"Ada sesuatu yang bikin aku nggak bisa lanjut di pesantren sana. Aku mau pindah sekolah di sini aja, Bun," tutur Laksmana.
"Sesuatu? Kenapa? Apa kamu terlibat masalah di sana?" Maesaroh mencecar Laksmana dengan pertanyaan.
Laksmana terdiam sesaat sebelum berujar.
"Aku nggak bisa bilang, Bun. Yang pasti, aku nggak bisa balik ke pesantren." Usai berkata, Laksmana bergegas pergi tanpa mempedulikan panggilan sang ibu.
"Kamu kenapa, sih, Nak? Tiba-tiba minta pindah sekolah," ucap Maesaroh menggelengkan kepala.
Wanita itu tak mengerti apa yang telah terjadi pada anak lelaki kesayangannya di pesantren sana. Selama Laksmana berada di pesantren, belum pernah ada keluhan dari pemuda itu, atau pun pemberitahuan tentang pelanggaran yang dilakukan oleh sang anak, dari pihak pesantren.
Maesaroh jadi penasaran, ada apa sebenarnya. Apa yang membuatnya tiba-tiba ingin pindah sekolah?
***
Laksmana merebahkan tubuhnya di atas kasur, dan menggunakan lengannya sebagai bantal. Dia tak tahu, bagaimana cara untuk mengatakan kepada ibunya tentang masalah yang dia alami di pesantren.
Di desa, dia pun tak memiliki teman atau sahabat yang bisa dijadikan tempat untuk berbagi cerita. Yang dia kenal hanyalah Mira dan kedua temannya, yang usianya dua tahun di bawah Laksmana.
"Apa terus terang aja sama Bunda, ya?" pikir Laksmana. Namun, kemudian dia menggeleng.
"Nggak! Aku takut Bunda jadi marah dan mendatangi pesantren," lanjutnya.
Laksmana sangat yakin, jika ibunya tahu apa yang sebenarnya terjadi, pasti takkan dibiarkan begitu saja. Akhirnya, dia memutuskan untuk diam. Biarlah masalah di pesantren, tetap dia tutup rapat dan disimpan jauh di dalam hati.
***
Mira sedang duduk di tepi lapangan basket saat Santi dan Tika datang. Gadis urakan itu memandangi langit yang tampak biru cerah. Tak ada gumpalan awan hitam yang menghalangi warna biru cerah itu. Melihatnya, mengingatkan Mira pada rumah Laksmana yang megah.
Pikiran Mira melayang, memikirkan saat dia berada di rumah megah bercat biru cerah. Ada perasaan damai ketika gadis itu mendengarkan lantunan ayat suci oleh Laksmana saat mengimami salat berjamaah di rumahnya tempo hari.
Perasaan damai seperti itu belum pernah Mira rasakan sebelumnya. Di rumah, gadis itu hanya menemukan suasana yang sangat menyebalkan. Pertengkaran, umpatan, bunyi barang pecah, dan sumpah serapah.
Rumah bercat biru cerah itu terasa nyaman, damai, tenteram, sangat jauh berbeda dengan rumah Mira yang panas bak neraka. Hanya ada kebencian dan amarah. Terlebih, jika bapaknya yang kasar itu sedang menganggur. Mira tak akan pernah mau berdiam diri di rumah dan menyaksikan lelaki itu mabuk dan selalu meracau tak jelas dengan kata-kata yang kasar.
"Mir! Elu dipanggil Bu Ayang, tuh." Santi menepuk pundak Mira, membuat gadis itu terlonjak.
"Heh! Ngagetin aja." Mira melotot, kesal karena Santi mengganggu angan-angan indahnya.
"Buruan! Bu Ayang ntar keburu marah," ucap Santi, tak kalah sewot.
Mira mendengkus, lalu bergegas menuju ke ruang Kepala Sekolah. Dalam hati, gadis pembuat onar itu bertanya-tanya, mengapa Bu Ayang memanggilnya? Dia yakin tak melakukan kesalahan. Belum. Mira sedang fokus memikirkan Laksmana, sehingga tak ada waktu untuk membuat keributan.
Sesampainya di depan ruang Kepala Sekolah, Mira mengetuk pintu yang telah terbuka lebar.
"Masuk!" seru Kepala Sekolah tanpa menoleh sedikit pun.
Dengan santai, Mira langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan Bu Ayang.
"Ayem kaming, Bu. Kata Santi, Ibu panggil saya? Apakah saya mau dapat beasiswa?" kata Mira, kepedean.
Bu Ayang menatap Mira sekilas, lalu kembali fokus pada kertas-kertas di mejanya. Dia sudah tidak heran dengan sikap muridnya yang satu itu.
"Tunggu sebentar. Saya selesaikan dulu tanda tangan kertas-kertas ini," pinta Bu Ayang sembari terus membolak-balik kertas dan membubuhkan tanda tangannya.
"Widiiih! Ibu keren. Udah kaya artis aja, hehe," canda Mira, yang terdengar seperti ejekan di telinga Bu Ayang.
"Kamu tunggu dan diam. Nggak usah komentar sebelum saya tanya!" perintah Kepala Sekolah.
Mira pun langsung terdiam. Matanya menyisir seluruh isi ruangan yang bernuansa putih. Jemarinya mengetuk-ngetuk paha yang tertutup rok abu-abu. Gadis itu merasa bosan jika terus diam. Lama kelamaan, tak hanya jemari yang dia ketuk-ketukkan, tetapi sepatu pantofel hitam yang tampak kusam pun ikut berpartisipasi, hingga menimbulkan suara yang membuat Kepala Sekolah merasa terganggu.
"Saya bilang diam! Kenapa berisik?" tukas Bu Ayang, emosi.
"Eh, maaf, Bu. Bukan saya yang berisik, tapi sepatu, nih," ujar Mira, membela diri.
Kepala Sekolah menghentikan pekerjaannya yang hanya tinggal tiga lembar.
"Jadi, saya mau dikasih apa, Bu, dipanggil ke sini? tanya Mira, penasaran.
Bu Ayang menghela napas sejenak, lalu menyodorkan selembar kertas pada Mira.
"Perkemahan? Maksudnya apa, ya, Bu?" tanya Mira usai membaca isi kertas itu, tak mengerti.
"Kamu akan jadi pendamping di acara perkemahan anak-anak SMP Rawa-Rawa. Dua temanmu itu juga ikut. Mereka sudah saya kasih tahu."
"Tapi, Bu ... saya—" Belum selesai Mira berucap, Bu Ayang sudah membungkam mulut gadis itu dengan tatapan matanya yang tajam.
Dengan terpaksa, Mira mengemban tugas dari Kepala Sekolah untuk mendampingi para adik kelasnya di acara perkemahan.
Bu Ayang telah mempertimbangkan dengan matang. Tujuannya memberi Geng Mirasantika tugas itu adalah agar mereka bisa mengisi waktu liburan untuk hal yang berguna. Selain itu, Kepala Sekolah ingin agar Mira dan teman-temannya bisa belajar untuk lebih disiplin.
Mira keluar dari ruangan Kepala Sekolah dengan lesu. Gadis itu langsung menuju ke kelas karena bel tanda masuk telah berbunyi.
"Gue dari dulu selalu bolos acara Pramuka, kenapa sekarang malah disuruh jadi pendamping? Ish!" Mira bersungut-sungut di sepanjang koridor, menuju ke kelasnya.
Kelas satu akuntansi 2 dilewati Mira. Santi dan Tika berteriak, memanggil namanya saat melihat Mira melewati kelasnya.
"Miraaa! Woi! Mau ke mana, lu?"
Mira terhenyak. Gadis itu celingukan, mencari-cari sumber suara. Dilihatnya Santi dan Tika melambaikan tangan dari kelas yang dia lewati. Mira lalu membaca tulisan di samping pintu, yang ada di hadapannya.
"Kelas 1 Akuntansi 3? Kebablasan gue," gumam Mira sembari menepuk jidatnya sendiri.
Mira lekas berbalik arah. Dia mempercepat langkah saat melihat guru bahasa Inggris telah tampak dari ujung koridor.
"Untung duluan gue nyampe kelasnya. Fiuh!" Mira menghela napas lega setelah duduk di kursinya yang berada di barisan paling belakang.
Saat tiba waktunya pulang, Mira bergegas menuju ke rumah. Santi dan Tika merasa heran, tak biasanya Mira melewatkan jadwal nongkrong di warung dekat sekolah.
"Mir ... elu salah jalan!" seru Santi.
"Tempat hangout kita di sini!" Tika menimpali.
Mira tak acuh. Dia ingin segera sampai di rumah untuk rebahan. Langkahnya dipercepat agar lekas tiba. Namun, di pos ronda gadis itu berhenti. Dilihatnya Laksmana yang sedang duduk termenung, sendirian.
Gadis itu berbalik arah, menghampiri pos ronda. Dia lantas duduk di sisi kanan Laksmana, dengan jarak satu meter.
"Mas Laksmana lagi ngapain?" tanya Mira.