Malam ini aku dan anak-anak bersemangat menunggu telepon sesuai janji papa mereka, Mulya dan Hilwa sangat antusias menyiapkan banyak cerita yang ingin disampaikan kepada papa mereka. Tepat pukul 20:00. Mungkin setelah ini papanya akan muncul. Semua sudah makan soto ayam made mama Dara. Aku sudah bikin kopi juga, kangen juga suasana ngobrol sambil ngopi bareng mas Dikta kalau anak-anak sudah tidur. Mengobrol panjang dan saling berkisah tentang kegiatan masing-masing.
"Assalamu'alaikum, Papa! Kami bertiga menunggu Papa, Mulya rindu sekali, katanya Papa pulangnya mundur? Ah! Gak seru. Mulya gak suka sudah ditinggal lama, pulangnya telat lagi?!" Si bungsu langsung nyerocos saja dengan polosnya anak seusianya yang rindu kepada papanya.
"Eits! Papa kena omel, nih? Kayak kereta api gak ada jeda? Sampai Papa jawab salam gak didengarin? Apa, Sayang? Papa juga rindu dengan kalian, tapi urusan pekerjaan bagaimana lagi? Maafkan Papa, ya? Kalau sudah di rumah Papa mau beliin mainan buat Mulya yang bagus!" call dari mas Dikta sengaja aku speaker agar semua bisa mendengarkan.
"Bohong!! Papa bohong dosa, buktinya waktunya pulang, kata Mama dua hari lagi, jadi lima hari lagi? Kan hari weekend kelewat, Pa! Papa memang gak mau pulang!" Mulya? Entahlah ... Aku tidak mengajarinya, mungkin curahat hatinya yang dua pekan tidak bertemu, lalu menelepon juga jarang-jarang. Aku diam dan menggeleng kepala saja.
"Eh! Kok ngomongnya gitu, Papa, kan cari uang buat Mulya, kakak, dan Mama?" mas Dikta mencoba merayu, aku senyum saja.
"Mana, Mama anakku, Sayang?" lanjut mas Dikta.
"Mama gak ada di sini! Mama juga ngambek karena Papa sudah bohong!" sahut Mulya.
"Lho?! Bohong gimana, Sayang. Papa kan cari uang, ini juga tugas pekerjaan Papa. Masak Mama ngambek? Tadi pagi Papa bicara sama Mama, dia gak kenapa-kenapa?!" lanjut mas Dikta. Akhirnya aku menyudahi pertikain papa dan anak ini. Aku masuk dalam perbincangan mereka.
"Hallo, Mas. Dari tadi aku di sini. Mulya bicara dari hati lhoo, ini. Bukan aku yang ngajari. Dia kangen sama kamu?" balasku.
"Humm, iya. Mulya kangen. Mama? Gak kangen?" Pertanyaan mas Dikta di depan anak-anak membuat aku tersipu malu.
"Enggak! Ngapain kangen, anak-anak saja yang kangen, aku enggak!" balasku.
"Waah, Mama gak kangen, gak ingin ketemu Papa, jadi Papa undur sepuluh hari ya? Hahaha.
"Kalau mundur sepuluh hari silahkan, tapi ponsel ini juga akan mati sepuluh hari. Hehehe!" sahutku menantangnya.
"Apa? Sepuluh hari lagi? Mulya akan nyusul Papa naik bus besok pagi, gak usah sekolah kalau gitu!" sela Mulya.
"Hahaha! Bercanda, Sayang. Meskipun Mama gak kangen, Papa tetap pulang karena Papa yang kangen." Diiringi gelak tawa dari sana.
"Dek! Mulya tambah besar tambah ngerti dan pinter, ya? Nanti dijelaskan pelan-pelan tugas papanya seperti apa, oke?" Aku menunggu mas Dikta menanyakan, apakah anak-anak sudah makan? Atau sedang masak apa? Lalu teringatlah dia dengan uang bulanan.
Ternyata yang dibahas oleh mas Dikta hanya candaan saja, setelah sekian puluh menit, aku ingin menanyakannya kalau begitu, keburu semakin malam dan keburu dia pamit untuk menutup teleponnya.
"Mas, aku mau ngomong sebentar saja, ya?" Aku menyela di antara tawa mereka saling sahut-menyahut cerita.
"Ngomong lama juga boleh, kenapa pakai sebentar?" jawabnya masih dalam canda dan masak, sih mas Dikta sampai lupa?
"Mas, maafkan aku jika membebaniku, aku belum bayar listrik, PDAM biaya kuliah Ifana. Aku gak punya, Mas. Kalau aku punya, pasti aku tidak meminta, karena Mas tumben tidak mengirim uang ke kami?" Akhirnya aku lega, bisa menyampaikan ini. Aku pikir benar kata Adisti, minimal bertanya, kalau tidak ada, ya agar mencari solusi bersama.
"Oh, Eh, iya. Maaf Dek, Mas belum cerita memangnya ya? Astaghfirullah. ATM-nya Mas sedang bermasalah, jadi harus lapor dan melalui beberapa proses. Eh, tapi besok sudah bisa dipakai, kok info dari banknya, maafkan Mas ya, Dek?" jelasnya.
"Iya, Mas gak apa. Cuma, kok bisa lupa, Mas. Aku gak berani tanya takut membebani, Mas disana sendirian, tapi kalau tidak aku sampaikan, takut diputus jaringannya," jawabku.
"Iya, ini Mas yang salah, sungguh murni aku yang salah, besok ya? Maafkan Mas sekali lagi," balasnya meminta maaf.
"Gak apa, Mas. Kalau urusan makan, jajan dan bayar lainnya yang biasa-biasa aku ada karena alhamdulillah kemarin aku sering open P.O makanan, banyak yang beli. Terus aku jual gamis-gamis aku yang masih bagus agar ada yang tertarik beli, gamis-gamis Mekkah oleh-oleh Mamaku pas berangkat haji, tidak apa-apa, kan Mas? Karena gak ada jalan lagi," bahasku agar dia juga tahu, aku adalah istri yang berusaha membantunya juga.
"Lho? Gamis Mekkah dari Mama? Sayang banget kok dijual, kalau ditanya Mamamu gimana? Kamu jual karena aku belum kirim uang?" tanyanya.
"Ehehe, enggaklah. Aku bilang saja, ada teman yang ngiler gamis Mekkah, dan minat punyaku. Lagian kita berdua bakal beli lagi dan pergi ke sana, kan Mas?" terangku.
"Oh? Iya, iyalah kita bakal berangkat ke sana, siapa yang gak ingin pergi haji ke Mekkah. Maafkan aku, ya? Terima kasih atas pengertiannya, Dek! Kamu rela capek-capek demi anak-anak." Aku menjawab dengan baik dan aku senang ternyata yang di sana tidak ada masalah yang berarti, ternyata hanya karena ATM, kenapa masalah begini saja dia tidak mengabariku? Sampai dua pekan lamanya. Berkali telepon juga tidak membahas ini. Huffttt dasar mas Dikta, apa saja yang dia pikirkan? Aku juga tidak mengatakan kalau aku sudah pinjam Adisti, bersyukur saja kalau sudah dapat, ya langsung akan saya transfer ke rekening Disti.
****
Aku bercermin dan memoles wajahku dengan make up yang sangat natural, hanya agar terlihat tidak pucat saja, mengingat suami sedang di luar kota. Rutinitas mengantar dan menjemput sekolah anak keduaku, Hilwa Mahmudah. Dia kelas tujuh SMP. Ya, anakku yang pertama dan yang kedua adalah perempuan, sedangkan yang terakhir nomor tiga adalah laki-laki, Mulya Al Ausy. Semuanya adalah harta yang paling berharga yang aku punya dan alhamdulillah semuanya anak yang patuh dan baik kepada siapa saja.
Hilwa masih mandi untuk persiapan sekolahnya, aku tidak masak hari ini, karena soto ayam masakan kemarin sengaja aku buat porsi dua hari, jadi aku tinggal hangatkan saja pagi ini. Sambil menunggu anakku selesai mandi, aku memperhatikan cincin pernikahanku dari mas Dikta yang masih berada di jari manisku, tak terasa sudah delapan belas tahun kami berumah tangga, pernikahanku adalah seusia anak sulungku.
Bagaimana, nih? Apa Mas Dikta hari ini transfer ke Dara dan anak-anak sejumlah uang bulanan saja? Atau ada kejutan bonus tahunan kerja?
Bab Selanjutnya hingga Tamat hanya ada di buku cetak ya, Mans-temans. Bukunya hanya kurleb 160 halaman aja, kok.