Chereads / Melati Surga(ku) SUDAH CETAK / Chapter 1 - 1. Pinjaman

Melati Surga(ku) SUDAH CETAK

🇮🇩Lika_FR
  • 3
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 4.2k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 1. Pinjaman

Aku begitu resah dan gelisah tatkala Mas Dikta, suamiku telat mengirimkan uang bulanan untuk kami sekeluarga, selama hampir dua minggu mas Dikta tidak mengirim uang belanja, dia terakhir telfon juga tiga hari lalu, aku masih berpikir positif terhadapnya dan selalu mendoakan agar diberi kelancaran dan kemudahan dalam bekerja dan mencari rezeki untuk keluarga. Apalagi harus berada di luar kota, jauh dari kami, betapa kesusahan mas Dikta, makan aku tidak bisa masakin,  harus beli sendiri. Pakaian dan segala macam harus mengurus sendirian.

Di sini beda lagi, dia pasti lebih mudah aktivitasnya, pulang kerja tinggal makan, capek tinggal tidur, semua aku yang menyiapkan dan membereskan. Semua kepayahan harus ia tempuh demi kami. Mas Dikta memang pejuang yang luar biasa bagi keluarga. Dia selama berumah tangga denganku tidak pernah terdengar mengeluh, itulah yang menjadikan aku mencontohnya, hidup tidak mengeluh dan tetap berjuang.

Aku tahu itu tidak mudah, mencukupi kebutuhan anak-anak dan istrinya, apalagi aku tahu selama ini, sejak bekerja di perusahaan bonafit di kota Surabaya ini, dia tidak pernah telat mengirimkan biaya rutinan untuk kami. Menurut asumsiku, sepertinya Allah memberikan kesempatan aku untuk berusaha terjun dan berpikir untuk membantunya, aku tidak akan mengeluh apalagi memberatkannya. Aku ingin dia bangga memiliki istri seperti aku. Aku mencoba memutar otak untuk mencari jalan rezeki lain. Bismillah dengan izin Allah pasti bisa dan tentunya dengan ridho suamiku.

Aku tidak mau membebaninya dengan tiba-tiba meneleponnya dan merengek meminta uang, tanpa aku tahu kondisinya, apa dia sehat apa dia sakit dan berpura-pura sehat? Meskipun itu kewajiban suami, atau siapa tahu mas Dikta sedang mengalami kendala dalam pekerjaannya atau sedang tidak bisa menyisihkan uangnya, mengingat baru tiga bulan dia bekerja bolak-balik Surabaya- Semarang ini. Mungkin masih adaptasi mengatur keuangan. Setidaknya aku akan berusaha dulu.

Aku yakin pasti ada jalan rezeki lain, nanti bila sudah benar-benar butuh bantuan mas Dikta, aku akan meminta dan tentunya pasti tidak memberatkannya karena aku sudah berhasil membantunya sedikit mencukupi kebutuhan rumah, meskipun tidak seberapa. siapa tahu juga mas Dikta tidak sampai hati menceritakan masalah atau kendalanya saat ini kepadaku, dia takut membebani pikiranku. Sebentar lagi juga jadwal ngantor di Surabaya selama dua minggu.

Kalau Mas Dikta sudah pulang, baru nanti enak dibicarakan dan dia pasti cerita sendiri kepadaku sedang ada masalah apa? Sampai keuangan rumah macet. Aku dan kedua anakku yang tinggal di rumah ini juga bersyukur tidak kekurangan suatu apapun, lalu anak perempuanku yang baru mengenyam dunia universitas dan harus kos jauh dari aku juga sehat dan hampir setiap hari berkabar dan menelepon aku, maklum baru pertama kali tahun ini dia jauh dari rumah untuk kuliah.

"Triiiing tuing tunggg tuuuung!" suara ponselku di atas meja berdering. Aku sedari tadi sedang termenung dan berpikir di meja tengah, tempat kami biasanya mengobrol santai dengan segelas kopi atau teh. Aku tersenyum melihat mas Dikta yang menelepon aku. Aku dan dia benar-benar memiliki intuisi yang nyambung, tidak ada satu menit aku memikirkannya, eeeh dia sekarang menghubungi aku.

"Assalamualaikum, Mas ...." Aku belum selesai ingin menyapanya.

"Dek, Mas minta maaf, harusnya dua hari lagi jadwal ngantor Surabaya, ternyata aku ada proyek di sini dan ini peluangnya bagus, kalau Mas pulangnya lima hari lagi, kamu gak apa-apa, kan Sayang?" Mas Dikta memberi kabar yang membuat aku sedikit sedih, tapi aku tidak apa-apa, semua demi kami.

"Ya, kalau memang itu tugas, ya bagaimana lagi? Tidak apa-apa kok, Mas." Aku sangat berharap mas Dikta menanyakan uang bulanan, karena uang dari bulan lalu yang dia berikan sudah habis dari awal bulan ini, tanggal satu biasanya mas Dikta transfer lagi. Ini tidak ada dan sudah bertahan hampir dua minggu aku dengan izin Allah berusaha sendiri.

"Baik, Sayang. Terima kasih, ya? Anak-anak sehat?" tanyanya.

"Alhamdulillah, sehat dan baik semua, Mas. Sayangnya Mulya tidur, padahal dia dari kemarin menunggu telepon dari papanya, aku coba menghubungi mas Dikta, tapi tidak diangkat. Apa aku bangunin saja, Mas? Mumpung kamu sedang On?" Aku tetap berusaha mengerti dia, tapi kalau melihat Mulya yang kangen papanya, aku jadi sedih juga.

"Astaga? Iya kah? Aku sibuk banget, Sayang. Nanti kalau sudah di Surabaya, aku ceritain, deh! Jangan dibangunin, kasihan dia. Nanti malam aku janji telepon, ya? Miss you, dan sampai nanti malam! Assalamualaikum." Dia mengakhiri percakapan kami yang singkat dan dia ternyata tidak membahas keuangan.

Aku menghela nafas panjang. Aku mulai berpikir, kalau untuk makan, pulsa dan jajan anak aku masih bisa nambalin dengan usaha dadakanku, tapi kalau sudah bayar listrik, PDAM, bayar sekolah, aku tidak ada. Aku pikir dua hari lagi mas Dikta pulang, kalau lima hari ya sebenarnya cukup lama juga, Ifana, anakku yang kuliah sudah meminta biaya kuliah dari awal bulan, aku minta dia bersabar sampai papanya kembali ke Surabaya, tetapi kalau begini? Kasihan Ifana kalau harus molor dan kepikiran uang, jadi tidak fokus belajar.

Aku menunggu Mulya bangun dan aku terpaksa harus menempuh jalur ini, saat dia bangun, aku mandikan dia lalu aku ajak pergi ke luar rumah,

"Assalamualaikum," salamku.

"Ting! Tung!" Aku memencet bel rumah teman kerja mas Dikta, juga sudah menjadi temanku, istrinya maksudku.

Adisti, karena saking seringnya bertemu setiap ada acara kantor dan seringnya kami janjian pergi bersama untuk menyenangkan anak-anak. Kalau teman kental kerja mas Dikta itu suaminya. Disti cukup kaget melihat kedatanganku sore ini, karena aku memang sengaja tidak mengabari, ada orangnya ya aku mampir, kalau tidak ada, ya aku lewat saja. Kebetulan Adisti ada di rumah saat ini.

"Wa'alaikumussalam, Mbak Dara? Hai Mulya ganteng." Disti tersenyum dan memelukku.

"Iya, aku ganggu, ya?" sapaku.

"Enggaklah, Mbak. Cuma gak kabar-kabar dulu, jadi tersanjung aja, Mbak Dara mau main ke sini. Masuk, Mbak." Disti mengajak aku masuk dan dia mengambilkan minuman di kulkasnya, ada juga minuman susu kotak untuk anak lelakiku, Mulya.

"Gimana kabar, Mbak? Ada yang bisa Disti bantu buat Mbak Dara, nih?" Dia tersenyum ramah seperti biasa kalau bertemu dia. Sedangkan aku gerogi melanda dan cukup kencang detak jantung ini, masalahnya ini kali pertama aku hendak meminta tolong suatu hal yang cukup membuat malu bagiku, tapi aku tidak ada jalan lain.

"Ehm, sebelumnya aku minta maaf ya, Dis? Aku hanya meminta bantuan, tapi kalau tidak bisa tidak apa-apa, sungguh." Dia memperhatikan ucapanku sungguh-sungguh, tapi aku salah tingkah juga sambil merangkai kata.

"Aku mau pinjam uang dulu, Dis. Aku tahu ini tidak pernah aku lakukan dan bukan maksudku membuat citra buruk harga diri mas Dikta, tapi aku sungguh butuh, karena mas Dikta tumben hampir dua minggu telat mengirim uang bulanan, selama ini tidak pernah, aku takut bila memaksa minta padahal belum dikasi, dikira tidak pengertian, siapa tahu mas Dikta di luar kota sedang ada kendala, Dis?" Akhirnya keluar juga uneg-uneg ini.

"Lho? Astaga! Iyakah, Mbak? Bukannya baru saja awal bulan ini semua pegawai kantor dapat bonus tahunan? Target kerja kata mas Ikhsan terpenuhi dan bonusnya lumayan gede, Mbak? Masak mas Dikta gak dapat? Mas Ikhsan bercerita semua bonus ditrasnfer di tabungan kami, Mbak?" Jawaban Disti ini cukup membuat aku terkesiap! Benarkah?!