[Mas Tarzan lagi apa? Apakah angin menyampaikan salam rindu Ijah padamu?]
Ijah, asisten rumah tangga Eliza yang tergila-gila pada Tarjo itupun mengirimi chat. Ia pun mengirim foto pernikahan Eliza dan Mihran itu dan berharap saat Ijah dan Tarjo menikah, akan seperti majikannya.
Ketika Tarjo membuka gambar yang dikirim Ijah, di layar ponsel begitu jelas terpampang foto pernikahannya dengan Eliza. Karena terkejut, ponsel Tarjo itupun terjatuh ke lantai.
"Tarjo, ada apa sih? Kamu diteror sama Ijah?" tanya Ani ketika datang saat mendengar teriakan Tarjo. Tarjo pun tidak berkata apapun, ia hanya menunjuk ke arah ponselnya yang terjatuh ke lantai.
"Astagfirullah. Pak Mihran menikah dengan Bu Eliza?" ucap Ani yang syok melihat foto pernikahan majikannya itu.
Di ruang makan, Amaliya sedang menikmati sarapannya bersama Alia. Sejak Mihran menikah lagi, ia harus rela berbagi waktu dengan Eliza.
"Semalam Mihran enggak pulang. Pasti selama mereka ...." batin Amaliya.
Amaliya yang sedang sibuk dengan pikirannya tidak menyadari pagi itu Mihran datang untuk menemani anak dan istrinya sarapan.
"Hai, Sayang," sapa Mihran. Alia pun langsung berlari memeluk Ayahnya. Amaliya cuek dan tetap melanjutkan sarapannya.
Alia pun mengajak Ayahnya itu ke meja makan. Sikap dingin Amaliya membuat Mihran berpikir jika Amaliya belum ikhlas melepaskan ia menikah lagi.
"Biar bagaimanapun Amaliya belum siap menghadapi kenyataan jika sekarang aku harus berbagi waktu dengan Eliza," batin Mihran.
"Kalau Amel hamil lagi, itu bisa memperbaiki hubunganku dengannya. Juga mengurangi kesedihannya atas kehilangan anak kami," gumam Mihran dalam hati.
Saat Amaliya hendak berangkat ke butiknya, Mihran pun berusaha sekuat tenaga agar istrinya itu mau ke dokter dalam rangka program hamil yang sudah direncanakannya. Dengan bantuan Alia, hati Amaliya pun luluh.
-------
"Bagaimana?" tanya Mihran sesaat setelah Amaliya diperiksa.
"Ada sedikit masalah hingga Bu Amaliya sulit dibuahi," ungkap sang dokter membuat mental Amaliya terpuruk. Tapi, tidak bagi Mihran.
"Tapi istri saya masih bisa hamil kan, Dok?" tanya Mihran lagi.
"Kalau mau, kita bisa menempuh opsi bayi tabung. Cara itu bisa memperbesar kemungkinan untuk hamil. Tapi, tidak ada jaminan 100 persen," terang sang dokter.
Dokter pun menjelaskan seberapa besar kemungkinan Amaliya hamil dengan menjalani program bayi tabung. Di usia yang sudah lebih dari 30 tahun, memang sangat kecil.
"Itu hanya hitungan angka. Kembali lagi semua Allah yang tentukan," ujar sang dokter memberi keduanya itu semangat.
Amaliya yang kecewa pun langsung memutuskan keluar. Mihran pun. mengejarnya.
"Mel, Amaliya, tunggu dulu," cegah Mihran.
"Mel, tunggu!"
"Kamu dengar kan, Mihran. Kamu yang bermasalah, bukan kamu!" gertak Amaliya.
"Selama ini aku yang menyalahkan kamu karena telah menghamili Eliza. Tapi, aku pikir wajar kamu sebagai laki-laki ingin memiliki seorang anak," lirih Amaliya menangis.
"Hush. Kamu jangan menyalahkan diri kamu, Amaliya. Kamu itu nggak salah. Apapun alasannya, aku tetap yang salah. Mel, lihat aku. Kita itu masih bisa punya anak. Kamu dengar sendiri kan apa kata dokter. Aku yakin, nanti kita bakal punya anak lagi," ujar Mihran agar istrinya itu kembali semangat.
"Kalau gagal?"
"Kamu itu belum juga mencoba udah berpikir gagal. Ingat, agama kita mengajarkan untuk berdoa dan berikhtiar. Kita lewati ini sama-sama ya. Aku janji kita akan bahagia. Aku, kamu dan calon anak kita," bujuk Mihran.
Ketika Mihran hendak memeluk Amaliya, ia menepisnya. Amaliya tidak bisa membohongi perasannya jika poligami yang dijalankan Mihran sungguh melukai hatinya. Amaliya pun memutuskan pergi meninggalkan Mihran.
------
Mihran dan Amaliya akhirnya menjalani proses bayi tabung. Mihran yakin jika program yang dijalaninya bersama Amaliya akan berhasil.
Hari ini, Mihran dan Amaliya kembali mendatangi rumah sakit untuk mengetahui hasil program bayi tabung. Berhasil ataukah gagal.
"Bagaimana dok hasilnya?" tanya Mihran.
"Maaf, Pak. Belum berhasil," jawab sang dokter.
Amaliya pun seketika melemah. Harapannya untuk memberikan anak pada sang suami pupus. Mihran yang menyadarinya pun langsung menggenggam tangan Amaliya untuk memberinya kekuatan.
"Kita bisa coba lagi. Karena dalam beberapa kasus, tidak sekali langsung berhasil," ucap sang dokter yang juga menyemangati Amaliya.
"Terimakasih, Dok. Dokter sudah banyak membantu saya. Sekarang saatnya saya menerima kenyataan," ujar Amaliya menahan tangisnya.
Amaliya pun langsung keluar dari ruang sang dokter. Mihran pun langsung berpamitan . Saat di luar ruangan, Amaliya dan Eliza bertabrakan. Eliza saat itu hendak memeriksakan kandungannya di dokter yang sama.
"Eh, Amaliya ...." sapa Eliza.
Amaliya pun menutupi kesedihannya. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan madunya itu dan langsung bergegas pergi.
"Loh, El, kamu kok di sini. Amaliya ke mana?" tanya Mihran.
"Dia ke sana. Tadi kayaknya sedih," sahut Eliza.
"Tadi aku telepon kamu nggak diangkat, jadi aku ke sini sendiri aja deh," ujar Eliza.
"Gimana ini? Aku sudah janji akan menemani Eliza tiap kali periksa. Tapi, Amaliya sedang terpukul," batin Mihran.
Seolah menyadari kebimbangan Mihran, Eliza pun memintanya untuk mengejar Amaliya uang dirasa lebih membutuhkan Mihran.
"Kamu kejar saja Amaliya. Aku bisa kok sendiri," ucap Eliza yang berusaha mengerti keadaan.
Mihran pun langsung berlari mengejar Amaliya. Beruntung dia belum jauh dan bisa dicegah oleh Mihran.
"Mel, Amaliya, tunggu!" cegah Mihran.
"Kita bisa berusaha lagi, Mel. Yang penting kamu jangan menyerah!" tegas Mihran.
"Aku sudah enggak mau berharap lagi, Mihran. Bahkan ketika aku berharap terlalu tinggi, saat jatuh itu justru akan semakin sakit," pekik Amaliya.
"Aku nggak bisa menghadapi kenyataan!" rintih Amaliya.
''Lebih baik kamu temani Eliza yang sedang mengandung anak kamu," gertak Amaliya yang langsung menaiki taksi yang berhenti di depannya.
"Mel, Amaliya ...."
Taksi yang dinaiki Amaliya pun langsung pergi meninggalkan pelataran rumah sakit. Mihran pun diam dan tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.
------
Eliza pun meminta Amaliya datang ke sebuah taman. Tempat di mana mereka biasa bertemu di saat sedang ada masalah. Eliza paham, Amaliya sedang butuh teman berbagi.
"Kamu beruntung Eliza, dapat menjadi seorang Ibu. Kamu jaga diri baik ya. Mihran sangat menginginkan bayi ini," ujar Amaliya sambil mengelus perut Eliza.
"Mel, tunggu!" cegah Eliza saat sahabatnya itu memilih pergi.
"Bayi ini juga anak kamu. Mihran pasti bahagia jika anaknya memiliki 2 Ibu. Bayi ini pasti senang memiliki Bunda yang cantik seperti kamu. Kamu mau kan menganggap dia dan menyayanginya seperti anak kamu sendiri," tanya Eliza.
"Kamu serius?" balas Amaliya.
Eliza pun mengangguk. Akhirnya kedua sahabat itu saling berpelukan erat seolah tidak pernah ada masalah di antara mereka. Namun, Eliza tiba-tiba merasakan sakit perut yang hebat. Amaliya pun panik karena khawatir terjadi sesuatu pada madunya itu.
"Kita ke rumah sakit sekarang," kata Amaliya yang langsung memapahnya berjalan menuju taksi yang berhenti tidak jauh dari tempatnya duduk.
Beberapa jam berlalu
Eliza akhirnya sudah selesai diperiksa dan Mihran dan Amaliya setia menemaninya.
"Bagaimana keadaannya dok?" tanya Mihran.
"Saya sudah cek obat yang dikonsumsi Ibu Eliza. Ternyata itu obat untuk menggugurkan kandungan. Itu sebabnya Ibu Eliza mengalami kejadian seperti ini,"terang sang dokter.
"Astagfirullahaladzhim."
"Pak Mihran, kita harus bicara," ujar sang dokter yang langsung meminta keluar. Mihran pun mengikutinya.
"Pak Mihran, akibat obat penggugur kandungan itu, sebagian tubuh Bu Eliza sudah teracuni. Saya khawatir dengan bayi yang dikandungnya," terang sang dokter.
"Tolong lakukan sesuatu dok untuk menyelamatkan anak saya," ujar Mihran memelas.
"Kita lihat dalam dua hari ini. Jika dia bisa melewatinya, maka bayi Bapak akan selamat. Namun, jika dia lemah, sebaiknya Bapak mengikhlaskannya," ujar sang dokter.
Setelah dokter kembali ke ruangannya, Mihran pun masuk kembali ke kamarnya dan memaki Eliza.
"Apa maksud kamu meminum obat penggugur kandungan itu," hardik Mihran.
"Mihran! Enggak mungkin Eliza sengaja mau membunuh anaknya sendiri," timpal Amaliya.
"Lebih nggak masuk akal lagi kalau itu karena salah minum obat, Mel," pekik Mihran.
"Ya Allah, apa anakku di dalam sudah meninggal? Walau Mama memiliki kamu dalam kondisi seperti ini, tapi Mama sudah terlanjur menyayangi kamu, Nak," batin Eliza. Ia pun memegangi perutnya dan berharap ada keajaiban.
------
Tanpa disadari, Malik sedang memperhatikan di balik jendela kamar Eliza. Ia pun kembali teringat saat hari itu Malik menukar obat yang diberikan sesuai resep dokter.
"Tanpa anak itu, tidak ada lagi alasan bagi Eliza dan Mihran mempertahankan rumah tangga mereka," gumam Malik tersenyum sinis.
Amaliya berusaha menenangkan suaminya. Ia yakin, Eliza tidak mungkin membunuh anaknya sendiri.
"Eliza itu nggak mungkin mau membunuh anaknya sendiri," bujuk Amaliya.
"Ayo, kamu minta maaf sama Eliza," ujar Amaliya agar kedua sahabatnya itu berbaikan.
"Mihran, buang dong ego kamu," tekan istri pertama Mihran itu.
Mihran tetap tidak perduli. Bahkan ia memalingkan wajahnya dari Eliza. Di luar ruangan, Malik tersenyum bahagia. Mihran pun menyadari kehadiran adik iparnya itu dan langsung berlari mengejarnya.
"Malik? Ngapain dia di sini? Kemarin dia sudah membuat laporan palsu. Apa jangan-jangan dia juga yang sudah menukar obat Eliza biar dia keguguran?" pikir Mihran.
"Mihran benar-benar tidak Sudi meminta maaf sama aku. Dia mengira aku mau membunuh anak yang ku kandung. Tega banget kamu, Mihran .... " batin Amaliya.
"Kamu yang sabar ya. Mihran itu emang protektif sama bayi yang ada di dalam kandungan kamu. Jadi kamu maklumi saja.Biar aku yang bicara sama Mihran ya," bujuk Amaliya agar Eliza tenang.
Mihran pun akhirnya berhasil mengejar Malik yang bergegas lari saat menyadari jika Mihran mengetahui kehadirannya.
"Eh! Lagi mantau hasil kerja lu ya!" pekik Mihran.
"Maksud lu apa ya?" sahut Malik yang seolah tidak tahu apapun.
Mihran yang emosi pun langsung mencengkram krah baju Malik dan menekannya agar mau mengakui semua perbuatannya yang menukar obat Eliza dengan obat penggugur kandungan.
"Ngaku aja lu kan yang menukar obat Eliza dengan obat penggugur kandungan. Iya kan?" cecar Mihran.
"Lu jangan asal tuduh ya. Gue ke sini habis nengok teman gue yang sakit," bantah Malik.
"Kalian apa-apaan sih!" bentak Amaliya merelai pertengkaran suami dan adiknya.
"Dia nih, Mel. Pasti dia yang membuat Eliza keguguran. Dia yang menukar obatnya Eliza," gertak Mihran. Amaliya pun menatap adiknya itu tajam penuh kecurigaan.
"Mas Mihran jangan asal tuduh kalau nggak ada bukti," dalih Malik. Mihran pun kembali tersulut emosi.
"Eh, ngaku nggak luh!" bentak Mihran yang kembali mencengkram krah baju Malik.
"Lu pikir gue satu-satunya orang yang tidak menginginkan bayi itu ada?" seru Malik ketus. Amaliya pun menatap adiknya sinis. Mihran pun jadi mencerna kata-kata adik iparnya itu.
"Enggak mungkin. Enggak mungkin Amaliya melakukan itu," batin Mihran.
Amaliya pun langsung menarik Malik menjauh dari Mihran.
"Apa maksud kamu bicara begitu? Kamu nuduh Kakak, Hah?!" pekik Amaliya.
"Sudah, Kak.Lepaskan aku!" pekik Malik dengan menepis cengkraman Kakaknya itu.
"Aku sudah nggak mau lagi ikut campur urusan kalian," gertak Malik yang akhirnya memilih pergi. Tanpa disadari Amaliya, Eliza sudah berdiri di belakangnya bersama Mihran.
"Maafin aku, Kak. Aku terpaksa mengarahkan tuduhan itu ke Kakak. Mudah-mudahan Mas Mihran mau berpisah dengan Kakak biar keinginan Papa terkabul. Aku juga berharap anak Mihran dan Eliza tidak selamat," batin Malik yang melangkah cepat meninggalkan rumah sakit.
Amaliya pun berbalik arah dan menyadari sudah ada Eliza berdiri di belakangnya.
"Kamu sudah sejak tadi di sini?" tanya Amaliya.
"Kamu tidak percaya kan dengan apa yang Malik omong?" tanya Amaliya.
"Karena aku nggak mungkin melakukan hal itu," dalih Amaliya.
"Aku sudah bilang kan sama kamu. Kamu juga Ibu bayi ini. Jadi nggak mungkin kan seorang Ibu membunuh anaknya sendiri," bela Eliza. Eliza pun menaruh tangan Amaliya di perutnya.
"Mihran, minta maaf kamu sama Eliza. Kamu sudah menuduh dia tadi," bujuk Amaliya.
"Bahkan untuk minta maaf padaku pun dia harus dibujuk oleh Amaliya. Dia akan menuruti apapun yang Amaliya pinta. Karena Mihran begitu mencintainya," batin Eliza menahan tangisnya.
------
Amaliya dan Mihran bicara berdua di taman rumah sakit ketika Eliza tertidur di kamarnya.
"Mel, kenapa ya aku ini susah memiliki keturunan?" lirih Mihran.
"Tiap kali nyaris memiliki keturunan pasti selalu terjadi sesuatu padanya," sambung Mihran.
"Apa ini cara Allah menghukum aku atas semua dosa yang sudah aku perbuat, Mel?" tanya Mihran menahan tangisnya.
"Kamu jangan berpikir kayak gitu," ujar Amaliya.
"Ya tapi kenapa, Mel?" lirih Mihran.
"Kenapa aku susah banget memiliki keturunan. Dulu anak kita meninggal. Itu mungkin dosa aku karena sudah bawa kabur kamu dari orang tua kamu," ungkap Mihran.
"Terus sekarang? Sekarang anak itu nyaris tidak selamat. Itu karena aku sudah terlalu banyak menyakiti kamu," rintih Mihran.
"Tapi ... kenapa Tuhan tidak menghukum aku saja dan membiarkan anak-anakku hidup?" lirih Mihran.
"Kita enggak boleh berprasangka buruk sama Allah. Karena Allah memberi ujian pada manusia agar kita berdoa memohon kepada-Nya. Manusia itu manusia yang lemah, Mihran. Itu kenapa Allah memberi kita ujian, agar kita kembali berlindung. Hanya Dia tempat yang tepat untuk kita berlindung," ujar Amaliya mencoba menenangkan hati suaminya.
Amaliya pun memeluk Mihran. Menguatkan hatinya untuk tegar menerima ujian ini. Amaliya pun mengajak Mihran untuk salat di masjid rumah sakit dan berdoa memohon pertolongan.
"Ya Allah, aku datang menuju pintu rahmat-Mu. Memohon ridho dan ampunan dari-Mu. Ampuni aku. Ampuni aku yang ....."
"Ya Allah, jagalah anak suamiku dan anak sahabatku. Betapa pun sedihnya aku di masa lalu atas pengkhianatan mereka ...."
"Aku bertaubat ya Allah. Aku ini manusia yang lemah ...."
"Ya Allah, jangan biarkan mereka kehilangan. Aku pernah merasakan pedihnya kehilangan seorang anak. Jangan ulangi kepedihan itu pada suamiku ya Allah ...."
"Ijinkanlah aku menimangnya ya Allah ...."
"Biarkanlah aku melihat kebahagiaan suamiku menimang anaknya ya Allah. Walau itu bukan dari rahimku sendiri ya Allah ...."
"Aamiin ...."
"Aamiin ...."
Bersambung ....