"Lo sering bohong gitu?" manik mata ambernya menatap fokus pada jalanan kota. Jika saat berangkat Sagara yang menyetir, pulangnya giliran Shayna yang menyetir.
Sagara tau apa yang sedang Shayna bahas. Apa lagi jika bukan tentang dirinya yang berbohong bekerja di perusahaan Kakeknya, meneruskan bisnis keluarga. Padahal, itu adalah pekerjaan Shayna. Bukan pekerjaannya. Karena pekerjaan dia selama ini hanya bersenang-senang dan menghabiskan uang.
"Lumayan sering. Kenapa? Lo keberatan?" Sagara membalas dengan cukup sinis.
Jika ditanya tentang keberatan atau tidaknya, Shayna sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Lebih tepatnya, dia belum memiliki jawaban tentang itu. Pikirannya kelabu. Di satu sisi, dia merasa cukup keberatan. Tetapi, di sisi lain, Sagara berhak atas kebohongan itu. Karena faktanya, Kakek Dome pada akhirnya akan memberikan posisi Shayna saat Sagara mau dan siap. Yang mana, sejak awal posisi Shayna sebenarnya milik Sagara. Shayna hanya meminjamnya sebentar.
"Gak keberatan. Cuman gue heran aja… kalau bisa lo wujudin, kenapa harus bohong? Lagian kalau kebanyakan bohong nantinya lo yang bakal capek sendiri. Karena setiap kebohongan harus di timpa dengan kebohongan lainnya." Shayna melirik Sagara, menghentikan mobilnya di lampu merah.
Bisa Shayna lihat, Sagara tidak mendengarkannya. Bukan karena pria itu sedang bermain game. Tetapi, karena pria itu tampaknya tidak fokus. Manik mata coklatnya hanya tertuju pada Shayna, tampak… bergairah?
"Mas Saga? Lo dengerin gue 'kan?" Shayna memanggil nama pria itu..
Sagara berdehem, menjawab tanpa sadar. "Ay? Kawin yuk!"
"Hah?!" Shayna syok.
Melihat Shayna yang tampak kaget dan tidak mengerti, Sagara berdecak kesal. "Kawin yuk!"
"Apaan sih?! Lo lupa kita udah nikah minggu lalu?! Mau nikah lagi?!" Shayna menjalankan mobilnya saat lampu merah berubah menjadi hijau, pertanda kendaraan untuk jalan.
Ingin sekali Sagara mengatai Shayna bodoh. Sepertinya, pintar dalam berbisnis dan akademik membuat seseorang menjadi sedikit lemot. Sinyal Shayna sepertinya masih 3G. Dia selalu tidak paham dengan apa yang Sagara katakan. Dan itu berhasil menguras emosi Sagara. Untung saja Shayna cantik. Sangat cantik.
Saking cantiknya gadis bersurai ikal berwarna rose tersebut, Sagara sampai mematung dengan mulut terbuka. Dia mengagumi kecantikan Shayna yang tak tertandingi. Entahlah, selama ini tak pernah dia bertemu dengan perempuan yang lebih cantik dari Shayna. Bahkan, mantan kekasih tercinta Sagara saja kalah cantik.
"Ay, lo sadar gak sih kalau hari ini lo cantik banget? Jujur, gue terpesona dan… horny." Mulut Sagara ini memang tidak ada saringannya. Berbicara tentang horny bisa-bisanya semudah itu seolah ini adalah hal yang lazim untuk dibicarakan.
Padahal, yang berbicara seperti itu adalah suaminya. Seseorang yang tentunya memiliki hak penuh pada tubuh Shayna. Tetapi, entah bagaimana… dia merasa seperti sedang digoda oleh orang asing. Dia merasa seperti baru saja mendapat tindak pelecehan.
Sungguh, Shayna mulai lelah dengan tingkah suaminya. "Mas Saga, lo muji gue gini bukannya ngerasa baper, gue malah ngeri kayak digodain om-om." Katanya.
Sagara terkekeh, menopang wajahnya menggunakan tangan. "Nah 'kan? Gue lihat dari sini tambah cantik. Dari sini…" dia semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Shayna. "Juga cantik." Katanya semakin menggoda Shayna.
Shayna menghentikan mobilnya karena kebetulan sampai di tempat makan, memutar kepalanya untuk menatap sang suami. "Jangan terlalu manis gini di awal. Gue takut akhirnya lo bakal pait banget. Soalnya lo kayak kopi hitam yang ada ampasnya. Pas gue minum awal-awal, rasa pahitnya gak seberapa. Tapi pas di akhiran… rasa pahitnya sampai bikin lidah mati rasa." Shayna melepas sabuk pengamannya, keluar dari mobil meninggalkan Sagara seorang diri.
"Sayangnya emang itu niat gue, Ay. Bikin lo jatuh cinta, terus akhirnya… boom! Bye-bye Shayna Majendra."
***
***
"Mas Saga?! Hellaw… Mas Saga?!" keluar dari kamarnya, Shayna tidak bisa menemukan Sagara dimanapun. Biasanya, pria itu duduk di balkon atau di ruang keluarga untuk bermain game. Tetapi, kali ini batang hidungnya tak terlihat. Bahkan, aroma maskulinnya yang khas juga tidak tercium oleh Shayna. Entah kemana perginya pria itu.
Menyerah mencari sang suami, Shayna akhirnya memilih untuk duduk di ruang keluarga yang masih belum sepenuhnya tertata. Ada banyak barang yang belum sempat Shayna keluarkan dari dus dan dia tata. Seminggu ini, jadwal Shayna sedang sibuk-sibuknya karena kedatangan investor asal Jepang yang sangat rumit. Banyak ritual untuk menyambutnya.
Dengan laptop di pahanya, Shayna kembali mengecek beberapa laporan dan kontrak kerja yang belum sempat dia cek pagi tadi. Hingga akhirnya, waktu terus berjalan, jam terus berdetak, berbunyi di tengah lengang nya ruangan.
Hanya suara keyboard dan jarum jam yang terdengar.
Detik berubah menjadi menit, dan menit berubah menjadi jam. Hingga pukul sepuluh malam, Sagara belum menunjukkan batang hidungnya. Padahal, dua jam sudah berlalu. Sampai-sampai, posisi Shayna yang awalnya duduk sudah berubah menjadi berbaring manja.
"Ih, kemana sih itu manusia?! Keluar rumah gak pakai izin, dihubungin gak bisa. Mana hujan juga. Sok-sok an banget dia keluar ujan-ujan gini. Udah tau takut petir sama gelap." Shayna mengoceh, mengkhawatirkan Sagara.
Bukan masalah nanti Sagara kenapa-napa. Masalahnya, jika Sagara sakit, Shayna juga yang repot.
Hingga akhirnya, lima belas menit berlalu, seseorang yang Shayna tunggu-tunggu datang juga. Sagara baru pulang dengan jalan yang sempoyongan.
"Mas Saga, lo mabuk?" Shayna langsung menghampiri suaminya, membantu Sagara untuk duduk.
"Ay… Ay… Aynaaaaaa!" Sagara meracau. Dia tidak sepenuhnya mabuk. Masih ada sedikit kesadaran yang tersisa.
"Ay, ayo sholat." Emang dasar pria itu. Ngelantur sekali.
"Gue udah sholat. Lo belum?" jawab Shayna, menanggapi ocehan sang suami. Meski Sagara terlihat seperti berandalan yang tidak berguna, nyatanya dia rajin sholat. Bahkan, sholatnya lebih khusyuk daripada Shayna. Karena, Sagara terbilang sering sholat tahajud dan menangis di sujudnya. Beberapa kali Shayna memergoki hal itu.
Sagara meletakkan kepalanya di pundak Shayna, mendusel manja di sana. "Gue belum sholat. Ngantuk, tapi belum taubat. Takut ntar mati pas tidur." Katanya dengan bibir mengerucut lucu.
"Makannya gak usah pake acara mabuk segala. Tunggu tenang dan pengaruh alkoholnya hilang, habis itu mandi, wudhu, sholat. Heran gue, rajin sholat tapi mabuknya rajin juga." Shayna menjitak kepala Sagara tanpa sungkan. Lagipula tidak sekencang itu.
Dengan keadaan yang setengah sadar, Sagara mengangkat kepalanya, menatap netra amber milik Shayna. "Ay… kenapa sih lo harus dari marga Majendra?"
"Hm? Ya mau gimana lagi. Nasib gue terlahir di marga Majendra." Jawab Shayna.
Bibir Sagara semakin mengerucut. "Ay, lo cantik."
"Iya, gue tau."
"Kawin yuk?!" ajakan sesat ini tampaknya masih saja meneror Shayna.
"Kita udah nikah sejak seminggu yang lalu, Mas Sagara." Balas Shayna sinis.
Sagara menggeleng kuat, kesal. "Kawin Ay, bukan nikah."
"Emang beda?"
"Beda. Kalau kawin itu bikin keturunan."
Spontan, Shayna memukul lengan Sagara yang tersaji di depannya. "Heh! Gila lo ya?!"
"Gue gila juga gara-gara lo. Makannya jangan terlalu cantik sampai bikin bawah gue nyut-nyutan."