Chereads / SUDAH CETAK Pemeran Utama di Dua Judul Berbeda / Chapter 2 - 2. Nasgor Terakhir

Chapter 2 - 2. Nasgor Terakhir

Aku tidak mau ambil resiko, aku sudah mengatakan kepada orang tua bahwa aku hanya mengantar undangan dan tidak ada mengatakan bakal inap di rumah teman. Aku tidak mau juga hal ini terjadi, kalau sampai calon menelepon dan menanyai aku sedang di mana? Aku tidak mau saja karena takut berbohong dan takut mengecewakan orang yang sudah menaruh rasa percayanya kepadaku. Jadi aku tetap memutuskan untuk pulang walau telah larut dan jarak rumahku dengan kota ini cukup jauh, sekitar 45 menit.

"Aku tetap pulang, Mas. Aku hubungi Syeina dulu karena merepotkan dia sampai se-larut ini." Aku merogoh tas dan meraih ponselku. Dia tampak mengangguk-angguk.

Dia juga bergegas memasang helmnya dan siap melaju ke rumah temanku tadi. Aku bersyukur Sheyna belum tidur, dia senang menonton film, jadi dia masih asyik mengisi waktu malamnya dengan hobbynya itu. Aku lega karena dia menerima kedatanganku setelah ini dengan lapang dada, takut juga melanggar norma kesopanan dan norma keagaamaan. Mengingat ini adalah wilayah orang, bertamu dengan seorang laki-laki, orang tua Sheyna semoga mengerti tentang perkaraku ini. Pastilah sudah banyak diberi cerita oleh Sheyna sebelumnya.

"Ups! Hujan lagi, Fril! Mau pakai jas hujan atau berteduh, nih?" teriaknya diatas motor yang dikendarai dengan kecepatan sekitar 80 km/jam.

"What?! Pakai jas hujan? Berdua jadi terpaut dalam satu jas hujan? Waduh! Apa kata dunia? Bisa makin baper aku dikrekep begitu." Selorohku sendiri dalam hati menolak.

"Berteduh dulu saja, Mas. Nunggu reda sedikit, paling tidak lama, kok hujannya!" balasku setengah berteriak.

Kenapa ini seperti sebuah kode alam? Apa kiranya makna dari ini? Aktivitas kali ini diawali dengan kehujanan bersamanya dan kini juga diakhiri dengan hujan pula. Apa alam turut menangis? Ah! Ngawur, hujan itu rejeki untuk semua makhluk. Ngaco terus pikiranku ini! Dia menurut apa kataku dan menghentikan laju kendara motornya tepat dibawah jembatan layang, jadi ada beberapa orang juga yang berteduh disini. Aku aman, tidak mungkin ada rasa baper dan sikap yang tidak-tidak kalau banyak orang begini.

Dia juga aku melepas helm dan masih saja di wajahnya tersenyum. Oh my God! Ada penjual nasi goreng yang disana ada beberapa pembeli, suara gesekan alat masak dengan wajan melambai-lambai menggodaku. Apalagi bau harum bumbu dan bebawangan semakin menarik perutku untuk segera menampungnya.

"Krucuuuuk!" Seketika aku melotot tatkala cacing di perutku berdemo dengan kerasnya. Dasar perut tak ada akhlak! Mempermalukan tuanmu sendiri di depan dia, lagi?

"Laper, Fril? Yuk, makan dulu." Tawaran yang menggiurkan itu datang, tapi tidak serendah ini juga kali, mau taruh mana mukaku?

"Tadi, aku sudah makan, sungguh! Tapi entahlah bisa saja perut ini menyanyi," kilahku untuk mengangkat harga diriku.

"Hahaha, aku juga lapar, Fril. Aku mau beli, sambil nunggu hujan. Ayuk!" sebenarnya aku sangat dipermalukan oleh perut ini, tapi apalah daya. Aku harus menuruti kemauan perut. Lha wong kadung malu! Pertanyaannya, kenapa perutnya lebih sopan daripada perutku yang notabene seorang perempuan? Hiks! Hiks!

"Ya, aku sebenarnya sudah makan, hanya saja aroma nasi goreng yang begitu menggoda iman dan dengan adanya suasana yang mendukung begini, benar-benar membuatku jadi tak tahu malu. Mas, percayalah! Sebenarnya aku malu ini. Maaf ya, jadi repot. Heee!" elakku tetap memperjuangkan harkat dan martabatku.

"Haha, repot apaan? Traktir kamu? Enggak, lah! Aku uda mentraktir bensin serta kemampuan ojol-ku buatmu. Sekarang gantian kamu yang bayarin. Bayangin ya? Apa saja yang sudah aku korbankan buatmu, bensin, waktu, tenaga, korban perasaan juga. Wkwkwk!" Dia menyahut lenganku dan membawaku segera ke bengkel perut, di depan mata kami. Nasi goreng Jakarta tertulis di lapaknya.

Aku hanya mengikuti dan diam seribu bahasa dengan kelakarnya, apa iya dia minta bayarin? Tumben banget? Korban perasaan dia bilang? Ah, sudahlah. Itu hanya candaan. Memang aku pikir harus ada tips untuk tugas yang se-berat ini sih, dasar aku yang tidak tahu diri, sudah minta bantuan, masak minta yang lebih? Tuh, kan maunya gratisan terus? Memalukan banget! Harusnya aku yang peka menawari dia makan. Kan, aku yang suruh dia jokiin aku? Sampai waktu tersita, kehujanan lagi, ke-Pede-an banget malah aku yang berharap ditraktir?

Dalam sekejap nasgor special terhidang di hadapan kami dengan asap yang masih mengepul menyemburkan aroma kenikmatan makanan kesukaan semua orang ini. Kami melahapnya sambil masih diiringi hujan. Eh! Perasaan tadi perutku yang keroncongan? Kenapa malah aku lihat dia yang lahap menikmati nasgornya? Aku malah santai dan jujur saja lebih sering mencuri pandang ke arahnya, dia berkeringat dan menyeka keringatnya  karena ke-pedesan. Meskipun hawa dingin masih berasa. Rambutnya yang hitam lurus itu ia sibakkan berulang kali karena jatuh menutupi dahinya, masih asyik melakukan aktivitas makan malamnya.

"Makan, Fril. Katanya sudah kemalaman, jangan melamun terus. Hehehe, nanti hujan reda, kita langsung, cuzz!" gumamnya, rupanya dia sadar sedang aku perhatikan. Aku auto melahap nasiku, juga untuk mengalihkan pandangan dan pikiranku.

"Fril, simpan uangmu. Aku masih ada." Dia buru-buru mendorong tanganku yang sudah siap mengeluarkan uang untuk membayar nasgor kami.

"Lho?!" Aku mengerutkan kening.

"Biarkan aku yang mentraktirmu. Itung-itung yang terakhir, karena setelah ini kau akan ditraktir orang lain selamanya," tolaknya yang seketika menusuk hatiku ini, perasaanku kembali tersengat ucapannya.

Singkat cerita, aku sudah berada di rumah Sheyna karena tadi hujan reda, kami langsung berangkat, sudah tepat jam sebelas malam, Aku tetap mau pulang walau Sheyna memaksa aku untuk inap di rumahnya, begitu juga dia. Intinya aku tidak mau menodai kepercayaan calon suami. Aku sudah mengabarinya bahwa aku masih berteduh karena hujan. Dia ingin menelepon jika aku sudah sampai rumah.

Hal yang membuat begitu berkesan adalah adegan ini, dia menawarkan diri untuk mengantarku pulang hingga sampai rumah? Kami akan naik motor masing-masing dan dia akan membuntuti dari belakang. Tawaran yang so sweet sekali, itu terlalu berlebihan, tapi aku tidak mungkin menolaknya, situasi tidak memungkinkan dan cukup mencekam bila aku menolaknya. Dia berjanji hanya Akan mengantar di depan jalan dan langsung balik lagi.

Kami menyibak hawa malam, menyusuri jalanan basah yang tersiram air hujan berkali-kali. Kesunyian jalan raya yang biasanya padat, kini begitu lengang. Se-lengang hati dan perasaanku karena terharu akan sikap-sikapnya di detik-detik terakhir melepas kepergianku dari hidupnya. Tak ada suara bincang, yang ada hanya suara deru mesin kendaraan kami berdua yang bersahut-sahutan. Memang ada satu atau dua kendaraan lain yang juga melintas, tapi tetap nampak sepi. Aku ingin tahu bagaimana perasaannya? Apakah seperti aku? Atau hanya aku saja yang lebay dan dia hanya berpura-pura perhatian mengingat ini untuk yang terakhir?