Chapter 3 - 3. Ultra Day

Tak terasa sudah dekat jarak rumahku, semua itu aku lalui dengan diiringi dia di belakangku selama perjalanan. Dia memastikan aku sampai rumah dengan aman. Cukup menggetarkan hati, sih. Karena aku tidak menyangka mengantar undangan bisa sampai se-larut ini dan ada dia yang rela mengiringi kembaliku ke rumah. Hujan yang tidak aku prediksi membuat molornya waktu dari perkiraan awalku. Hujan yang menyapa tetap aku syukuri dan aku senang melewati detik-detik menjelang hari, masih ada dia yang mewarnai.

Sudah hampir tengah malam kami menyusuri jalanan kota menuju alamat rumah. Dia masih rela merepotkan diri untuk mengantar dan nanti kembali ke arah pulang ke rumah dia sendiri? Tepat di depan rumahku, sepasang gerbang cokelat menjadi saksi bisu, aku turun dari motorku dan dia turut menghentikan motornya, namun dia tetap di atas motor. Aku mengucapkan terima kasih, dia mengangguk dan melambaikan tangannya. Dia segera putar balik dan melajukan motornya dengan cepat.

Dia baru pertama kali ini tahu rumahku, lha? Kok bisa? Iya, selama hidupku aku berprinsip lelaki spesial yang aku bawa ke rumah adalah lelaki yang serius akan melamarku, dia tidak pernah aku ijinkan jika masih belum ada niat melamar. Karena itu dia belum aku kenalkan kepada keluarga. Aku memandang sosoknya yang berlalu hingga benar-benar hilang dari pelupuk mata. Kasihan juga dia, cukup jauh alamat rumahnya kalau dari rumahku ini. Karena tempat tinggalnya itu berada di dekat outlet tempat di mana aku bekerja mengais rejeki. Tempat segala kenangan bersamanya bersemi dan diawali.

Pertemuan pertama kami,

"Kiaaaa!!!" Aku mau berangkat kerja dulu, ya? Makasi uda nampung aku semalam," cerocosku kepada Kia, teman sekolah aku yang kebetulan bekerja di kota yang sama denganku, kos dia dan aku semalam inap di tempatnya.

"Eh, tunggu. Dengerin, ya? Kamu itu kan, kerja di outlet, bisa dikatakan itu berhubungan dengan jasa pelayanan, sekarang kamu sudah bisa cari duit sendiri, modal dikit buat penampilan dalam kerja biar Excellent," ucap Kia.

Dia Azkia, sahabatku yang kebetulan bekerja sebagai admin di salah satu kantor cabang sebuah perusahaan dengan nama yang cukup besar, jadi memang dia memperhatikan penampilan. Dia segera menyeret aku dan membawaku masuk lagi ke kamar, padahal aku sudah siap berangkat kerja. Aku melongo dan tak tahu apa maksud dia.

"Nah, coba deh kamu perhatiin para karyawan di Alfemarry dan Indemarry, mereka pada fresh dan Excellent, tahu? Coba kamu juga gitu. Kamu bisa dikatakan kasir dan SPG juga, menghargai pelanggan itu perlu." Aku dipaksa duduk di hadapannya dan Kia mengeluarkan semua peralatan tempur wanita. Mulai deh, tuh. Dia polas-poles wajahku, sampai eyeliner bulu mata anti-tumbang juga ia sapukan di bulu mata.

"Malu, lah ... Kia, aku enggak mau, ah! Biasa saja deh," protesku saat itu.

Setelah sekian menit dia merenovasi mukaku, "nah, sekarang lebih menawan. Jangan dihapus ya? Peralatan mahal, nih! Aku enggak ridho pokoknya, ini natural lho, Say. Kamu jangan khawatir, yang jelas ini enggak menor, kok. Pas buat wajah kamu. Cantik!" sahutnya.

"Kamu muji-muji karena ini hasil karyamu." Aku dengan nada sewot.

"Asli, cucok pake meong, deh!" ucap sahabatku ini sambil meringis.

"Beneran enggak ngaco, kan? Gak aneh kah, wajahku?" Kia menggeleng bahkan jarinya ia bentuk symbol 'oke.'

Aku bercermin berulang-ulang dan aku pikir, bisa cantik juga aku? Mungkin selama ini aku memang terlalu cuek dengan penampilan, alhasil dari jaman usia ABG dan sudah mulai bisa naksir cowok, aku dilanda cinta bertepuk sebelah tangan melulu, bahkan ... Jujur saja, ngenes juga usia sudah segini masih awet kayak diformalin status ke-jombloanku, dari TK-SMA. Tuh, jadi curhat, kan?

Ketika aku mau berangkat lagi ....

"Tunggu!" celetuk Kia sambil berjalan mendekati aku yang mematung menunggu apa lagi yang akan Kia lakukan.

"Frilita Rizqina!" Kia sambil meraih name tag-ku dan membenarkannya karena terbalik.

"Oke, Fril! Good luck, ya?" Kia tersenyum kepadaku dan mendorong bahuku untuk segera meninggalkan tempatnya.

"Oh, oke. Aku berangkat dulu, ya?" pamitku sambil menuju halaman kost tempat dimana motorku parkir.

Aku berangkat dengan semangat dan benar-benar lebih percaya diri, padahal biasanya, ya hanya cukup dengan penampilan biasa, paling hanya pakai lipstik tipis-tipis dan bedakan saja, ini sekarang aku memakai make-up lengkap dan ternyata bisa mengubah rona wajahku bahkan mengubah pola pikir dan rasa percaya diriku. Alhasil aku senyum-senyum sendiri ini selama perjalanan. Untung saja terselubung di dalam helm. Coba kalau tidak? Dilihat orang ntar dikira radak setengah, nih.

Aku sampai di outlet ternyata lima menit sebelum jam sift-ku. Aku sudah melihat Sheyna berada di dalam outlet tengah melakukan aktivitas, ya menata barang, mengecek stok juga. Aku masuk dan mengucapkan salam. Entah dari awal kedatanganku tadi, dia sudah melambai-lambai bersemangat memanggilku dan kini dia buru-buru mengambil sesuatu di balik tempat kasir outlet ini, dia sangat sumringah dan membawa sebuah paket yang sudah dibongkar, namun masih tertutup rapi. Ia berikan kepadaku dan aku bertanya, itu apa?

"Mbaaaak! Ini dapat kiriman dari pusat, tadi Sheyna buka karena bareng sama kiriman untuk outlet kita. Nah, ternyata ada kejutan buat Mbak Frili. coba deh, buka sendiri." Sheyna berbinar-binar menceritakan itu.

Aku? Kejutan? Kok, bisa pusat kirim buat aku?

"Selamaaaaat ... Mbak Frili diangkat jadi kepala outlet Kampung Melati sini, iiiih ... Keren, traktirannya ya, Mbak." Aku belum saja membaca suratnya, baru saja mau aku buka.

Sheyna malah sudah menembak duluan. Aku langsung tertawa girang dan auto menubrukkan diriku ke pelukan Sheyna. Waaaah ... Alhamdulillah, mimpi gak, nih? Ya bangetlah senengnya, kepala outlet? kami hanya jaga bertiga, jadi aku sekarang jadi kepalanya. Ups, uang gaji nambah dong. Hihihi. Kami sungguh tidak memperhatikan lagi keadaan. Histeris dan heboh sendiri di dalam outlet kami yang bernama Ultra Day ini. Ada sih dua atau tiga costumer. Karena di dalam paket itu juga ada seragam kepala outlet yang beda dengan yang aku pakai sekarang, maka aku langsung ganti yang baru dan seragam kasir yang biasanya aku lipat dan aku simpan di dalam tas.

"Malam ... Saya mau cari plastisin, white marker, drawing pen dan lem merk apa yang bagus dan dimana tempatnya?" Seorang costumer masuk ke outlet datang dan meminta bantuan kami.

Kami menyapa dia dengan ramah dan aku menunjukkan dimana barang-barang jualan kami yang dia cari.

"Silahkan, Mas. Tersedia berbagai warna dan untuk merk, kami hanya menjual satu merk saja, semua bermerk Ultra Day. Bisa dipilih. Prakarya ya, Mas?" sapaku dengan tiga S yang diajarkan oleh atasan kami selalu.

Melayani dengan tiga S yaitu Senyum, Sapa dan Sopan. Astaga, nih costumer ganteng banget, rejeki nih, bisa dapat costumer ganteng malam-malam gini. Vitamin mata. Ahayyy! Rambut lurus, wajah mulus, fisiknya proporsional, gemuk enggak! Kurus juga enggak! Enggak kalah sama oppa-oppa korea versi Kampung Melati. Anjayyy ... Putih lagi, kalah nih, daku? Aku dibuat melongo dan mematung se-persekian detik.

Bab Selanjutnya sampai Tamat hanya di Buku Cetak ya All, bisa segera dipesan. Terima kasih