Chereads / Cerdaslah Mencintaiku / Chapter 16 - Mahis Memberi Dukungan

Chapter 16 - Mahis Memberi Dukungan

Kesibukan dimulai oleh keluarga Rarendra. Hari sangat cerah, namun mendung mulai datang. Mahis sibuk dengan Hanif. Namun Hanif terlihat tidak fokus saat mengecek data pekerja.

"Apa karena udangan dari Rania? Yang aku berikan tadi?" tanya Mahis. Undangan dari kekasih hati Hanif telah sampai di genggaman tangannya, Mahis sendiri yang memberikan itu.

"Iya."

"Aku yakin kamu profesional."

"Terima kasih."

Mahis pergi untuk hal lain.

Setelah memeriksa beberapa data Hanif pergi tanpa arah, kakinya membawanya ke pantai. Ia duduk sendiri dan meratapi kemeranaannya.

Melamun, matanya terus memandang desiran ombak, namun fikirannya tak berhenti memikirkan Rania, hatinya tersayat, air mata pun turun dari kelopak matanya.

Hanif terdiam dan menangis tersedu-sedu, ia terjatuh lemas di atas pasir pantai, sakit di hatinya. Ia mengchat Rania lewat Whast Ap.

[Aku jatuh cinta

Hari ini, perasaan itu muncul dalam diriku lagi

Sejak pertama kali bertemu denganmu

Aki tersadar bahwa itu adalah cinta. Aku jatuh cinta. Hari ini aku memikirkanmu Lagi. Meskipun aku terpaksa memikirkan hal-hal lain. Kau tetap

satu-satunya yang terlihat di mataku.

Karna dirimu, jika kau meninggalkanku, hatiku hancur. Karena dirimu selalu karnamu]

Belum selesai menulis Hanif memberontak rasa sakitnya semakin dalam, tangisan yang sangat menyiksa, Hanif menghapus yang baru di tulisnya ia tidak mau, jika kekasihnya menggagalkan pernikahannya.

"Tetaplah bersamaku, sepanjang waktu, aku akan selalu melindungimu dan selalu mencintaimu. Hiks hiks. eh. Aku jatuh cinta, hari ini aku masih mencintaimu, meskipun aku berusaha menyembunyikan hatiku yang bergetar ini. Aku tidak ingin kamu tahu, karna pasti kamu juga tersiksa, hiks ehm. Heh..." bibirnya bergetar, ia menghapus air matanya, mencoba menahan namun semakin sesak rasa di dadanya. Ia merunduk dan terus menangis.

Mahis berdiri di belakangnya, ikut merasakan sakit yang di rasa Hanif. Mahis duduk di batang pohon yang tumbang.

"Butuh sandaran?" tanya Mahis, Hanif mengangkat wajah, ia berusaha tidak terlihat menangis, tapi tetap tidak bisa. Ia berdiri mengambil nafas panjang lalu menghembuskan.

"Ehkm. Memang aku cewek. Ehhe, Aku baik. Cukup baik." jelas Hanif yang lalu duduk di samping Mahis.

"Tapi hatimu yang tidak baik. Katamu kita teman, aku tidak bisa membantu apa-apa. Tapi aku selalu berdoa, semoga kamu bisa mendapat pengganti Rania," ucap Mahis dan memberikan minum.

"Huh, kita sama! Sangat mencintai cinta pertama, bedanya yang aku cintai gadis baik. Dan kamu ..." ujar Hanif menatap Mahis, Mahis tersenyum remeh.

"Aku tahu, jangan bahas lagi. Aku juga menyesal, tapi, aku masih belum bisa membuka hatiku, untuk Kanaya. Aku juga benci itu. Aku ingin bisa mencintainya, aku dan dia sudah berciuman, tapi tidak ada yang istimewa, aku ingin mendekat dan menuruti syahwatku. Tapi kembali lagi, aku menjauh dan berlari, aku meminta waktu, tapi apa aku bisa, menyuruhnya selalu menungguku. Aku terlalu buta, Nif. Ya Allah..." Mahis membuang nafas sesaknya.

"Sudahlah, ayo main catur, atau game. Agar merana karna undangan tenggelam di alam sana, ayo lupakan." ajak Mahis, lalu memberikan ponselnya

"Kamu masih hobi main game?" tanya Hanif, Mahis tertawa.

"Syut.., aku hobi main game, ketimbang bersama Aya dan perlu freskan fikiran karena banyak masalah." bisik Mahis. Hanif tersenyum heran. Mereka tertawa.

"Kau ini, aku bukan anak kecil, jangan membuang waktu." Hanif mengembalikan ponsel Mahis lalu berdiri, Mahis berdiri merangkul temanya dengan tangan kanan, mereka berjalan menuju rumah sakit.

"Aku tidak membuang waktu, aku memberi waktu agar fikiranmu sibuk, jika fikiran sibuk maka akan sedikit mengurangi beban fikir. Lakukan kesibukan agar lupa dengan masalah. Menangis juga baik untuk jantung, tapi jangan sering-sering." jelas Mahis, mereka saling menatap.

"Emang aku secengeng itu." Hanif menyingkirkan tangan Mahis yang berada di bahunya.

"Tatapanmu mengerikan." Hanif salah tingkah, Mahis tertawa.

"Kau ini!" Mahis melempar batu ke pantai. Hanif tertawa.

"Kata yang kamu hiburkan, bagai omongan. Dan tatapan itu, seperti sepasang kekasih." jelas Hanif, Mahis tertawa.

"O, sini aku peluk." Mahis merentangkan tangan, Hanif berlari, Mahis mengejar. Baru kali ini mereka bercanda sebagai teman.

Drettt

Drettt

Hanif membuka pesan suara itu. Suara tangisan yang jelas itu dari Rania. Hanif menelpon namun tidak di jawab, ia melacak keberadaannya.

"Pak Mahis aku izin 1 jam."

"Sana!"

Setelah mendapat alamat ia berlari ia naik motor dan melaju dengan kecepatan tinggi.

Satu jam ia akhirnya sampai, ia melihat wanita berhijab berdiri di tebing. Tebing yang di bawahnya laut dalam.

Mahis menghampiri wanita yang ia cintai. "Apa kamu pergi dari rumah?" tanya Hanif, Rania menoleh, ia ingin memeluk kekasihnya, dan merasakan sakit bersama. Namun tidak jadi, ia terjatuh dan terduduk lemas lalu menangis.

Hanif duduk, mereka saling menempelkan punggung.

"Kita tidak berpelukan, dan tidak bersandar di bahu, walau tersiksa luka dan rindu, seperti ini nyaman 'kan? Dengan seperti ini kita terhalang kain. Aku dan kamu menahan semua hasrat, dari sentuhan, pelukan, bergandengan, bersandar di bahu. Kita harus kuat soal cinta ini, mau ku nyanyikan sesuatu? Siapa tahu bisa menghibur." perkataan Hanif tidak di jawab, suara tangisan semakin menyiksa.

"Jangan menangis...." mata Hanif sudah berkaca-kaca, namun sebagai pria dia menahannya.

"Aku bertahan. Huh.. Berharap ada keajaiaban. He.., hiks." ucap Rania. Hanif mengangkat wajah, di dalam kemeranaan siratan ombak besar membasahi kedua insan, angin dingin menambah kesahduan saat bersama.

Rasa ingin memeluk, mencium, itu ada. Dua insan saling jatuh cinta saat bersama akan lupa jika ada yang mengawasi. Hanif menghadap ke Rania, Rania pula, mereka sangat dekat dan saling memandang.

"Apa kau akan lakukan itu, agar aku tidak jadi menikah. Bisakah kau lakukan itu, untukku.." ajak Rania ketika imannya melemah karna rasa sedih. Hanif mendekat, seperti akan mencium bibir Rania "Jangan." Rania menutup mata. Hanif menjauh.

"Astagfirullah..., setan!" Hanif marah pada dirinya, karena ia mulai tergoda dan akan menuruti nafsunya. Hanif berdiri, Rania juga berdiri.

"Sesedihnya kita jangan sampai keta melakukan cinta terlarang." ucap Rania, Hanif mengangguk tangan kanan mengusap wajah, tangan kiri di pinggang ia menyesal.

"Kamu benar. Cinta kita memang tiada solusinya. Pulanglah!" titah Hanif.

"Izinkan aku bersandar di bahumu sebentar. Lima menit kita nikmati desiran ombak yang membasahi kita, boleh?" pinta Rania.

"Aku takut akan tergoda. Au'dubillahhiminassyaitonirrojim." Hanif duduk menekuk lutut dan melingkarkan kedua tangan di kakinya, Rania duduk dan menyandarkan kepalanya.

"Allah sudah baik. Jadi, bagaimana pun cobaan kita, kita harus sabar, tawakal, dan selalu bersyukur, kita memang sedih tidak bersama, namun hakikatnya, cinta sejati adalah cinta dariNya. Allah maha tahu yang terbaik walau terkadang kita tidak terima atas kehendakNya. Namun perlahan kita akan tahu, nantinya kita akan tahu alasan kita di pisahkan. Kita akan tahu dan tidak menyesali apa yang telah terjadi. Berbahagialah dengan suamimu, kau juga akan setia untukku. Berjanjilah." pinta Hanif, Rania mengangkat wajah, matanya sebam, ia tersenyum.

"Aku berjanji akan setia kepada suamiku, kamu juga cepat. Cepat cari calon istri." suruh Rania, Hanif tersenyum.

"Butuh waktu, biar ibu sembuh dulu, aku masih butuh banyak uang untuk sekolah adik." jelas Hanif, Rania berdiri.

"Aku akan selalu merindukanmu, trimakadih sudah datang, dan jadi sandaran, Assalamualaikum." Rania pergi,

"Wa'alaikimsalam." Hanif membuang nafas, ia masih duduk dan menikmati setiap ombak yang menerjangnya.