Aku Begitu deg-degan saat detik-detik terakhir bersamanya. Tunggu! Apa benar ini adalah detik terakhir aku bisa melihat dia? Bisa bersamanya? Bisa jalan dengannya? Bahkan jangan-jangan ini terakhir melihatnya? Setelah itu tidak akan mungkin lagi? Entah mengapa angin yang menyapu pipiku yang tidak kemerahan ini terasa begitu dingin hingga menusuk ke lapisan kulit yang paling dalam. Air mata yang sedari tadi aku bendung sekuat yang aku bisa, pada akhirnya tumpah juga. Tidak! Aku tidak boleh menitikkan air mata. Pada akhirnya aku harus bahagia, begitu juga dia dengan alur hidupnya kelak. Tangisan ini semoga menjadi yang terakhirku.
"Bresssssss!!!" Suara hujan tetiba saja mengguyur semesta, tak terkecuali kami yang sedang berada di jalur jalan raya hendak menuntaskan sesuatu.
Dia buru-buru meminggirkan motornya, "hujan, nih. Berteduh dulu, ya? Masih berapa undangannya, Say ... Emh, Fril?" sapanya sesaat setelah lama kami saling diam walau berboncengan menyusuri jalanan padat ramai dan dengan sapuan sinaran lampu kota.
Aku buru-buru mengusap air mataku yang sempat mengalir. Obrolan pertama dia buka karena berteduh dibawah sebuah kios yang terdapat pepohonan di sisi kiri dan kanannya. Aku berusaha menyembunyikan ekspresiku dan kebetulan juga aku masih memakai helm, begitu juga dia.
"Masih ada lima alamat lagi, Mas. Kira-kira kemaleman enggak, ya?" balasku sambil membuang muka karena takut dilihat olehnya.
"Kok, suara kamu serak? Wajahnya juga beda ekspresinya? Nangis?" tembak dia secara gamblang.
"Degh!" Aku semakin salah tingkah.
"Ehm ... Ya, apa ya?" Aku tahu dia cukup mengenalku, jadi percuma aku berbohong, daripada panjang.
" .... " Dia masih menunggu jawabanku sambil menengadahkan dagunya itu.
"Ah ... Tangis bahagia, lebih tepatnya tangis bahagia, karena aku akan menikah. Hehehe!" Cukup beralasan jika aku mengatakan tangis bahagia.
Dia menyunggingkan senyumnya dan menyentuh pipiku. Betapa aku tak mampu membohongi hatiku, dada ini bergetar merasakan sentuhan lembutnya. Entahlah apa yang ia rasakan sebenarnya mendengar ini, aku bukan gadis yang cukup peka terhadap karakter seseorang. Aku juga takkan tahu bila sedang dibohongi orang atau tidak. Orang bilang aku adalah tipikal polos walau usiaku telah dewasa. Tidak mampu menilai orang.
"Aku turut bahagia bila kamu telah menemukan idaman hatimu. Sekarang aku lega dan bisa melepasmu dengan ikhlas. Semoga bahagia selalu dan tidak pernah ada air mata lagi, kamu terlalu manis untuk menangis!" Mewek! Mendengar tutur katanya seketika aku mewek kembali. Semakin keras ... Semakin tersedu-sedu dan kali ini benar-benar tak mampu menyembunyikannya.
"Fril, kenapa makin nangis?" tanyanya mungkin berpura-pura bodoh.
"Ini yang terakhir bertemu denganmu?" celetukku.
"Kamu, kan mau ada suami, jadi kita hanya boleh berteman, kita masih bisa bertemu jika suamimu mengizinkan itu kelak," tambahnya.
Aku memejamkan mataku dan air yang mengalir di ujung-ujung kelopak mata ini tak sanggup membohongi perasaan ini. Dia memelukku dengan erat dan membuat perasaanku semakin campur aduk. Aku dengan lelaki lain? Padahal calonku mempercayai aku sepenuhnya. Dia calon yang luar biasa dan sempurna buat aku, tapi aku tak bisa memungkiri. Tidak mudah membuang rasa yang telah terukir rapi di singgasana hati sebelum kehadiran calon suami, karena ada dia yang selalu di sisi.
"Jangan bersedih, dalam kehidupan ini ... Kita sudah menjadi peran utama yang terbaik. Meskipun ... Dalam judul film yang berbeda pada akhirnya dan ingat satu hal, pernah ada yang mencintaimu sebesar aku." Kata-katanya itu tidak membuat surut aliran air mata ini, malah semakin deras dibuatnya.
Gerakan melambai-lambai dahan dan ranting pepohonan memberi tanda hadirnya angin di suasana rintiknya hujan. Malam ini aku milik siapa, hatiku ... Tubuhku masih bersamanya, tapi aku bukan lagi miliknya. Aku akan bersanding dengan orang lain, begitu juga dia. Setelah sekian menit kami bersua dan aku masih nyaman dalam dekapannya. Harus tahu diri dan harus bisa berusaha menjaga jarak untuk sebuah komitmen dan sebuah janji yang tidak main-main. Aku melihat juga suara hujan semakin lirih pertanda turunnya hujan semakin reda.
"Maaf, maafkan aku terlalu baper. Ayo kita lanjut, aku enggak berani pulang kalau kemaleman selesainya." Aku buyarkan lamunanku ... Atau lamunan kami? Yang jelas aku hentikan semua ini sebelum terlalu jauh jatuh ke dalam ke-baperanku.
"Okey." Dia menjawab singkat dan siap memacu motornya. Motor kesayangannya itu.
Kami melanjutkan perjalanan menuju alamat-alamat yang sudah aku siapkan dan tertulis di undangan pernikahanku, acara yang akan berlangsung sekitar dua minggu lagi. Ada lima alamat yang masih tersisa dan ke-semuanya itu adalah para sahabat, teman kerja dan atasan di tempat aku kerja. Ini adalah kloter terakhir aku menyebar undangan dengan meminta bantuannya, karena kebetulan dia tinggal di kota ini dan pasti hafal nama jalan dan arahnya, sedangkan semua undangan yang dekat rumahku dan jarak-jarak yang bisa aku tempuh, aku antarkan sendiri kepada mereka.
Awalnya aku memang dari jauh hari meminta bantuannya untuk mengantarkan undangan ke beberapa alamat khusus yang se-kota dengannya saja, jadi ... Aku tadi janjian bertemu di rumah temanku, Sheyna, teman seperti adik yang menjadi saksi pertama kali bagaimana aku bertemu dengannya. Bagaimana awal semuanya muncul dan bersemi. Sheyna menjadi saksi juga bagaimana pahitnya semua harus terpaksa diakhiri. Aku meninggalkan motorku di rumah Sheyna. Lalu, dia datang menjemputku di rumah temanku itu.
Dasar aku sedikit memiliki tabiat buruk mungkin. Aku sengaja meminta bantuan dia, padahal temanku yang perempuan juga banyak. Hanya dengan sebuah alasan ... Kasihan, ah! Masak cewek aku suruh joki dan keliling malam-malam. Lagian ke alamat yang asing bagiku, apalagi temanku? Masalahnya aku tidak pernah main ke alamat mereka. Pasti pusing mencari alamat dan ketar-ketir kalau sampai ada kendala malam-malam. Iya, kan? Jadi aku tidak salah alias benar dong, ambil jalan ini? Nyengir membela diri. Padahal seandainya dibalik, yang disana nyebar undangan sama mantan ceweknya misal, pasti aku juga nangis tujuh hari tujuh malam.
Itulah hebatnya perempuan maunya dimengerti dan kadang selalu menang.
Oh iya, kebetulan calon suami bekerja di luar kota, bisa dikatakan kami menjalani hubungan secara LDR. Dia pekerja keras. Aku tahu dia setia dan tidak neko-neko orangnya, sedangkan aku? Hari ini malah jalan bareng dengan yang disini, tapi aku tidak membohonginya. Aku mengatakan bahwa aku diantarkan teman untuk menyebar undangan yang tinggal beberapa saja, hanya untuk alamat terjauh. Dan aku memang jujur karena dia sekarang memang berstatus seorang teman. Senangnya aku, calonku tidak menanyakan lebih detail lagi dan memberi izin.
"Yaa ... Ternyata Sudah se-larut ini baru selesai, Say ... Ups, salah melulu! Fril, mau pulang ke rumah atau ...." Dia tersenyum ringan dan aku melirik arlojiku sambil mencibir kecut.