Berawal dari kisah rumah tangga yang mulanya harmonis, kini menjadi kacau dan penuh dengan air mata didalamnya. Karena Aaron yang biasanya bersikap romantis menjadi ringan tangan dan suka membentak istrinya yang bernama Vania.
Tepatnya satu tahun yang lalu kala kelakuan buruk Aaron ketahuan oleh istrinya. "Mas kirim sepuluh juta iya, buat biaya sekolah anak-anak." sebuah pesan masuk di ponsel suaminya.
Vania yang mendengar bunyi notifikasi sebuah pesan masuk, entah kenapa hatinya di gerakkan untuk membuka ponsel suaminya.
Sebenarnya ponsel suaminya ini di sandi, tetapi sebelumnya Vania telah mencuri lihat, kala sedang berdua dengan suaminya saja.
Awalnya Vania juga tidak begitu peduli dengan apa yang dilakukan suaminya, bukan karena apa, tapi karena dia lebih mempercayai suaminya.
Dia percaya jika suaminya sering pulang telat dengan berasalan lembur kerja, kadang kalau weekend malah pergi juga, alasan mau ada kerjaan diluar kota, dan masih banyak lagi alasan-alasan itu berucap dari pria yang tujuh tahun ini telah menjadi pasangan hidupnya.
Ingatan Vania begitu melihat sebuah pesan masuk di ponsel genggam suaminya terus berputar ke belakang, bagai kaset rusak yang tidak mau ia ingat, tapi tetap saja tiba-tiba muncul bersarang dan menguasai seluruh hati dan pikirannya.
"Apa maksudnya dari pesan ini." gumam Vania pelan, tak terasa buliran air mata telah menguasai pipi halusnya. Tangannya bergetar, namun ia menguatkan hati dan juga pikirannya.
Vania mengembalikan lagi ponsel suaminya ke tempat semula, dan ia kembali membereskan kamar tidurnya yang berantakan. Tetapi sebelum meletakkan ponsel genggam suaminya, pesan tadi sudah lebih dulu ia hapus.
Ia berpura-pura sibuk, "Mana baju gantiku?" bentak Aaron yang tak menemukan baju ganti di tempat biasanya yang ia sediakan.
"Maaf mas aku lupa, tunggu sebentar aku ambilkan." Vania berlari tergopoh menuju lemari, dimana baju ganti suaminya ia simpan rapi disana.
"Apa mas nanti pulang malam lagi?" tanya Vania hati-hati, sambil meletakkan baju ganti untuk dinas ke kantor.
"Lihat saja nanti, aku akan mengabarimu lagi."
"Baiklah, nanti setelah selesai mas bisa sarapan dulu, sudah aku siapkan sarapannya diatas meja."
Aaron tak menjawab suara istrinya, melainkan menyelesaikan menggunakan pakaian gantinya, laku keluar dari kamar dengan tergesa.
"Aku tak ada waktu buat sarapan dirumah, nanti saja aku akan sarapan di kantor."
"Tapi mas, apa aku bawakan bekal saja buat mas?"
"Aku sudah terlambat Vania, kamu mengerti bahasa manusia tidak." bentak Aaron pada Vania lagi.
Vania terdiam ditempatnya berdiri,selama dua tahun terakhir ini suaminya sering membentaknya dan memarahinya, bahkan tak segan-segan turun tangan hingga meninggalkan beberapa luka pada tubuhnya.
"Sebenarnya apa salahku mas, kenapa kamu begitu kejam padaku." Vania bergumam ditempatnya, masih belum beranjak.
Melihat kepergian suaminya yang hanya ia lihat dari balik kaca di dalam rumah.
"Kau tak boleh cengeng Vania, kamu harus kuat, " menyemangati dirinya sendiri. Lalu meneruskan beres-beres rumahnya.
Iya selama ini Aaron tak memperkerjakan pembantunya, supaya hidup mereka berhemat, karena pada saat itu usaha Aaron masih dalam tahap merintis, tapi malah keterusan hingga sekarang.
Vania yang statusnya hanya ibu rumah tangga, mengurusi dirinya dan segala keperluannya.
Semua Vania lakukan, agar usaha suaminya itu tidak mengalami hambatan dalam hal materil, tetapi kini apa, malah dirinya menjadi seperti seorang pembantu.
"Apa karena wajahku sudah tak cantik lagi," meraba wajahnya sendiri, duduk didepan cermin dan menyisir rambutnya.
Baiklah jika itu yang kau inginkan, Vania berganti pakaian, bercermin sebentar untuk menyisir rambutnya dan terakhir menyambar tasnya.
Dengan pesan taksi online, dirinya pergi ke salon.
"Ada yang bisa saya bantu bu?" tanya pegawai salon itu ramah.
"Ehmm itu mbk, saya mau melakukan perawatan seluruh tubuh saya."
Hari ini dirinya tak berniat memasak, dirinya mempercantik diri di salon hampir seharian. Pulang saat larut malam.
Seperti biasanya, menanyakan kabar pada suaminya lewat pesan singkat. Tapi tak dibalas. Jangankan dibalas. Bahkan dibuka saja tidak.
"Sabarlah Vania, perjalanan hidupmu masih panjang." menggenggam ponselnya sendiri dan berjalan mondar mandir di dalam kamarnya.
Jam delapan, jam sembilan, hingga jam menunjukkan waktu tengah malam hingga dirinya ketiduran di sofa ruang tamu. Tapi suaminya ini tak kunjung pulang juga.
***
"Sayang, kenapa aku mintak di transfer kok tidak kamu transfer juga?"
"Memangnya ada kamu kirim pesan, atau hubungi saya?" tanya Aaron pada wanita yang kini menjadi istri sirinya ini.
"Tadi padi aku kirim pesan ke kamu loh mas, masak tidak tahu sih?"
"Hemm benarkah?"
"Iya, bahkan sepertinya sudah kamu baca."
"Coba mana sini ponsel kamu?"
Mencari benda yang bentuknya persegi itu, Aaron menyerahkan pada Tina dalam dekapannya ini, yang beberapa jam lalu habis bertempur dalam dalam indahnya lautan cinta.
"Kok tidak ada sih mas, perasaan tadi ada kamu baca deh." gumamnya nampak kesal.
"Sudahlah, tidurlah besuk saja aku transfer."
Aaron mulai memejamkan matanya, sedangkan Tina mulai berfikir, apa iya sahabatnya itu sudah tahu siapa yang menjadi simpanan suaminya ini.
"Dia tak akan pernah lepas dariku Vania, tak akan."
"Hah, berguna juga ilmu yang diajarkan oleh mbh Joyo itu." dalam hati Tina bersorak senang. Seolah dialah pemenangnya dalam sebuah kompetisi ini.
"Aku harus menyingkirkan wanita mandul itu secepatnya." Tina dalam hati berniat tak baik.
***
.
Pagi hari menjelang, Aaron bangun lebih lebih dulu, ini masih jam empat pagi, sehingga suasana pagi masih sepi, bahkan jalanan kota juga masih sepi, kalau pun ada juga ramai pedagang pasar bungkaran dan juga pedagang sarapan di pinggir-pinggir jalan.
Ketika dirinya sadar, Aaron membuka matanya perlahan. Menyingkirkan tangan yang melilit di pinggangnya, dan turun dari ranjang untuk mengenakan kembali pakaiannya.
Akibat semalam habis bertempur tak mengenal lelah dan waktu. Lalu bergegas keluar rumah dan pulang, muka bantalnya juga masih sangat kelihatan di wajah Aaron.
Aaron mengendarai mobilnya sendiri, dan pulang ke rumah yang ia tinggali bersama Vania. Lalu memarkirkan mobilnya dan berjalan memasuki rumahnya perlahan, untung saja Vania masih terlelap dalam tidurnya, tapi ia hanya melihatnya sekilas.
Lalu meneruskan jalannya menuju ruang kerja dan merebahkan tubuhnya disana. Melanjutkan tidurnya kembali, bahkan tak berniat menyapa Vania yang sudah menunggu kepulangannya sejak semalam.
Hingga jam menunjukkan pukul setengah enam, kali ini tak ada sarapan spesial lagi yang Vania siapkan, percuma saja toh jika dirinya memasak dengan susah payah tapi malah tak pernah dilihat lagi.
"Aku ketiduran disini."
"Apa mas Aaron tak pulang ya." Vania berjalan memasuki kamarnya, tak ada tanda-tanda kehidupan disana, lalu pergi ke kamar mandi membersihkan dirinya, dan setelahnya seperti rutinitas biasa yang ia lakukan sehari-hari.
Ketika sedang berjalan sehabis menyiram tanaman, dirinya begitu terkejut kala melihat suaminya yang berjalan ke arahnya.
"Kenapa kau tak membangunkanku?"
"Mas ..., aku tak tahu jika kamu pulang."
"Kau sengaja tak membangunkanku, supaya aku terlambat masuk kantor." bentaknya pagi itu.
"Bu ... bukkan seperti itu mas, aku tak tahu pulangnya mas, aku kira semalam tak pulang." belanya.
"Sudahlah aku pergi dulu." Aaron yang sudah rapi dengan setelan kerjanya, keluar rumah. Ketika menutup pintu ia membantingnya dengan keras. Hingga menimbulkan bunyi yang membuat Vania terlonjak kaget dibuatnya.
dan
bersambung