Wrong Way of Using The Time Control Ability

🇮🇩xiaokedun
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 5.8k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Buku Palsu

Di sebuah sudut kota Bont yang terdiri dari jejer-jejeran gedung yang amat tinggi, terdapat sebuah gedung yang berbeda sendiri dengan penampilannya yang mencolok di mata. Selain paling tinggi, gedung itu juga terlihat sangat megah dengan hadirnya gemerlap emas murni yang melapisi dinding, serta berlian yang digunakan sebagai hiasan gedung itu dengan cuma-cuma tanpa takut kedua hal tersebut di tilap atau di curi.

Menengok ke atas, bagian paling ujung gedung itu, di balik kaca jendela terlihat seorang pria berusia sekitar 60 tahunan sedang berdiri dengan fokus pandangan ke arah halaman buku yang ada di tangannya. [Kau ingin menjadi seorang penyihir yang bisa mengendalikan waktu? Baca buku ini, dan kau tidak akan menyesalinya!] nama buku itu yang terdapat di cover, pria itu benar-benar fokus ke buku, hingga tiba-tiba terdengar suara tawa yang keluar dari mulut pria itu.

"Sangat konyol, mana ada cuma membaca sebuah tulisan bisa mengirim seseorang ke masa lalu!" Pria itu menggelengkan kepala, lalu menutup buku yang sedang dibacanya itu. "Sungguh buang-buang uang, 10 triliun hanya untuk buku yang terlihat seperti karangan anak-anak!" Membolak-balik buku setebal 5-cm itu sebentar, sebelum berjalan menuju kursi yang ada di belakang meja kerja.

Di atas meja, terdapat plakat nama bertuliskan [BOSS] dengan font besar, dan [Easton Achan] tepat di bawahnya. Yap itulah nama MC dalam novel ini, dia merupakan seorang pengusaha sukses yang bergerak di segala bidang. Jelas hal ini tidak perlu dipertanyakan lagi, dapat disimpulkan hanya dengan melihat bagaimana bentuk gedung kantor yang dimilikinya.

"Shit!!" Tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba kakinya terselip, membuat Achan yang lagi enak-enak berjalan menjadi tersungkur, dan sialnya, entah bagaimana saat mukanya akan menyentuh lantai, dia berteleportasi, dari yang seharusnya jatuh ke lantai malah jatuh dari atas gedung kantornya. "Motherfu~ Blurgh! Blurgh!" Awalnya ingin muring-muring, namun pemandangan yang ada di bawah menyebabkan isi perutnya bergejolak. Butuh beberapa saat untuk menstabilkan isi perutnya, mencegah muntah keluar. "Shit! Setelah kepergian ibu, yang aku lakukan hanya mencari uang! Sekarang, aku harus mati dalam keadaan seperti ini?! Tanpa tahu penyebabnya, dan yang terpenting masih jomblo!" Tahu beberapa detik lagi akan mati, masih belum terlihat ada kepanikan di wajahnya. Bahkan terkesan tenang, seakan sudah siap dengan apa yang akan terjadi kepadanya.

Melihat permukaan tanah yang semakin dekat, Achan menutup mata sebagai persiapan terakhir yang bisa dilakukannya sebelum mengalami benturan. '600 meter, 400 meter, 200 meter' hitungan yang dilakukan Achan di dalam batin, dan hitungan terakhir diganti menjadi sebuah kalimat perpisahan 'Selamat tinggal dunia!' Tenang plus sunyi, benturan yang diharapkan belum tiba.

Hal ini membuat Achan kebingungan, suara bising angin saat meluncur terjun sudah menghilang. Artinya seharusnya tubuh sudah menghantam tanah sekarang, tapi kok dia tidak merasakan sakit atau apapun sebagai tanda telah mengalami benturan.

'Oh iya, aku kan jatuh dari ketinggian yang sangat tinggi! Mungkin aku langsung mati menjadi bubur, jadi tidak ada kesempatan untuk merasakan sakit! Pasti sekarang aku sudah berada di surga!' Pikiran yang mencuat ini membuat Achan memberanikan diri untuk membuka mata secara perlahan.

Pemandangan yang pertama kali masuk ke mata adalah rerumputan, dilanjutkan perasaan terkejut saat mengetahui tubuhnya melayang 1 meter di atas tanah dalam posisi seperti sebelumnya waktu bersiap mengalami benturan.

Belum sempat bertanya kepada diri sendiri tentang apa yang sebenarnya terjadi, keajaiban tubuhnya yang bisa melayang tiba-tiba menghilang. [Gedebug!] Suara tubuh yang menghantam permukaan tanah, yang disusul suara kesakitan. "Awww!" Mendengar suara sendiri, sekali lagi perasaan terkejut menghampiri.

'Bagaimana suaraku bisa berubah seperti seorang bocah?!' Unek-unek di dalam pikirannya dijawab oleh orang yang entah siapa datang kepadanya untuk membantunya berdiri.

"Kau tidak apa-apa nak?!" Seorang lelaki tua berusia kurang lebih 80 tahunan bertanya tentang kondisi Achan saat membantunya berdiri, termasuk juga membantu membersihkan tanah yang menempel di pakaiannya. "Hanya sebuah mangga tidak sebanding dengan nyawa! Kalau kau ingin mangga tinggal datang ke rumahku, aku akan memberimu beberapa!" Tak ketinggalan orang tua itu memberikan ceramah sebagaimana seorang sesepuh pada umumnya.

Achan yang hanya diam dibantu sudah mengerti semua yang terjadi, orang tua itu menyebutnya 'nak' karena memang tubuhnya entah bagaimana kembali ke kondisinya saat berusia 14 tahun. Sementara 'mangga', orang tua itu salah mengira dia jatuh dari atas pohon mangga yang ada di sebelah kirinya.

"Terima kasih kakek!" Achan membungkukkan badan beberapa kali sebagai ucapan terima kasih atas bantuan yang diberikan orang tua itu.

"Tak perlu berterima kasih, itu bukan sesuatu yang besar!" Jawaban orang tua itu yang diikuti juga sebuah lambaian tangan. "Kamu masih ingin mangga?! Kalo masih, ayo ikut aku sekarang!" Sekali lagi orang tua itu menawarkan hal itu, dan kali ini Achan menerimanya begitu saja.

Mereka berdua pun melanjutkan percakapan sembari berjalan ke arah di mana orang tua itu tinggal. Selama perjalanan, mereka basa-basi sebentar seperti perkenalan, ternyata orang tua itu bernama Graham Ito, seorang kakek rumah tangga yang kesehariannya hanya mengurus kebun dan merawat seorang cucu perempuan yang dititipkan oleh putranya yang sibuk bekerja.

"Oh iya, ngomong-ngomong buat apa kau mencari mangga, Nak?!" Topik telah berganti, kini giliran Kakek Ito yang bertanya.

"Buat pesta rujak entar malam sama teman-teman, Kek!" Seperti seorang profesional dalam berbohong, tak tampak sekecil apapun keanehan di muka Achan.

Kenyataannya, bukan mangga tujuannya, melainkan mengumpulkan informasi dari kakek Ito tentang tempat yang sangat asing ini. Menurutnya, dia masih berada di kota Bont, namun tidak tahu ada di daerah mana. Dilihat dari arsitektur bangunan rumah yang berjejer di sepanjang jalan, tebakannya tak jauh-jauh dari tempat ini adalah bagian dari kota lama lantaran model bangunannya merupakan model bangunan lebih dari 1 abad yang lalu. Masalahnya, semua kota lama yang diketahuinya, semuanya telah menjadi tempat wisata, sedangkan apa yang ada di depan matanya, jauh sekali dari kata tempat wisata, lebih ke arah tempat tinggal biasa.

"Aneh, di mana teman-temanmu, mengapa mereka tidak ikut membantu?!" Ekspresi heran sempat muncul di wajah Kakek Ito, sebelum berganti ekspresi biasa dengan kerutan alis yang sangat dalam saat melanjutkan omongannya. "Apakah mereka membullymu sehingga kamu sendirian?! Kalo benar begitu, katakan saja siapa orangnya, kakek akan membantumu mengurus mereka!" Kebohongan Achan telah menyebabkan kesalahpahaman bagi kakek Ito.

Menyadari hal itu, Achan buru-buru melambaikan kedua tangannya untuk menyangkal pernyataan kakek Ito. Ini dilakukan untuk mencegah kebohongannya semakin menyebabkan kesalahpahaman. "Tidak-tidak! Kita semua mempunyai tugas masing-masing! Ada yang mencari bahan untuk membuat sambal, ada yang mencari buah lainnya, pokoknya semua bekerja!" Meski telah memberikan alasan yang masuk akal, tetap saja alasan itu tidak bisa mencegah ekspresi tidak percaya untuk muncul di wajah kakek Ito.

Kalau sudah begini, pilihan terakhir yang dimiliki Achan hanya bisa mengalihkan dengan topik lain. Kebetulan, ada sebuah topik bagus di depan mata Achan, yaitu sebuah rumah yang sekitarnya dipenuhi pohon mangga, berbeda dengan yang lainnya, yang mana hanya berupa tanah kosong atau dipenuhi tumbuhan liar. Sesuai deskripsi yang diberikan kakek Ito tentang kediamannya, rumah itu menurut tebakan Achan adalah kediaman kakak Ito.

"Rumah berwarna biru, dan kebun di sekitar rumah dipenuhi pohon mangga, sangat mirip dengan deskripsi yang kamu berikan tentang rumahmu, Kek!" Achan mengeksekusi pilihan terakhirnya dengan cara berpura-pura terus memandang ke arah rumah itu, mengabaikan ekspresi kakek Ito yang tampak telah menyadari pengalihan topik yang direncanakannya. Meski tahu terbongkar, Achan masih dengan PD melanjutkan omongannya. "Jangan bilang itu benar rumahmu, Kek?!" Kali ini Achan menatap kakek Ito untuk meminta konfirmasi atas tebakannya.

Kakek Ito menggelengkan kepalanya. "Dasar kamu, nak! Kakek ini sangat benci yang namanya bullying, makanya menawarimu bantuan! Tapi kamu malah mencoba mengalihkannya!" Kalimat yang dikatakan kakek Ito terdengar sangat kecewa.

Membuat Achan yang mendengarnya merasa tak enak kepadanya. "Terima kasih atas simpatimu, kek! Tapi aku benar-benar bukan korban bullying, dan perihal mengapa aku mengalihkan topik juga tanpa alasan! Kalau benar itu rumah kakek~ "Di jeda ini tangan kanan Achan menunjuk rumah biru yang jaraknya kurang lebih 300 meter dari mereka saat ini. "~lebih baik kakek cepat-cepat pulang deh! Soalnya tadi aku sempat melihat ada seorang pria berambut kuning masuk ke dalam!" Apa yang dikatakan Achan merupakan kejujuran.

Akan tetapi ada sedikit kesalahan, yang benar adalah 3 orang pria, dan sangat beruntung Achan sempat memergoki salah satunya.

"Apa katamu, seorang pria berambut kuning?!" Kabar itu tentunya mengejutkan kakek Ito yang selama ini fokus perhatiannya selalu tertuju pada Achan yang berjalan di samping kanannya. Selang beberapa milidetik dari keterkejutannya itu, ekspresi kakek Ito berubah menjadi sangat khawatir. "Ini gawat!" Tanpa memedulikan Achan lagi, kakek Ito pergi begitu saja menuju rumah biru itu dengan tergesa-gesa.

Sementara Achan menghentikan langkahnya sebentar, menatap kakek Ito yang berlari. "Ada apa dengan orang tua itu?!" Area perumahan di sekitar sini terkesan sepi, tidak ada orang lewat, membuat Achan menghentikan aktingnya, yang mana harus bertingkah sopan, memanggil kakek Ito sebagai kakek. "Padahal maksudku menyuruhnya cepat pulang mungkin saja pria berambut kuning itu seorang tamu! Bagaimana itu malah membuatnya khawatir?!" Achan bertanya kepada dirinya sendiri mengenai emosi kakek Ito yang berubah secara tiba-tiba, dan mengingat kembali ekspresi khawatir yang diperlihatkan kakek Ito, sepertinya itu bukan sesuatu yang baik. "Kalau benar buruk, setidaknya aku harus menolongnya sebagai ucapan terima kasih atas kebaikan Kakek Ito!" Selesai berbicara, Achan berlari menyusul Kakek Ito yang telah dari tadi masuk ke dalam rumah.