"Ibumu memang harus dioperasi, jika tidak, segala pengobatan yang kita lakukan ke depannya, malah akan sia-sia karena kondisi tubuhnya yang tidak bisa menerimanya. Tapi kau tidak perlu khawatir, operasi ibumu bisa dilakukan, aku akan mengambil uang dari rekening pribadiku untuk itu."
Bella langsung mengangkat wajahnya menatap Robbie sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak, tidak. Dokter, Anda tidak bisa melakukan hal itu. Aku sudah terlalu banyak menerima bantuanmu, bagaimana aku akan membayarnya?"
Robbie tidak senang mendengar hal itu. Urat di keningnya berkerut, "Bella, apa yang kamu katakan? Apakah aku terlihat seperti akan menerima balasan dari setiap pertolongan kecil yang aku lakukan? Jangan seperti ini, ini sangat menyinggungku."
Bella dengan cepat melambai-lambaikan tangannya di udara, "Mohon maaf dokter jika Anda tersinggung, tapi sungguh aku tidak bisa menerima lebih banyak lagi pertolongan dari Anda. Selama ini saja, Anda selalu membantuku untuk membayar biaya kamar rawat inap mamaku. Aku sungguh tidak enak, aku tidak bisa terus membiarkan Anda melakukan itu."
Robbie terlihat seperti menghela nafas dengan kasar. Ia bahkan memijat keningnya yang berkerut. "Bella, aku memang tidak bisa memaksamu. Semua itu tergantung padamu mau menerima bantuanku atau tidak. Tapi kamu harus tahu satu hal, tidak semua hal bisa dipaksakan. Selama beberapa bulan ini, kau sudah berusaha, tapi memang ada hal-hal yang tidak bisa kita lakukan meski sudah seberusaha seperti apa pun. Jangan terlalu memaksakan dirimu. Bagaimana pun, setiap manusia terlahir dengan 'batas limitnya' masing-masing. Kau sudah bekerja sepanjang hari, bahkan sampi melewatkan jam tidurmu. Jika kau terus seperti ini, itu akan sangat berpengaruh pada kondisi kesehatanmu."
"Aku mengerti maksud Anda, dokter Robbie, aku hanya kurang berusaha dan batas limitku belum tiba. Aku tidak tahu apa itu memaksakan diri, yang aku tahu, mamku harus pulih dan kembali bersamaku." Hanya dia satu-satunya keluarga yang Bella punya. Jika tidak ada ibunya, apalah arti hidup dengan sebatang Kara?
Robbie menghela nafas sekali lagi, "Bagaimana kalau begini saja, kamu pakai uangku dan kamu bisa mengembalikannya kapan pun. Kebetulan, aku masih tidak memerlukannya dalam waktu dekat ini, jadi jangan risau."
Arabella seketika mengangkat kepalanya begitu mendengar tawaran Robbie yang barusan. Harus diakui, dia sedikit bersemangat, tetapi, "Dokter Robbie, terima kasih atas bantuanmu atas tawaranmu. Sungguh-sungguh terima kasih, tapi biarkan aku berjuang untuk mamaku lebih dulu. Jika memang aku sudah tidak punya jalan lagi, aku pasti tidak sungkan lagi." Dia tidak ingin berhutang budi kepada siapa pun. Penolakan yang dilakukan ayah kandungnya sendiri cukup mematahkan hati dan membuatnya tersadar.
"Huufh.... baiklah jika begitu. Jangan sungkan mencariku, aku pasti akan menolongmu semampuku. Satu hal lagi, kita harus segera melakukan tindakan operasi itu. Tidak boleh ditunda berlama-lama," ucap Robbie.
Arabella mengangguk. "Aku sudah mengerti."
"Ah, apakah kau sudah makan?"
Saat Bella bersiap untuk menjawab, perutnya tiba-tiba menunjukkan aksi demokrasi. Itu sangat memalukan, sehingga Bella, gadis belia itu hanya bisa menundukkan kepala dengan malu-malu.
Robbie tertawa lugas, "Pergilah membeli sesuatu untuk dimakan. Aku yakin, pasti karena bekerja kau pun bahkan melupakan kewajiban untuk tubuhnya, yaitu dengan mengisinya dengan nutrisi."
"Aku ..... tidak," balas Bella.
"Ya, ya, tidak. Sekarang pergilah sarapan dan pulanglah untuk beristirahat. Aku yang akan menjaga Nyonya Fawley."
Bella mengangkat wajahnya, "Ah, apakah seperti itu boleh?"
Robbie sekali lagi menunjukkan ekspresi tidak senang, "Lihatlah dirimu. Aku ini siapa? Kenapa kau selalu sungkan denganku?"
Bukan sungkan, hanya saja pria ini sudah terlalu banyak menolongnya selama 3 bulan ini. Itu membuat Arabella sangat tidak enak.
Mulut Arabella masih tertutup, tiba-tiba tangan Robbie sudah mendarat di puncak kepala Bella, "Pergilah dan istirahatlah sebentar. Aku akan memberimu update tentang kondisi ibumu. Kau tidak akan melewatkan apa pun."
Arabella akhirnya mengangguk, "Baik. Dokter ... terima kasih banyak, ya. Bantuanmu sangat-sangat berharga. Aku sungguh tidak tahu harus mulai membayar yang mana dulu. Terlalu banyak."
Robbie, dokter tampan itu tersenyum hangat, "Apakah kau benar-benar ingin membalasku?"
Arabella mengangguk dengan cepat.
"Aku tanyakan sekali lagi, benar maukah?"
"Aku sangat ingin membalas semua kebaikan dan bantuan-bantuan yang Anda berikan padaku, jika saja aku mampu."
Robbie yang tadinya bercanda, kini terlihat serius karena Bella yang membalasnya dengan serius. Bibirnya pun terangkat dan berbunyi, "Kalau kau ingin membayarku, itu cukup dengan menyayangi dirimu. Jangan lupakan kebutuhan penting oleh tubuh, yaitu makan dengan teratur dan beristirahat."
Bella membelalakkan mata indahnya.
Robbie menahan senyumnya saat melihat ekspresi Bella. Menurutnya itu sangat manis. "Bella, aku serius. Jika tidak sepeti itu, bagaimana kau bisa membayarku? Ingat, jika kau sakit, maka kau tidak bisa membalas bantuanku."
"Ah... aku mengerti." Bella mengangguk.
"Sudah, pulanglah."
Sekali lagi, Arabella mengangguk, "Baik. Terima kasih Dokter Robbie. Maaf merepotkanmu. Dan tolong kabari aku, apa pun yang terjadi pada mamku."
Robbie mengangguk, "Aku sudah mendengarnya."
Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan yang dipenuhi bau disinfektan itu, Bella menghampiri tubuh ibunya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan alat-alat bantu kehidupan yang menempel di tubuhnya.
Bella tersenyum manis, tidak peduli apa pun yang terjadi, bagaimana kondisi hatinya, setiap kali dia melihat wajah ibunya ini, hatinya akan tenang. Senyum yang indah pun terpancar di sana.
Perlahan-lahan Arabella mendekatkan kepalanya ke telinga ibunya, lalu ia menggerakkan bibirnya, "Mama, Bella pulang dulu, ya. Mama jangan kesepian di sini. Bella pasti datang lagi. Nanti, ketika Mama sudah bangun, Bella tidak akan pernah meninggalkan mama sendirian. Berjanji!" setelah itu, Bella mencium kening dan wajah Paula Fawlwy yang pucat, lalu pergi.
Di lorong, jalan menuju lift umum, seorang nenek yang sudah cukup berusia lanjut, sekitar berumur 80 tahun, terjatuh.
Bella secara naluriah langsung berlari menuju nenek itu. Ia melihat nenek itu terduduk sambil mengusap-usap pinggangnya. Isi tas nenek tersebut berjatuhan ke lantai.
Saat ini, rumah sakit masih sangat pagi, jadi pengunjung masih tidak seberapa banyak.
"Nenek...." Bella membantunya memungut barang-barang nenek tersebut dan mengemasnya ke dalam tas nenek itu kembali. "Anda tidak apa-apa, nenek? Apakah ada yang tidak nyaman? Pinggang Anda sakit?" tanya Arabella sambil membantunya menggosok pinggangnya.
"Ah, ya ampun, gadis yang sangat cantik." Saat pertama kali melihat Arabella, nenek itu langsung berseru dengan girang. Dia adalah Lewi Schallert.
Respons pertama yang diberikan Arabella ketika mendengar seruan Lewi adalah, bengong. Lalu setelahnya, ia dengan polosnya melihat ke belakang.
"Ah, anak gadis, apa yang kau bingungkan? Yang aku sebut gadis cantik itu adalah dirimu. Ah, kau sungguh cantik, dan baik lagi," ujar Lewi Schallert.
Arabella hanya bisa tertawa bodoh. Dalam hati, ia bergumam, 'Ternyata benar yang dikatakan orang-orang, orang tua jika semakin berumur lanjut, maka akan bersikap semakin ke kanak-kanakkan.'
Hatinya sedikit merasa lucu melihat tingkah pertama yang diberikan nenek ini di saat melihatnya.