"Kalau boleh tahu, kapan acara pemakaman beliau, Bu?" tanya salah satu karyawan.
"Kemungkinan besok pagi, karena saat ini polisi tengah menyelidiki terkait penyebab kematian beliau," jawab Rosalin.
Karyawan tersebut mengangguk paham dengan jawaban Rosalin.
"Bu! Ada telepon dari Nona Delia, katanya ini terkait dengan ayah Anda," ucap sekretaris Rosalin.
Rosalin pun bergegas kembali ke ruangannya untuk menerima telepon dari Delia.
"Katakan! Ada apa?" tanya Rosalin melalui telepon kantor.
"Alin! Aku takut! Cepat kamu pulang, Ayah—" rengek Delia di seberang sana.
"Katakan dengan jelas, ada apa?" tanya Rosalin lagi yang kini mulai khawatir.
"Aku takut ...," rengek Delia yang justru membuat Rosalin naik pitam.
"Berhenti jadi bayi! Apa yang kamu takutkan dari seonggok mayat!" bentak Rosalin yang tak sengaja terdengar oleh beberapa karyawan di luar.
"Pokonya kamu cepatlah pulang. Aku sangat tertekan menghadapinya sendiri!" bentak Delia yang sudah putus asa di seberang sana.
Rosalin menutup telepon tersebut dan bergegas meninggalkan kantor.
Suatu kebetulan, begitu Rosalin sampai di pinggir jalan sebuah taksi menghampirinya. Tak membuang waktu, Rosalin langsung masuk kedalam taksi tersebut.
"Ke jalan Dahlia sembilan A, Pak! Tolong cepat sedikit," ucap Rosalin pada sopir taksi tersebut.
Sopir yang mengenakan topi berwarna biru elektrik itu hanya mengangguk sebagai isyarat atas jawabannya.
Sepanjang perjalanan, Rosalin menatap ke arah jendela dengan wajah cemas. Tak ada yang ia pikirkan lagi kecuali keadaan adiknya di rumah.
Tak lama kemudian, akhirnya Rosalin sampai di depan rumahnya. Dengan terburu-buru Rosalin turun dari taksi sampai-sampai ia lupa membayar.
Dengan gugup, Rosalin merogoh isi di dalam tasnya untuk mencari sebuah dompet, tapi tak kunjung ia temukan.
"Nona, Anda tidak perlu membayar saya. Anggap saja itu sebagai bentuk ucapan bela sungkawa saya atas kematian ayah Anda, Muldoko," ucap sang sopir yang membuat Rosalin terkejut.
Seketika Rosalin mengalihkan tatapan matanya pada sang sopir taksi tersebut.
"Kau—bukankah kau yang tadi pagi?" tanya Rosalin mengerutkan keningnya.
Alih-alih menjawab, sopir tersebut justru tancap gas dan meninggalkan seringai senyum misterius pada Rosalin.
Saat Rosalin hendak berlari mengejar taksi tersebut, tiba-tiba terdengar jerit histeris Delia dari dalam rumahnya.
"Arrgh! Tidak! Ayah!"
Teriakan Delia tersebut membuat Rosalin mengabaikan taksi itu dan bergegas masuk ke rumahnya untuk melihat apa yang terjadi.
"Ada apa ini? Apa yang terjadi?" tanya Rosalin. Ia terkejut saat melihat Delia tengah dipapah oleh dua pelayannya. Dari wajahnya yang pucat serta ekspresi ketakutannya menunjukkan bahwa ada hal mengerikan di dalam kamar sang ayah.
Sementara para pembantu juga menunjukkan ekspresi ketakutan bahkan beberapa di antaranya terlihat gemetaran dan shock.
"Ada apa ini?" Rosalin mengulang pertanyaannya yang kali ini di tujukan pada petugas kepolisian.
"Ini—"
Rosalin yang tak sabar pun memotong penjelasan petugas tersebut dan menerobos masuk ke kamar sang ayah untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Seketika matanya melotot dan kedua tangannya refleks menutup mulutnya.
Kondisi jenazah sang ayah kini tampak lebih parah dari semalam. Seluruh isi perutnya keluar, dan di lehernya kini muncul sebuah simbol yang melingkar bak sebuah kalung dalam bentuk tatto.
"Apakah Anda sudah memeriksa seluruh rumah ini, Pak?" tanya Rosalin pada petugas kepolisian itu.
"Belum, Nona. Bahkan sedari tadi kami hanya berusaha membuka pintu kamar ini," jawab polisi tersebut yang merujuk pada kamar sang ayah.
"Adikku, memanggil kalian bukan untuk mendobrak pintu! Kalian ini sebenarnya petugas kepolisian atau tukang servis pintu? Hah!" teriak Rosalin yang murka dengan ketidak becusan para polisi tersebut.
"Cepat kalian periksa seluruh rumah ini!" perintah Rosalin dengan meninggikan suaranya.
Para polisi itulah bergegas memeriksa seluruh rumah Rosalin. Sedang yang lainnya tengah memeriksa mayat Muldoko.
"Tidak ada tanda-tanda atau jejak adanya orang lain di sini. Kondisi jenazah ayah Anda seperti meledak dari dalam. Tak ada campur tangan orang lain. Apakah Anda masih ingin melakukan otopsi, Nona?" tanya petugas forensik itu.
Saat Rosalin masih berpikir untuk mengambil keputusan, tiba-tiba para polisi tadi kembali datang.
"Kami tidak menemukan apapun yang mencurigakan di rumah ini, Nona. Saya rasa ini kasus bunuh diri," ucap petugas tersebut.
"Apa kamu bilang! Bunuh diri? Matamu buta, ya! Apakah mungkin seseorang bunuh diri sampai mengeluarkan semua organ dalam perutnya tanpa menyisakan setetes darah pun? Kamu tidak berpikir ini bisa saja perbuatan seperti setan?" bentak Rosalin yang kini sama sekali tak menghormati para petugas itu.
"Bisa saja ayah Anda meminum obat yang membuat hal itu terjadi," kilah sang petugas.
"Obat seperti apa yang bisa secara otomatis merobek perut tanpa pisau? Hah!" bentak Rosalin. Pernyataan polisi tadi justru membuat Rosalin semakin murka.
"Kamu petugas paling tolol yang pernah ku temui! Pergi kalian semua dari sini! Dasar tak berguna!" usir Rosalin pada para petugas itu.
Tanpa protes lagi mereka semua pergi dari rumah Rosalin.
Kabar kematian Muldoko sudah tersebar, sampai-sampai para wartawan datang ke rumah Rosalin untuk mengkonfirmasi berita tersebut.
Hal itu sangat lumrah, mengingat Muldoko adalah salah satu pengusaha terkaya di negara ini.
Banyak sekali pabrik-pabrik di luar kota yang ia bangun. Baik industri di bidang pangan ataupun tekstil. Bahkan Muldoko juga bergerak di bidang properti.
Meninggalkan betapa kayanya seorang Muldoko, kini Rosalin tengah menyiapkan pemakaman untuk sang ayah.
Sementara Delia masih shock tak bisa bicara apa-apa.
Rosalin yang menyadari bahwa dirinya tak pandai menenangkan seseorang, ia pun meminta bantuan Jordan, sang kekasih sekaligus tunangan Rosalin.
"Halo, Dan! Aku butuh bantuanmu, apakah kamu bisa datang ke rumah secepatnya?" pinta Rosalin melalui telepon.
Tak butuh waktu lama, lima belas menit kemudian Jordan pun datang.
Banyak wartawan berkumpul di sana. Para pelayan Rosalin yang lain berusaha menahan mereka.
Begitu Jordan turun dari mobilnya, para wartawan itu langsung menyerbunya. Mereka menggeruduk Jordan dengan sejumlah pertanyaan terkait kematian Muldoko.
Jordan yang memang tak tahu menahu tentang itu pun tak menjawabnya dan terus berusaha masuk menerobos para wartawan itu.
Baru saja ia berhasil memasuki rumah Rosalin, tapi ia di sambut oleh para pelayan yang memasang wajah ketakutan.
"Ada apa ini? Apa yang terjadi?" tanya Jordan pada salah satu pelayan.
"Anu, Tuan ...," jawab pelayan itu gagap.
"Dan—" panggil Rosalin dari lantai atas.
Jordan bergegas menuju lantai atas tepatnya ke kamar Muldoko.
"Apa yang terjadi?" Jordan mengulang pertanyaannya saat tiba di Depa kamar Muldoko.
Saat Rosalin hendak menghampirinya, tiba-tiba Delia yang sedari duduk di lantai depan pintu kamar Muldoko bangkit dan memeluk Jordan. Tangisnya pecah di pelukan Jordan.
Tersirat rasa cemburu dalam hati Rosalin. Sekalipun memang tujuannya memanggil Jordan adalah untuk menenangkan Delia.
"Dan, aku butuh bantuanmu untuk menenangkan Delia. Karena aku harus segera mengurus jenazah ayah," ucap Rosalin.
"Jenazah? Apa maksudmu jenazah?" jawab Jordan dengan pertanyaan sebab tak percaya dengan ucapan Rosalin.
"Iya. Ayah sudah tiada, Dan. Tolong kamu bantu aku menjaga Delia," pinta Rosalin merendahkan suaranya.
Rosalin yang seperti itu tampak lemah hingga membuat Jordan ingin memeluknya.