Chereads / Miss Independent VS Mr. Pengangguran / Chapter 9 - 9. Bukan Pasal 13

Chapter 9 - 9. Bukan Pasal 13

"Permisi Mbak Shayna. Ini saya, Abi. Maaf mengganggu waktunya. Di luar ada tamu yang tak diundang."

Sisa lima belas menit lagi sampai waktunya makan siang. Dan Shayna masih saja sibuk dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya. Duduk di kursinya sampai pinggang berkoyo, mengenakan kacamata untuk memperjelas tulisan di laptop yang tentunya lama kelamaan tak nyaman digunakan dan membuat mata berkunang-kunang, serta otak yang diperas habis-habisan dan di tuntut untuk detail.

Saking sibuknya Shayna saat ini, dia sampai tidak sadar dengan kedatangan sekretarisnya, Abi. Padahal, Abi sudah berkali-kali memanggil namanya dan duduk di depan Shayna hampir delapan menit.

"Mbak Shayna?" merasa bosnya tidak menjawab, Abi mengeraskan suaranya.

Kali ini, Shayna mendengarnya. Dia langsung menurunkan jemarinya dari keyboard laptop, memutar kursinya menghadap Abi. "Kenapa Abi? Sorry, tadi Mbak sibuk banget sampai gak sadar ada kamu." Shayna meminta maaf.

Abi tentunya memaklumi hal itu. "Ada tamu yang gak diundang, Mbak." Abi mengulang ucapannya.

Merasa lucu, Shayna nyeletuk. "Jelangkung?"

"Bukan, Mbak. Ya masa roh halus kalau mau masuk pakai izin segala." Jawab Abi.

"Terus siapa dong?"

"Sagara, suami Mbak." Jawab Abi.

Mengetahui Sagara yang datang, Shayna merubah raut wajahnya. Dia sedikit kaget. "Mas Sagara? Ada di sini? Ngapain?"

"Ketemu Mbak lah. Ya masa mau ketemu sama Abi." Abi menjawabnya asal.

"Ya udah, suruh masuk aja. Kebetulan bentar lagi juga makan siang. Kamu boleh pergi buat makan siang, Abi." Kata Shayna.

Abi tersenyum, berpamitan dan segera keluar dari ruangan.

Tak berapa lama setelah Abi keluar dari pintu tersebut, seseorang masuk melalui pintu yang sama. Itu adalah Sagara, suami bebannya.

"Lama banget sih Ay! Abi bilangin tuh biar gak ngatur-ngatur. Masa gue mau masuk di suruh laporan sama dia dan semacamnya dulu?!" baru beberapa langkah memasuki ruangan Shayna, Sagara sudah mengoceh sepanjang jalan tol tanpa hambatan.

Sagara duduk di hadapan Shayna, mengangkat kedua kakinya dan dia letakkan di atas meja kerja Shayna. "Besok-besok kalau gue kesini, gue gak mau kalau harus lapor ke Abi dulu. Gue mau langsung masuk aja!" dia masih menggerutu.

Sudah pusing dengan pekerjaan, sekarang pusing dengan ocehan suaminya. "Iya-iya… lo boleh masuk sesuka hati ke ruangan gue, ganggu gue yang lagi kerja juga boleh. Yang penting lo gak banyak omong sampai bikin gue sakit kepala. Ngerti?!"

"Lo sakit kepala bukan karena gue ya. Dari kemarin juga lo udah sakit kepala. Tiap hari yang lo minta cuman obat sakit kepala."

Shayna menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kerja, mengangkat kepalanya untuk menatap sang suami. "Gue sakit kepala kayak gini semenjak nikah sama lo, Mas Sagara." Shayna berusaha sebisa mungkin menahan rasa kesalnya.

Ingin marah, namun Shayna sadar dia adalah seorang istri yang seharusnya berbakti pada suami.

"Ya berarti lo harus tahan sakit kepala lo sampai kakek gue udah gak ada." Sagara berbicara dengan entengnya.

"Kakek gue juga."

"Lo cucu palsu jangan banyak bacot!"

Suaminya berbicara tentang kematian terlalu santai. Seolah Sagara tidak akan tersakiti karenanya. Padahal, Shayna tau pasti Sagara lah yang paling terluka jika Kakek Dome meninggal. Bukan tanpa alasan tentunya.

Kedua orang tua Sagara dahulu menikah saat usia mereka masih cukup muda. Usia mereka saat itu adalah dua puluh tahun. Dimana mereka masih sama-sama berkuliah. Dan satu tahun setelahnya, Sagara lahir.

Jadi, orang tua Sagara menitipkan putranya pada Kakek Dome, membiarkan Kakek Dome yang merawatnya. Setidaknya sampai Sagara berusia lima tahun. Bahkan, setelah itu pun mereka masih sering menitipkan Sagara pada kakeknya. Dari sini, sudah jelas Sagara sangat dekat dengan kakeknya.

"Maksud lo sampai Kakek gak ada?" Shayna tidak mengerti.

Sagara mendorong kursinya, mendekat kearah sang istri. Dia meletakkan sebuah berkas ke atas laptop Shayna. "Kontrak pernikahan kita. Sesuai kesepakatan, kita bakal cerai kalau Kakek meninggal dunia." Katanya memberitahu.

Shayna meraih berkas tersebut, melirik Sagara. "Kontrak pernikahan?" dia kebingungan dengan kontrak pernikahan ini. Karena seharusnya Shayna lah yang memberikan kontrak ini pada Sagara mengingat dia yang membuatnya. Entah bagaimana Sagara bisa mendapatkan kontrak itu.

Seolah tau apa yang ada di pikiran Shayna, Sagara tiba-tiba saja menyeletuk. "Gue buka laptop lo buat main game, ternyata lo masih buka itu. Jadi, gue baca dan gue ubah dikit. Dan karena gue lagi habut, jadi gue print deh."

"Lo ubah kontrak pernikahan kita?" Tanya Shayna.

Sagara mengangguk kecil, menopangkan kepalanya di pundak Shayna. Dia laki-laki tak bertulang belakang. Suka sekali bersandar manja.

"Dikit doang, di pasal tiga belas. Gue cuman nambah kalau misalkan lo hamil di saat kita seharusnya bercerai, maka perceraian kita harus ditunda dan hak asuh anak jatuh ke tangan bersama." Jelas Sagara.

Shayna melirik pasal tiga belas dan menelitinya. "Jadi, lo kesini cuman mau nyuruh gue tanda tangan ini?" tanya Shayna.

Sagara kali ini menggelengkan kepalanya. "Gue mau ngajak lo makan siang bareng."

"Tumben."

"Karena gue lagi baik dan… gak punya duit."

Shayna pikir Sagara ingin menjelma sebagai suami romantic yang tahu istrinya sedang jenuh bekerja jadi berusaha untuk menghiburnya. Ternyata, Sagara salah. Berharap pada Sagara adalah sesuatu yang tidak seharusnya dia lakukan. Karena hasilnya sia-sia.

"Sialan lo ya. Gue kirain karena lo tau kalau gue lagi jenuh sama kerjaan gue. Ternyata cuman karena lo gak punya duit." Shayna mencebikkan bibirnya, setengah menunduk untuk melihat wajah sang suami.

"Ya anggap aja sekalian lo jalan-jalan, refreshing. Habis makan kita ke kedai coffee, ngopi." Katanya.

Shayna menarik nafas panjang. "Gue gak suka kopi dan gak bisa minum kopi." Katanya.

Sagara langsung terdiam. "Oh… lo gak suka kopi ternyata."

"Seriously?! Lo gak tau kalau gue gak suka kopi?" Shayna pikir, hidup lama dengan Sagara membuat mereka mengenal dekat satu sama lain. Faktanya tidak seperti itu. Karena Sagara bahkan tidak tahu jika Shayna tidak bisa minum kopi.

"Tau lah… gue cuman bercanda." Sagara berdalih.

Shayna tau suaminya sedang berbohong.

"Kalau gitu pulangnya kita beli es krim gimana? Lo suka yang manis-manis." Sagara kembali mencoba membujuk istrinya.

Sayangnya, usaha Sagara gagal. Karena lagi-lagi pria itu salah besar tentang Shayna. "Gue juga gak suka yang manis-manis. Bahkan gue terakhir minum es krim pas umur lima tahun."

Oke, Sagara menyerah sekarang. "Seenggaknya gue tau lo gak suka coklat."

"Yang satu itu bener." Kata Shayna.

Sagara tersenyum hangat, mengacak rambut istrinya. "Makan siang sekarang ayok! Gue udah laper. Cepetan tanda tangani kontrak pernikahan kita habis itu kita langsung pergi."

"Sabar, gue baca dulu kontraknya." Shayna memiliki kebiasaan yang satu ini. Membaca setiap hal yang akan dia tandatangani.

Sagara yang terlampau lapar berdecak. "Ngapain pakai dibaca?! Lagian lo juga yang bikin. Ayo, Ay!"

Shayna menyerah. Dia langsung menandatanganinya dan meraih blazernya, mengikuti Sagara yang sudah menenteng kontrak pernikahan mereka.

Satu hal yang tidak Shayna ketahui. Sagara menambahkan sesuatu dalam kontrak itu. Yang jelas bukan pada pasal 13.