Chereads / Melati Surga(ku) SUDAH CETAK / Chapter 2 - 2. Penasaran

Chapter 2 - 2. Penasaran

Awal bulan? Bonus tahunan? Kenapa aku sebagai istrinya tidak tahu? Yaa Allah, jangankan bonus tahunan, uang rutin bulanan saja mas Dikta lupa mengirimi? Ada apa ini? Kenapa dia tega menahan sampai dua pekan lamanya? Rasanya mataku ini perih sudah ingin menangis, tapi aku tahan-tahan karena di hadapanku ada Adisti, perasaanku bak tertimpa runtuhan bongkah batu yang menyakitkan. Kalau memang benar kata Adisti ini? Mas Dikta jahat sekali kepadaku dan anak-anak, apa aku ada salah kepadanya sampai dia tega? Tapi setiap menelepon tidak ada masalah apapun dan dia juga menyapa dengan hangat seperti biasanya.

"Ehm, apa iya, Dis? Aku tidak diberitahu, kalaupun lupa? Kenapa sampai dua pekan? Mas Dikta malah gak kasih uang bulanan, ya? Telat sampai sekarang, Dis? Apalagi bonus? Aku tidak tahu sama sekali?" Sedih rasanya mendengar itu.

"Oh? Eh, gini Mbak, aku gak begitu paham, sih system perusahaan suami kita, gimana. Bisa jadi mas Ikhsan dan mas Dikta sekarang beda divisi? Lalu gak dapat bonus? Atau bisa jadi bonusnya bergiliran, bulan ini divisi ini, bulan depan divisi yang lain? Nanti deh aku tanyakan ke Mas Ikhsan, ya? Mbak sabar dulu," jawab Disti. Aku mengangguk pelan, walau masih menyimpan seribu tanya.

Disti menanyakam kepadaku, berapa aku membutuhkan uang untuk kupinjam darinya? Aku membutuhkan dua juta, karena untuk biaya kuliah Ifana, juga dari awal bulan sudah menyodorkan kepadaku, saking gak enaknya aku kepada Disti, aku perlihatkan ponselku yang berisi foto kartu dan rinciam biaya Ifana kuliah di Malang, aku juga tunjukkan chatku dengan si sulung yang kuminta bersabar hingga papanya pulang, tapi sampai pertengahan bulan, malah diundur kepulangannya, aku jadi kepikiran, kasihan dia nanti tidak fokus, juga tanggal pembayaran wajib di rumah, bisa telat.

"Maaf ya, Dis merepotkan sekali ini, tabungan aku sih ada, tapi untuk masa depan anak-anak, kami sepakat atas ideku, ATM dan buku tabungan nitip di Mamaku, jadi harus pulang dulu ke rumah orang tua dan juga gak enak harus minta itu, pasti malah curiga," jelasku saking sungkannya.

"Iya, Mbak. Aku ada, tapi saranku Mbak Dara minta saja, kan memang kewajiban suami kamu? Se-gak ada, gak adanya, walau sedikit pasti ada lah, namanya sudah rutin dan kebutuhan biasanya?" saran Disti.

"Iya, tadinya aku pikir tidak mau membebani dia, wong tinggal dua hari lagi balik ngantor di sini, eeeh tadi siang mas Dikta memberi kabar kalau mundur karena ada proyek penting, lima hari lagi, ya kelewat tanggal, Dis."

"Iya, gak apa, Mbak. Semoga semua lancar ya Mbak Dara?" Disti tersenyum ramah.

"Sekali lagi maaf ya, Dis, merepotkan. Sungguh aku bukannya malas-malasan, kalau untuk makan dan kebutuhan anak-anak yang biasa-biasa, aku masih bisa bertahan, nih sampai dua pekan bisa! Ya Alhamdulillah aku coba open P.O lontong kupang ... Ada teman-teman sekolah anak beli, lalu aku juga jual-jual gamis, khimar yang aku punya di grup Preloved FB, pokoknya aku berusaha gak ngerepotin mas Dikta atau orang lain dulu." Aku masih berwajah merah saking malunya berhutang uang.

"Ya Allah, Mbak sampai jual gamis, khimar kesayangan Mbak Dara? Ngapain susah-susah? Bilang aja ke suami, Mbak!" Disti menggeleng kepalanya.

"Hehehe, gak apa-apa, Dis. Lagian pakaianku masih ada setengah almari, aku kurangi sedikit tidak masalah. Aku hanya takut menambah beban pikiran dia, jauh dari anak istri. Kasihan saja, aku coba ikhtiar dulu sebisa aku. Itung-itung bantuin, nyenengin suami." Aku jawab dengan santai.

"Kalau tabungan perhiasan juga ada, tapi aku gak berani jualin. Karena itu pemberian mas Dikta, kalau jual harus izin dia dulu. Mana bisa aku main jual, tapi InsyaaAllah kurang dari satu pekan aku kembalikan, Dis. Nunggu papanya pulang," balasku menjelaskan.

"Iya, Mbak. Santai saja, tapi kayaknya gak ada masalah apa-apa, deh. Soalnya mas Ikhsan itu teman dekatnya mas Dikta di tempat kerja. Kalau ada masalah pasti curhat atau telepon ke mas Ikhsan. Mbak harus hubungi suami dan katakan apa yang sudah Mbak lakukan dan ingatkan tentang kewajiban pembayaran! Itu sudah mutlak, jangan dipikul sendiri!" balas Disti.

"Iya, Dis. Makasi ya? Aku akan tanya nanti malam, maksudku bukan dipikul sendiri, aku hanya bersabar nunggu dia pulang dua hari lagi, eh malah mundur, tahu mundur ya aku pasti tanyakan nanti. Kalau soal bonus aku nunggu kabar kamu saja, aku tidak mau tanya ke mas Dikta, kesannya maruk banget," gesahku selanjutnya.

"Astaga, Mbak! Itu hak kamu sebagai istrinya? Anaknya tiga lagi? Kok dibilang maruk?" protes Disti.

"Ya, kalau memang dapat tapi gak mau kasih, ya biarlah, Dis. Mungkin mau buat tabungan anak-anak," pungkasku karena aku pikir aku harus pulang sekarang dan menyudahi percakapan ini. Lebih baik aku dengar sendiri dari suamiku daripada dari orang lain, takut ghibah dan takut fitnah.

Memang sih aku belum bilang ke suami kalau aku hutang di Adisti, harusnya aku bilang dulu tentang hutang piutang ini, tapi kembali lagi niatku tidak ingin membebani, lima hari lagi pasti ketemu, jadi baru aku mau bicarakan, toh dia pasti ngerti namanya kewajiban tanggungan ya wajar kalau aku cari pinjaman dulu? Disti mengambilkan uangnya di kamar lalu diberikannya kepadaku. Aku berpamitan dengan santun dan perasaan yang cukup lega, aku bisa kirim untuk anakku yang di Malang dan aku bisa menyelesaikan tanggungan pembayaran bulanan.

Aku memanggil anakku, Mulya yang ceria, dia sejak datang sudah asyik bermain dengan Zia, putri dari Adisti yang sudah kelas dua SD, sedangkan anakku masih berusia enam tahun, masih sekolah TK B. Kami berpamitan untuk pulang dan berterima kasih sekali atas bantuan dari Adisti. Aku hanya tak habis pikir, apa benar bonus itu ada? Memang kenapa harus ada rahasia, Mas? Aku ini siapa? Ah, semoga saja memang bergilir atau bisa jadi divisi mas Dikta sedang tidak mencapai target, jadi belum bisa meraih bonus.

Ah ... Aku berusaha husnudzon kepada papanya anak-anak karena mengemban tanggung jawab sebesar ini adalah tidak mudah.

Apalagi dia sudah sampai seperti ini menjadikan kami seperti posisi sekarang, sungguh aku sudah bersyukur, dengan sehat dan keadaan anak-anak yang baik menjadi keberhasilan sendiri dalam mengupayakan kebahagiaan rumah tangga kami. Nanti malam mas Dikta juga janji telepon, kalau memang bonus itu ada, siapa tahu mas Dikta hendak memberikan kejutan saat nanti pulang, memberikan amplop tebal berisikan uang bonus dan week end aku bakal mendengar 'mau jalan dan makan kemana kita, Dek dengan anak-anak? Atau ngasih bukti transfer bonusnya itu. Hehehe, aku senyum-senyum sendiri.