Di sebuah paviliun Lushù, terdengar gelak tawa, menyelimuti ruangan bernuansa cokelat keemasan. Di tengah aula, seorang gadis berdiri, tangan kanan memegang sepotong paha ayam. Mulut berminyaknya merapat, mata mencoba mengabaikan tatapan di sekeliling.
Sekitar 20 gadis muda cantik nan anggun, ditambah bentuk tubuh mereka; kurus, tinggi dan terawat, lagi menikmati teh. Sungguh berbeda dengan gadis pembawa paha ayam, dia berbadan subur. Sering dipanggil Babi Gendut, sebagai lelucon di pesta teh ini.
"Yo, Ziyi mei kau begitu gendut, tapi tidak mampu melepas paha ayam? Lihat mulut minyakmu dan agh! Bentuk tubuhmu menyerupai babi, hahaa." Gadis muda ini, menutup mulutnya menggunakan kain di lengan. Menghindari mulut terbuka lebar, yang dilihat banyak orang.
"Hahahah." Seluruh tamu tertawa terbahak-bahak, hingga mereka 'tak mampu menutupi bibir menggunakan satu lengan baju. Terpaksa memakai kedua lengan, supaya mulut 'tak terekspos. Menjaga tawa. Tanpa di sadari, perbuatan mereka jauh lebih kasar.
Apalagi perempuan berbaju kuning keemasan, seorang anak dari bupati Yàobān. Mengeluarkan kata pelan, tapi menusuk, "Aduh, kalau aku yang punya badan begitu. Mungkin keluar pun malu."
Ada yang berdiri. "Kalian jangan menghina Kakakku, dia gadis cantik dan lembut," balas adiknya.
Du Ziyi Mei mendekati adiknya, jari gendut penuh minyak, meraih tangan Du Lia li. Segera sang adik mundur, mengakibatkan raihan, tidak menyentuh kulit. Kilatan ketidaksukaan terlintas sepersekian detik. Diperhatikan seluruh tamu yang datang, tidak bisa menghindar jauh. "Kakak, jangan takut ada aku di sini." Menepuk pundak Ziyi mei, sangat jijik menyentuh babi ini! Kalau bukan demi terlihat sebagai adik berbakti, mana mungkin menyentuh!
Ziyi mei tersenyum hangat, betapa senangnya sang adik begitu peduli. Manik hitamnya tidak terlihat, akibat lemak yang menggumpal, dari pipi ke bawah mata. Gadis yang berbobot 220 kg, menggigit paha ayam di tangan kanan. Melupakan omongan yang menari di ruangan. Sangat sering mendengar dirinya dicibir dan diejek. Gara-gara memiliki tubuh gendut dan berwajah jelek.
Hidung peseknya bergetar, menarik napas dalam, menelan sisa paha ayam. "Adik, pahanya sangat enak, aku mau lagi. Kapan mereka pulang?" membisik.
Lia li menahan sekuat tenaga, agar tidak menghindar dan menahan napas. Walau ingin mendorong, tidak mampu. Tubuh gendutnya benar-benar bermasalah! Tusuk rambut mutiara bergetar, kepala miring, membisik balik. "Mereka pulang sebentar lagi, kalau Kakak menghabiskan seluruh ayam di meja. Mereka pasti pulang dan tidak menunggu Kakak."
Pupil Ziyi mei membesar, sangat tidak suka ada pertemuan teh. Setiap bulan bakal diadakan di rumah perdana menteri Du. Ayah mereka, para gadis bangswan dan anak saudagar kaya, berkumpul saling bercengkrama. Bagi Ziyi mei, ini sekumpulan wanita aneh dan kaku.
Karena dirinya suka makan banyak, sedangkan para gadis ini cuma makan sayap, atau sepotong daging. Bahkan, omongan mereka tidak bisa masuk ke otak, maka Ziyi hanya menjadi penjaga makanan, siap melahap seluruh hidangan di rumah.
—
Para tamu berbincang dengan adiknya. Ziyi mei duduk di sudut, mengikuti arahan Lia li. Yaitu, makan daging dan manis-manis. Emm, pipinya menggembung, mata menyipit. Baru mengunyah daging babi, penuh lemak nan kenyal-kenyal. Ini kesukaannya, manis dan lembut. Telah menghabiskan 10 piring daging babi, 4 ekor ayam, dan 3 gelas jus mangga manis.
Perutnya maju bak orang hamil, hanfu merah cabe yang dikenakan merenggang, hampir meledak. "Nona Zi, ini sangat tidak sopan," kata seorang wanita di dekat Lia li.
"Apa kau terus ada di sana? Membuat nafsu makanku hilang, mending pergi." Deretan kata menyayat hati, keluar dari mulut para tamu. Ziyi mei tidak peduli, ejekan adalah makanan tiap hari. Mengelus-elus perut buncit, dengan jari besar nan montok, apalagi lengan super besar. Kalau disandingkan terhadap wanita di sini, lenganya ibarat kaki bagi mereka. Masa bodo pendapat orang lain, yang penting perut kenyang dan bahagia.
"Kakak, bukan aku yang mengusir, tapi mereka yang minta. Bolehkan, Kakak diam di kamar? Istirahat dulu, nanti dilanjutkan makan yang lebih banyak. Aku minta Bibi Xi, untuk membuatkan gule kambing dan jus jeruk."
"Betulkah? Baik, aku akan masuk dan menunggu makanan enak datang." Berusaha bangkit, satu kursi penuh pantat besar, yang dilapisi lemak membandel. Berjalan ke luar aula, dia seperti bantal, besar dan pendek.
—
"Nona Lia, kamu terlalu baik, kalau aku punya Kakak begitu. Sudah pasti kunci dikamar, bikin malu saja."
Melambaikan tangan, bicara pelan dan lembut, "Jangan bicara begitu, dia tetap lah Kakakku, mari lanjutkan hidanganya." Mereka kembali menyanjung putri kedua perdana menteri Du Qian wei. Perdana menteri keuangan di Zhēnzhū. Sebuah kekaisaran makmur di benua ini, terdapat 11 negara di dalamnya.
Dipimpin seorang kaisar berumur 70 tahun, banyak memiliki anak dan cucu. Para anak atau cucu, diberikan wewenang menjadi penguasa daerah yang ditempati. Du qian wei memiliki 2 anak, menjabat sebagai perdana menteri keuangan, hampir 2 generasi. Kaisar terdahulu mati muda, di saat perang merebutkan benua ini dan diwariskan ke keturunannya. Qian wei sebagai pengawal kesetian, selalu ikut tempur kemanapun dan sekarang mengabdikan diri pada kaisar. Sangat dihormati dan disegani, bahkan— kaisar harus mempertimbangkan kekuatan dan pengaruh Qian wei.
—
Ziyi mei masuk ke dalam paviliun Jìyiň, miliknya. Para pelayan membuka pintu, tahu kebiasaannya, tidur setelah makan. "Pergi kalian, ingatkan orang dapur masak yang adikku bilang. Emm, tidak sabar menyantap makanan lagi." Terasa air liur menetes, leher sampai 'tak terlihat saat menggeleng. Pas tersenyum begini, mirip bola hidup. Bulat dan kembung, garis mata menghilang akibat lemak di wajah.
—*
Di pagi hari, Lia li menemani sang ayah dan ibu makan. "Ini, Ayah kapan pulang? Lia er tidak tahu." Menyerahkan daging kambing, senyuman menyambut sang ayah, baru kali ini bisa makan bersama.
Pandangan Qian wei menyapu kursi di sudut, anak pertama belum bangun. Sang istri mengetahui lirikan suaminya, menyampaikan. "Zi er belum bangun, dia kemarin menghabiskan banyak daging, mungkin dirinya lelah dan mengantuk. Nanti dibangunkan, biarkan dia tidur sebentar lagi."
Prang!
Menjatuhkan mangkuk nasi, nasinya masih utuh, bagian bawah terbentur ke meja, menimbulkan suara dentingan nyaring. Netra memutar, menghembuskan napas panas. "Anak itu, mau tidur sampai jam berapa? Ayam sudah berkokok! Kamu jangan manjakan dia, apa dia-dia …. " suara terputus, hampir tidak berani bertanya. Belum bertemu selama 1 tahun akhir ini.
Apa mungkin …?
"Dia masih sama, tubuhnya semakin sehat, nafsu makannya begitu tinggi. Mengalahkan makanku, Kak Zi terlihat sehat dan berisi, pipinya sangat lucu, seperti bakpao ini." Lia li menyahut penuh senyum, seolah membanggakan postur Ziyi mei. Sebelum ayahnya bertanya, tapi mengetahui dari ekspresinya.
Hati Qian wei terasa terbakar, mananya yang bagus, bila seorang gadis bertubuh besar? Siapa yang mau dengannya dan … "Cepat panggil Nona pertama, tidak bangun juga … siram!" perintah Qian wei. Meremas sumpit kayu, seakan ingin melebur menjadi abu.
Suan Gu menepuk lengan suaminya. "Tuan baru balik, jangan menakuti Zi er. Ini, silakan cicipi daging babi. Sudah diresep dengan baik, menggunakan rempah-rempah alami. Baik untuk tubuh dan menguatkan organ." Meletakan irisan daging di atas semangkuk nasi yang belum tersentuh.
"Ayah, aku akan menjemput Kakak, tunggu sebentar." Lia li bangkit, mengikuti para dayang mau membangunkan Ziyi. Kelihatan sangat berbakti sebagai adik, Qian wei bersyukur, dia tidak mengikuti jejak sang kakak. Suka makan dan tidur, tidak mementingkan penampilan sama sekali.
—
Di depan paviliun Jìyiň.
"Ambilkan air."
"Apa Nona? Kita belum membangunkan Nona Pertama," jawab dayang di sebelah kiri.
Lia li berbalik, melilitkan tangan di pinggang. Memelototi, berani melawan perintah? "Tidak dengar? Aku tidak suka mengulangi ucapan. Apa kalian mau menemani Miali?" Melejitkan alis kiri, bibir tipisnya tersenyum miring.
Dua pelayan bergidik, takut akan kejadian malang itu. Miali harus pergi dari rumah ini, lantaran mengabaikan perintahnya. Dia tidak membawa uang sepeserpun, lebih parahnya. Besok paginya ditemukan dalam keadaan mati tanpa busana. Siapapun tahu, itu perbuatannya.
Menyelamatkan hidup, adalah hal utama. Mereka putar haluan. "Baik Nona." Pamit, mengambil seember air. Lia li tersenyum di depan kamar Ziyi mei. "Babi gendut, tamat riwayatmu, mending kau pergi menyusul ibumu! Kau tidak pantas ada di sini, cepat atau lambat— kau akan mati. Bagus juga ada di sini, ada bahan buat sandinganku, haha," tertawa kecil depan pintu.
Dua pelayan kembali membawa air, pintu di buka…*..*