Malamnya Claire di berondongi pertanyaan oleh Leon. Cewek itu jelas sudah menebaknya sejak awal. Pantas dari bayangannya sedari sekolah ada yang buruk mengenai Kakak nya. Walau pun Claire tidak sempat mendengar jelas penuturan mereka namun Claire sudah pasti tahu akan ada kejadian apa sampai membuat Kakak nya tidak habis pikir.
"Seharusnya kamu jangan menuduh orang sembarangan, Claire. Sikap kamu itu tidak sopan. Mana mungkin orang ahli seperti beliau menjadi penipu."
Claire menatap Kakak nya. "Sayangnya belum ada yang melaporkan rahasia busuknya."
"Maksud kamu bilang seperti itu apa?"
Claire menghela napas. "Kak Leon, harus selidiki kalau ga percaya."
Leon semakin merasa adiknya banyak rahasia yang sedang di tutup rapat darinya. Dari mana tahu jika orang yang Leon percayai justru seorang penipu? Bukan kah jika ada lontaran harus ada pembuktian? Leon ingin bukti nyata, walau pun Leon sangat mempercayai adiknya, tetap saja hal itu adalah larangan juga.
"Claire, kamu berteman sama anak lelaki tadi, ya? Yang mengatarkan kamu pulang?" ucap Leon penuh tanya.
"Dia temen satu sekolah."
"Pergaulan kamu di sana pasti terlalu bebas sampai kamu tidak mempunyai letak sopan santun seperti siang tadi."
Claire mencolos. Baru pertama kalinya Leon bersikap seolah marah dan tidak suka dengan sikap Claire yang justru berniat untuk menolongnya. Entah kenapa saat ini Leon juga bersikap seperti orang lain padanya.
"Aku ga mungkin masuk pergaulan bebas. Kak Leon, yang tahu aku sedari kecil. Apa segampang itu bisa nuduh aku ikut pergaulan?"
Leon mengernyit. "Kamu juga berani melawan, Claire. Kakak, tidak pernah melihat asli yang sebenarnya dari kamu yang sekarang ini."
Claire benar-benar tidak paham. Leon berdiri dan melongos pergi dari kamarnya dengan perasaan kecewa. Claire menelan ludah pahit. Padahal dia hanya tidak ingin Kakak nya menjadi korban penipuan seperti apa yang telah di lakukan pada orang tua Ryan.
Orang itu langsung pamit berpura-pura marah karena kedoknya terbongkar di hadapan Leon. Namun Claire sangat tahu kalau di dalam pikiran orang dewasa tersebut banyak sumpah serapah hingga umpatan yang di pendamnya tanpa di keluarkan oleh ucapan.
'Gue salut sama lo, Claire.'
Cewek itu melirik Ryan yang berdiri di depan pintu balkon bersama dengan anak perempuan yang Claire lihat tempo hari. Mereka terlihat bersama seperti sudah akrab.
"Dia bener adik kamu, Ryan?" Claire bertanya mengalihkan.
Ryan mengangguk satu kali. 'Sonia, ikut terbakar di rumah kita sama … Mama. Mereka terjebak tanpa ada orang yang mau nolong.'
Claire meringis. Anak kecil seperti Sonia masih banyak harapan untuk masa mendatangnya, tetapi justru dia memiliki nasib yang sungguh membuat Claire iba. Takdir seseorang memang tidak akan tahu seperti apa, jelasnya seperti takdir Claire saat ini.
'Gue harap pelaku dari pembakaran rumah itu bisa lo temuin. Karena ga mungkin terjadi kalau ga ada sebab dan penyebab.'
Claire kembali di perintahkan. Cewek itu sedikit mendengus pelan. "Kenapa aku yang di tunjuk?"
'Karena gue percaya dan yakin lo bisa di andelin.'
"Aku ga sudi."
Ryan melayang tepat di depan Claire dan mencekik leher cewek itu sampai membuat Claire kesusahan napas.
'Lo mau nyusul gue ke alam arwah? Atau nurut pilih nyawa?'
"Lepasin!" Claire terbatuk ketika menepis kasar tangan Ryan. "Kalian itu ghaib, aku nyata yang harusnya bisa musnahin kalian!"
>>>>>>>
Vero menatap luka di tangannya sambil mengulas senyuman. Bagas yang ada di sampingnya ikut tersenyum jahil seolah mengerti jika temannya sedang memikirkan sesuatu hal yang menyebabkan lengkungan di sudut bibirnya terukir.
"Ciee, masih aja di pikirin." goda Bagas sambil menaik turunkan kedua alisnya.
Vero melirik sinis. "Gue seneng aja dia peduli."
Doni yang duduk di atas sofa ikut berkomentar, "Apa mungkin dia udah bisa nebak isi hati lo, Ver?"
Bagas menjentikan jarinya. "Nah, pertanda baik itu namanya."
"Lo berdua kejauhan terus mikirnya." tandas Vero yang menggeleng perlahan.
"Soal rencana kita gimana?"seru Doni menyimpan handphone nya yang di matikan.
Vero mengingat ucapan Claire di uks pagi itu. Entah harus bagaimana lagi. Vero sudah terlanjur memiliki kunci ruangan di rumah Lidia, tetapi omongan Claire membuat keraguan di dalam hati Vero menyeruak. Cewek itu kan bisa melihat apa yang akan terjadi. Bisa saja kata meledak itu antara Vero atau Lidia, bahkan mungkin keduanya yang bisa saja menjadi bahan cibiran karena hal itu.
"Gue rasa kunci itu perlu kita balikin."
Bagas mengernyit. "Lah, kenapa ga jadi? Kan, elo yang antusias banget buat pengen tahu rahasia dia."
"Percuma dong kita kemaren ke rumah cewek itu."
Vero tidak dapat memilih, karena dirinya percaya pada apa yang Claire ucapkan. Lagi pula sebenarnya ego Vero saja yang ingin menjatuhkan Lidia karena sikap dan berbuat seenaknya terhadap murid di sana. Vero juga tidak berniat untuk menjadi pemenang hingga kepikiran untuk menguasai sekolah.
Apa yang di ucapkan oleh Claire memang apa adanya.
"Sorry, ya. Gue udah repotin lo berdua."
"Itu bukan masalahnya, Ver." tukas Bagas.
Vero menghela napas. "Biar gue balikin kuncinya, lo ga perlu repot ikut."
Doni menatap aneh. Vero tidak biasanya menyimpulkan tanpa berpikir panjang. Entah kenapa sekarang ini sikap temannya berubah seolah memang tidak yakin dengan rencana awal mereka.
"Claire, pasti bilang sesuatu sama lo, ya?" asal Doni menebak isi pikiran Vero. Cowok itu melirik temannya dengan helaan napas gusar.
"Gue ga bisa lakuin karena emang ucapan dia bener. Di sini gue seolah mau nandingin ratu cibir sedangkan gue emang ga punya nyali besar buat balesnya nanti." Vero pikir dengan mengalah maka tidak akan terjadi hal yang akan membuatnya menyesal.
Lidia bisa saja melakukan cara picik mengenai apapun darinya. Jika masalah aib keluarga mungkin Vero juga akan menahan rasa malunya. Mengingat kelakuan sang Mama yang hanya di ketahui oleh dua temannya itu pasti akan membuat seluruh warga sekolah mengolok-oloknya.
"Tapi kira-kira dia bakal cari tahu soal apa, ya? Tentang lo." Doni mengimbuhkan membuat Bagas sedikit terhenyak. Masalahnya Doni hanya mengira jika Mama Vero selalu banyak candaan pada anak temannya itu.
"Kok, lo jadi mojokkin temen sendiri." ujar Bagas tidak suka.
Doni menjilat bibir bawahnya saat terasa kering. "Gue penasaran aja, Gas. Bukannya ga ada rahasia soal kita atau, Vero? Selama ini gue ga pernah denger tentang rahasia."
Vero menelan ludah. "Hal yang menurut gue penting banget itu jadi privasi. Sorry, lo berdua ga perlu tahu sampai akar permasalahan hidup gue."
"Oh, kalau itu gue ngerti banget. Karena emang ga mungkin semua titik masalah sampai dalem lo ceritain. Kita emang temen, tapi ga wajib juga tahu soal pribadi."
"Nah, kali ini gue setuju sama lo, Don. Gitu dong kreatif, jangan terus setuju kalau gue ngusulin kata."
"Yeeuuuu…"