnan buruk?"

"Itu ...." Radinka sebenarnya ragu memberitahu Fatimah atau tidak.

"Kalau kamu tak mau memberitahu, berarti kamu tidak serius menyukaiku. Aku menceritakan semuanya padamu, tapi aku tak tahu apa-apa tentang kekasihku? Bukankah itu tidak adil?"

Radinka membenarkan dalam hati. Ini memang tidak adil bagi Fatimah, tapi dia juga tak mungkin memberitahu masalah yang terjadi di antara keluarganya, lebih tepatnya antara dia dan Adnan.

"Belum waktunya, Fat. Aku akan memberitahu jika waktunya tiba, oke?"

Fatimah mendesah kecewa. "Jika seperti itu, aku juga baru akan percaya padamu jika waktunya tiba."

Radinka gemas sendiri dengan wanita di hadapannya yang tak mau kalah. Dia mencoba menyabarkan diri karena tak mau membuat Fatimah benar-benar membenci dan pergi darinya.

Fatimah mendorong troli dan berjalan menuju kasir, tentu masih dengan Radinka yang mengikutinya persis seperti anak kecil yang sedang mengekori ibunya.

***

Fatimah dan Radinka kembali ke apartemen, lebih tepatnya Radinka yang memaksa masuk saat Fatimah membuka pintu, dia menerobos.

"Siapa yang mengizinkanmu masuk?"

"Aku lapar. Aku lelah mengikutimu sejak tadi."

"Siapa suruh?"

Fatimah membawa belanjaannya menuju dapur dan meninggalkan Radinka di ruang tamu.

Meskipun dia terlihat masih ketus, namun hatinya tetaplah lembut. Dia segera mencuci bahan-bahan makanan dan memasaknya dengan cepat.

Setelah semua makanan terhidang, Fatimah menuju ruang tamu untuk mengajak Radinka makan, namun pria itu malah tertidur di sofa.

"Katanya lapar tapi malah tidur," gumam Fatimah.

Fatimah mendekat tapi tak langsung membangunkan Radinka, dia berjongkok dan memangku tangan seraya memandang wajah tampan saudara tiri mantan kekasihnya itu. Radinka terlihat begitu damai dalam tidurnya.

Hidungnya yang mancung, alis tebalnya, dan bibir tipis milik Radinka tampak sempurna.

Tangan Fatimah terulur hendak menyentuh wajah pria yang berstatus kekasihnya itu, namun ia urungkan dan buru-buru kembali menarik tangannya karena mata indah milik Radinka tiba-tiba terbuka.

Fatimah langsung bangkit dan berdehem beberapa kali mengusir kegugupannya.

"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Radinka seraya mengucek-ucek matanya.

"Apa lagi? Aku mau membangunkanmu. Katanya lapar tapi malah tidur." Fatimah bersungut-sungut.

"Aku lapar sampai mengantuk makanya tertidur."

"Biasanya kalau orang lapar itu tidak bisa tidur."

"Sampai kapan kamu mau mendebatku, Fat? Fatimah yang aku kenal biasanya tak banyak bicara."

"Aku memang banyak bicara tahu! Kalau begitu kamu berarti belum benar-benar mengenalku."

"Baiklah. Aku akan belajar lebih mengenalmu lagi."

Radinka berjalan menuju dapur dan meninggalkan Fatimah yang masih membeku.

Mereka berdua makan malam bersama seakan melupakan kejadian siang tadi.

"Masakanmu enak, Fat."

"Aku sudah biasa dipuji seperti itu."

"Oleh Adnan?" terka Radinka yang membuat Fatimah terbatuk.

Fatimah langsung minum air putih dan melayangkan protes pada Radinka.

"Bisakah kamu berhenti menyebut namanya?"

"Maaf." Radinka pun kembali melanjutkan makannya.

Diam-diam Radinka memotret Fatimah dan mengunggah di laman media sosialnya.

Di lain tempat, Adnan melihat unggahan foto Radinka dan membanting ponselnya ke lantai.

Adnan cemburu, tentu saja. Dia melihat Fatimah berada di meja makan sedang tertawa dengan hidangan di depannya yang Adnan tebak dimasaknya untuk makan bersama dengan Radinka.

Masakan itu ... Fatimah sering membuatkannya bekal saat mereka kuliah. Dia sudah membayangkan memakan masakan Fatimah setiap hari setelah mereka menikah nanti, namun sekarang itu hanya ada dalam khayalannya.

Adnan menjambak rambutnya kuat-kuat merasa amarahnya memuncak. Ini semua gara-gara Naura yang menjebaknya. Ditambah kini Naura benar-benar sedang mengandung anaknya, Adnan benar-benar tak bisa meninggalkan Naura begitu saja setelah mengetahui kebohongan istrinya itu.

"Astaga ... kamu kenapa, Ad?"

Naura masuk kamar dan melihat ponsel Adnan di lantai tak berbentuk.

"Ini semua gara-gara kamu, Naura!"

"Apa yang terjadi? Apa maksudmu? Aku baru saja masuk kamar!"

"Gara-gara kamu menjebakku, aku tidak menikah dengan Fatimah. Kini Radinka sedang menikmati makan malam buatannya!"

"Radinka? Pacar baru Fatimah? Kenapa kamu masih cemburu pada wanita itu?! Sadarlah Adnan, kamu sudah punya istri dan sebentar lagi akan memiliki anak!" Naura mengelus perutnya yang tampak masih rata.

"Jika saja kamu tak menjebakku, aku menikmati masakan Fatimah setiap hari!"

"Aku juga bisa memasak, Ad. Kamu pikir masakan siapa yang kamu masak setiap pagi?!"

Naura mencoba sabar dan melayani Adnan dengan baik. Setiap pagi ia menyiapkan sarapan dan Adnan memakannya. Namun kini suaminya malah mengungkit perihal impiannya memakan masakan Fatimah setiap hari.

Terdengar suara pintu dibuka, gegas Naura keluar kamar dan melihat siapa yang datang.

"Ibu!" Naura berseru senang dan memeluk Bu Ros.

"Bagaimana kabarmu dan cucu ibu?" Bu Ros melerai pelukannya dan menatap perut Naura.

"Alhamdulillah semuanya baik." Naura menyembunyikan sakit hatinya pada Adnan di depan ibunya.

Adnan menyusul keluar kamar karena mendengar Naura menyerukan panggilan ibu.

Adnan menyalami ibu mertuanya dan mencoba tersenyum meski baru saja berdebat dengan Naura.

"Adnan, kamu memperhatikan Naura dengan baik kan?" tanya Bu Ros.

"Tentu saja, Bu! Adnan mengabulkan semua yang aku inginkan," sahut Naura cepat.

Adnan hanya tersenyum tipis seraya merangkul pundak Naura, mencoba berpura-pura menjadi suami yang baik dan keluarga harmonis.

"Syukurlah." Bu Ros berucap lega.

"Ibu sudah makan malam? Aku sudah memasak, ayo kita makan!" ajak Naura merangkul lengan Bu Ros menuju ruang makan. Adnan, Naura, dan Bu Ros pun makan malam bersama.