Hari itu Tiara pulang ke rumah dengan dada sesak menahan luka yang teriris lebih dalam dari sebelumnya, dan dia harus berusaha menata hatinya kembali sendiri tanpa Hana, karena dia tidak mungkin mengganggu Hana yang sedang memperdalam ilmu agamanya di salah satu Rumah Qur'an di Jogja.
Tiara pun menumpahkan air matanya di hadapan Allah. Setelah selesai shalat, dia ceritakan semua kepiluan yang dialaminya. Sungguh malam itu seolah malam yang paling intens antara hamba dan Tuhan-nya.
"Apakah ibu boleh masuk?" Tanya Bu Jeny setelah mengetuk pintu kamar Tiara beberapa kali.
"Masuk saja Bu!"
Bu Jeny pun langsung masuk lalu duduk di samping Tiara yang masih mengenakan mukenah.
"Sayang, kamu kenapa?"
Tiara mendongak menatap Ibunya. "Bu, aku ingin membatalkan pernikahanku!"
"Kenapa sayang?" Bu Jeny terkejut karena persiapan mereka sudah hampir selesai. Seluruh keluarga pun sudah tahu dan tinggal nyebarin undangan saja.
Tiara langsung menceritakan semua kepada Ibunya tanpa terlewat sedikit pun.
Setelah mendengar cerita itu, hati Bu Jeny ikut sakit, dia pun langsung memeluk anak gadisnya itu.
Bidadari yang tak bersayap itu ada di bumi, bahagia dan kedamaian yang dicari ada dipelukannya, dia yang akan selalu ada di garda terdepan ketika seorang anak dirundung masalah. Dia adalah Ibu.
"Bu, maafkan anak gadismu ini, saat mengenal cinta yang lain, sering aku mengabaikanmu, dan lebih memperhatikan yang lain daripada dirimu, padahal surga yang ku cari ada di bawah telapak kakimu!" Tiara menangis sesenggukan di pelukan Ibunya.
Sambil tersenyum dan mengusap kepala anak gadis satu-satunya itu, dengan penuh kasih sayang ibu Jeny berkata, "Sayang, jauh sebelum engkau meminta maaf Ibu sudah memaafkanmu, bahkan Ibu tidak pernah menganggap tingkahmu adalah kesalahan, karena bagi Ibu engkau tetap yang terbaik!"
Tiara melepas pelukannya lalu mencium punggung tangan ibunya." Terima kasih Ibu! Terima kasih karena Ibu selalu mendukung dan mendo'akan aku!"
"Iya. Percayalah kalau semua rasa sakit akan dibayar tuntas oleh Allah. Dia yang tahu apa yang terbaik buat hamba-Nya!"
"Iya. Tapi, apakah aku tidak pantas dicintai? Apa aku tidak berhak bahagia seperti teman-temanku yang sudah bahagia bersama anak dan suaminya? Mereka begitu mudah mendapatkan suami yang baik dan kehidupan mereka sangat stabil. Sedangkan aku masih saja dipermainkan hatinya. Apa mungkin aku memang ditakdirkan untuk selalu terluka?" Tanya Tiara dengan deraian air mata.
"Istighfar Sayang! Kalau engkau ingin menangis maka menangislah, akan tetapi kita tidak boleh berprasangka buruk pada ketentuan Allah. Seperti yang Ibu katakan tadi, kalau Allah pasti punya rencana terbaik buatmu. Jadi percayalah!" Hati Bu Jeny sangat sakit melihat air mata anak gadisnya itu.
"Tapi Bu, Tiara kan sudah berhijrah, sudah mendekatkan diri juga ke Allah, lalu kenapa Allah menghadirkan Ferdinan lagi untuk menyakiti Tiara untuk ke sekian kalinya. Apa ini adil buat Tiara?" Tiara benar-benar merasa sesak dan tidak adil.
"Sayang, mestinya kamu bersyukur bukannya mengeluh, karena Allah ingin menguji sebagai tanda dia mencintaimu, kamu harus yakin kalau Allah pasti menyelipkan hikmah yang luar biasa dari musibah yang kamu alami, karena Allah tidak akan menguji hamba-Nya lebih dari batas kemampuannya."
"Bu, Tiara ingin dicintai dan mencintai, dan membina rumah tangga seperti yang lain karena usia Tiara sudah lebih dari cukup. Tiara bosan mendengar kata tetangga yang sering mengejek Tiara. Bahkan mereka mengatakan kalau Tiara tidak laku dan akan menjadi perawan tua. Sekarang pernikahan Tiara akan batal, mereka pasti akan berpikir buruk lagi. Dan kenapa Allah belum juga percaya kalau Tiara sudah pantas menikah?" Tiara semakin terisak.
"Sayang jangan berkata begitu! Kita tidak boleh meragukan Allah. Percayalah rencana Allah lebih baik dari siapa pun, dan yakinlah kalau Allah sudah mempersiapkan lelaki terbaik untukmu. Dan jika kamu masih mendengar omongan orang, maka kamu tidak akan pernah memiliki hidupmu sendiri. Sebab mereka tidak akan pernah berhenti begitu saja. Walaupun kita sudah menikah mereka pasti akan bertanya hal lain lagi. Jika kita terus mendengarkan orang lain, kita akan terluka dan gila sendiri sayang." Kata Bu Jeny dengan tegas.
Hati Bu Jeny semakin tersayat melihat buliran air mata di pipi Tiara. Ia juga ikut pilu menyaksikan kisah cinta anaknya yang selalu dikecewakan.
Mendengar nasihat Ibunya, Tiara langsung beristighfar dan menangis sejadi-jadinya di pelukan Ibunya. Ia pun merasa bersalah karena mengatakan hal-hal yang tidak perlu ia katakan.
"Agar Tiara cepat tenang, Tiara tidak boleh benci sama Ferdi ya! Tiara harus mengajarkan hati Tiara untuk bersyukur atas semua musibah yang menimpa. Semoga dengan luka ini Tiara bisa menjadi lebih baik lagi, jadikan musibah ini menjadi guru sabar Tiara. Mungkin kalau tidak dilukai Tiara tidak akan pernah tahu bagaimana sabar itu. Bukankah pengalaman adalah guru terbaik, iya kan?" Kata Bu Jeny sambil menyeka air mata di pipi Tiara.
Tiara hanya mengangguk karena tidak mampu berkata-kata di tengah isak tangisnya, beruntung karena undangan belum dicetak jadi membatalkan pernikahan tidak terlalu berat.
Seorang Ibu adalah air yang menyejukkan bagi anak-anaknya. Patah hati berkali-kali yang dialami Tiara sudah membuat batinnya terkoyak, kejadian bersama Angga juga sempat membuat hatinya pilu, kini rasa malu yang dialami Tiara akibat kegagalan pernikahan itu membuatnya merasa tak nyaman menghadapi keluarga besarnya.
Untunglah bekal yang dimilikinya semenjak dia memutuskan untuk berhijrah sangatlah cukup untuk menjadi pegangannya untuk menghadapi semua rasa sakitnya.